Gerimis
Sepanjang Sudirman
Oleh:
Elwin FL
Tobing
Yulia berusaha tetap sadar. Berjuang
keras agar konsentrasinya tidak hilang. Lalu lintas di minggu sore itu lumayan
ramai. Bahkan terlihat semakin ramai dengan kecepatan kendaraan yang tidak bisa
diduga. Langit yang ramah mengundang banyak orang untuk keluar rumah. Melaju
dengan sepeda motor dan mobil menyusuri jalanan yang semarak. Pejalan kaki yang
meyusuri trotoar sambil ber haha hihi. Pedagang kaki lima yang mulai sibuk memasang tenda untuk
mengundang pembeli. Senyum mengembang di wajah banyak orang. Pasangan yang
bertautan hati menikmati sore dengan rupa yang lebih merona. Kumandang tawa
mereka melayang renyah di antara angin petang yang bertiup ringan.
Mungkin hanya Yulia seorang yang
berwajah layu. Pipinya yang pucat terlihat gugup menahan terpaan angin. Kedua
bola matanya berkedip-kedip, susah payah menahan butir panas yang mengembun di
kelopak matanya. Tapi dia harus bisa menguasai diri. Harus..
Diiinnn…
Yulia gugup membelokkan stang sepeda
motor ke kiri. Kilat sebuah Vega R melesat di sebelahnya. Pengendaranya seorang
remaja tanggung berpenampilan punk.
Punggungnya membungkuk rapat ke jok seakan dia sedang mengendarai Ducati di
arena road race, sama sekali tidak
peduli pada Yulia yang sempoyongan. Yulia menenang-nenangkan diri. Tak ingin
diteror panik. Mata Yulia waspada mengawasi jalanan. Sesekali ekor matanya
melirik kaca spion. Deretan kendaraan antri menyusul di belakangnya. Yulia
berdebar. Melaju lebih ke pinggir, mempersilahkan siapa saja yang ingin
mendahului. Kecekatan mereka bukanlah tandingan Yulia yang baru tiga minggu ini
belajar mengendarai motor.
“Heeiii…!” seorang ibu menjerit
sambil merenggutkan anaknya dari terjangan sepeda motor Yulia. Rupanya Yulia
sudah terlalu ke pinggir. Hampir mendaki trotoar. Nyaris menggilas kaki mungil
seorang bocah kecil. Yulia berhenti. Berpaling pada ibu dan anak dalam
gendongannya. Anak itu menangis karena terkejut. Si ibu membujuk agar diam.
Galau hati Yulia.
“Jalanan besar begitu, kenapa kamu mendaki
sampai kemari?” bentak marah si ibu. Anaknya belum juga berhenti menangis.
“Maaf, Bu…” mohon Yulia lirih. Dia
semakin tertekan ketika si anak kian mengeraskan tangis. Mungkin suara Yulia
ikut menambah ketakutan di hati polosnya.
“Sudah. Pergi cepat. Anakku tambah
takut melihatmu,” usir ibu itu. Sekali lagi Yulia memohon maaf. Si ibu melengos
tidak peduli. Perlahan Yulia melajukan sepeda motornya. Tanpa dapat dicegah air
matanya mengalir. Kian lama kian deras. Memburamkan pandangannya.
“Munafik…!” terngiang cacian Susi.
Sahabatnya itu menduga Yulia diam-diam telah merebut Nobon. Tuduhan yang sangat
menyakitkan. Sungguh! Yulia tak pernah berniat seburuk itu. Dan Susi tentu
sudah mendengar prinsip yang Yulia pegang: Yulia tidak mau pacaran. Kalau mau
pacaran, nanti, sama suami.
“Jadi ngapain kamu selalu minta
tolong dia kalau perlu apa-apa? Kan
banyak cowok lain. Kenapa harus Nobon?” sentak Susi ketika Yulia mengulangi
prinsipnya tadi untuk menepis sangkaan Susi.
“Kamu mau ke toko buku minta antar Nobon.
Pulang dari tempat les minta jemput Nobon. Apa-apa Nobon, apa-apa Nobon.
Maksudnya apa?” Susi makin cemburu.
“Maaf, Sus…!”
“Terlambat. Nobon sudah menjauh dari
aku sekarang. Puas kamu kan?”
suara Susi serak. Matanya basah. Yulia tersentak. Rasa bersalah mengepung
hatinya.
“Sudah tiga minggu Nobon tak pernah
lagi datang. Sms tak dibalas, teleponku tidak diangkat. Dan kamu pasti tahu
kemana saja dia tiga minggu ini.”
Yulia makin terdiam. Dia ingat, tiga
minggu belakangan ini, Nobon bolak balik mengantar dan menjemput Yulia dari
rumah sakit. Nenek opname. Berhubung Papa, Mama, kakak dan adiknya sibuk semua,
Yulia kebagian tugas mengurusi keperluan nenek selama di rawat. Sepeda motor
juga dipakai Papa untuk kerja. Kebetulan Nobon punya motor. Dan dia bersedia
mengantar jemput Yulia dengan kendaraannya. Yulia merasa tertolong. Tanpa dia
sadari, sahabatnya merasa dipotong.
Yulia memang salah. Dia alpa meminta
perkenan Susi. Dia mengandalkan kedekatannya yang telah sedemikian erat. Susi
pasti mengerti. Dia seratus persen akan menyetujui, begitu duga hati Yulia.
Konsentrasinya yang lebih besar pada kesehatan nenek, membuat urusan yang lain
mengecil; termasuk tentang minta ijin memakai tenaga Nobon. Yulia merasa yakin
kalau Susi akan memaklumi. Sama sekali tidak terlintas kalau akibatnya jadi
runyam begini.
“Aku minta maaf, Sus. Aku…”
“Nggak perlu, Yul.” Potong Susi
getas, “Aku yang bodoh. Mengapa aku percaya begitu saja pada orang yang mengaku
sahabat, yang kelihatan alim dan lugu seperti kamu.”
“Susi..!”
“Lebih baik kamu segera minggat dari
sini. Aku muak melihat gaya
sok sucimu. Pergi!”
“Susi..” Yulia memburu kaki Susi.
Tapi gadis itu buru-buru menghindar masuk kamar. Yulia tertahan di depan pintu
yang terkunci dari dalam. Sedu sedan Susi membuat hati Yulia redam. Tak
henti-hentinya Yulia menyesali diri. Rasa bersalah mencambuk-cambuk hatinya
hingga lebam.
“Susiii.. please buka pintunya
Sus..” ratap Yulia sambil memutar-mutar engsel pintu. “Aku minta maaf, Susi.
Tolong buka pintunya…”
“Pergi saja. Aku nggak akan memberi
maaf pada penghianat seperti kamu,” lontar Susi dari balik pintu yang terkatup.
Yulia luruh ke lantai. Dia sesenggukan, menumpukan wajahnya yang berlinang air
mata ke daun pintu yang angkuh tertutup. Jemarinya lemah mengetuk-ngetuk. Tapi
Susi malah semakin meradang. Dia menghantam daun pintu entah dengan apa. Suaranya
berdebam. Sentakan daun pintu beradu dengan pipi Yulia. Rasanya pedas. Yulia mengusap pipinya
yang bergetar.
“Pergi kubilang! Pergiii….!” Susi
melolong bagai srigala terluka. Suara benda-benda menghempas pintu kamar
mengikuti jeritannya. Yulia terguncang. Gentar mendengar Susi yang histeris.
“Maafin aku, Susi…,” lirih Yulia
berbisik seraya bangkit dari lantai. Limbung langkahnya menuju sepeda motor
yang terparkir di halaman rumah Susi. Jalanan serasa bergelombang. Berayun-ayun
seolah roda motornya meniti gumpalan lumpur. Tapi Yulia tidak ingin celaka. Dia
berusaha tetap waspada mengendarai sepeda motornya. Berusaha keras mengatasi
keruwetan hati; juga ramai jalanan, agar bisa tiba dengan selamat sampai di
rumah.
Hanya saja tidak mudah mengenyahkan kenyataan
rusaknya persahabatannya dengan Susi. Terlebih pemicunya itu…teman makan teman?
Aduh! Tangis Susi tidak juga lepas dari ruang mata. Nobon yang selalu siaga…
Apa memang Nobon mengharapkan sesuatu? Kenapa Nobon tidak membalas sms dan
menjawab telepon Susi? Bagaimana kalau Nobon meminta Yulia menggantikan posisi
Susi di hatinya? Yulia jelas akan menolak. Tapi bagaimana cara menolaknya?
Kalau Nobon tersinggung dengan penolakan Yulia dan berbalik memusuhinya,
bagaimana? Padahal Yulia sudah banyak menerima pertolongannya. Ah…..
Ruwetnya pikiran-pikiran itu membuat
stang sepeda motor Yulia terkadang mengarah ke tempat yang salah. Laju
kendaraan itu pun hampir saja menggilas kaki si bocah kecil tadi. Sekuat tenaga
Yulia mengkonsentrasikan pikiran, tapi selalu saja ada celah kelengahan yang
mengalihkan perhatiannya.
Sepeda motor itu kini membelok ke
Jalan Sudirman. Lalu lintas kian padat. Terutama di depan Ramayana Mal. Jubelan
pengunjung terlihat memadati sekitar pusat perbelanjaan itu. Terkadang arus
kendaraan tertahan ketika ada mobil yang ingin masuk ke areal parkir mal.
Gerimis merintik tiba-tiba. Orang-orang tersentak. Para
pejalan kaki menggegaskan langkah. Ada
yang berlari. Para pengendara motor pun lantas
berpacu, tak membiarkan tubuhnya lebih lama terguyur. Raungan gas yang digeber
kencang memekakkan telinga. Dan Yulia, ah, gadis itu masih saja terkungkung
kepedihan. Gerimis yang menderas begitu leluasa menerpa sekujur tubuhnya. Jilbabnya
mulai berat menampung lembab air.
Dan semuanya berlangsung dengan cepat. Pekak klakson yang dipencet karena
panik. Suara benturan yang menyentak. Yulia terlempar. Lalu rasa sakit meremas
di beberapa bagian tubuhnya. Yulia mengaduh. Menggigit bibir untuk menahan
serbuan perih.
“Yulia…!” terdengar seruan kaget. “Nggak apa-apa. Aku akan menolong
kamu,” entah dari mana datangnya, Nobon sudah tiba di situ. Dengan sigap pemuda
itu mengangkat Yulia dari aspal yang basah dan membawanya ke dalam warung pecal
lele di pinggir jalan. Yulia ditelentangkan di bangku panjang. Orang-orang
mengerumuninya. Sebagian lagi mengejar si penabrak yang melarikan diri.
“Di mana yang sakit. Kita ke rumah sakit ya?” tanya Nobon sambil menepis
bercak lumpur dari lengan baju Yulia.
Yulia menahan napas. Wajah Nobon begitu dekat ke wajahnya. Tangan Nobon
menggenggam jemari Yulia. Mengalirkan desir hangat, berbaur dengan denyut perih
di belahan kaki kiri. Dada Yulia berdebar.
Tapi Susi…. Sahabatnya itu…
Spontan Yulia meloloskan jemarinya dari genggaman Nobon. Matanya
dipalingkan ke arah lain, “Aku nggak apa-apa, Bon. Aku akan telepon Papa suruh
jemput,” sambil meringis Yulia meraih ponsel. Untung benda itu masih utuh.
“Biar aku aja yang ngantar kamu pulang, Yul. Motormu kita titip, nanti
aku ambil kemari,” usul Nobon. Yulia berusaha keras melawan rembesan sejuk di
hatinya mendengar ungkapan perhatian itu. Ratap Susi mengiang.
Tak lama Papa datang. Setelah mendengar kronogis kejadian dari
orang-orang sekitar yang melihat peristiwa tabrakan itu, Papa membawa Yulia ke
rumah sakit. Beberapa orang pengejar si penabrak kembali dan melaporkan telah
kehilangan jejak.
***
Yulia resah menunggu. Sudah tiga hari di rumah sakit, tapi Susi tak
juga menjenguk. Padahal Yulia sudah
memberi tahu lewat sms, karena ditelepon Susi tidak mau mengangkat. Mungkinkah
kemarahan Susi telah menjelma benci abadi?
Terdengar ketukan di pintu. Susi menoleh. Seketika dia menghela napas
panjang.
“Bon, aku hanya mau menerima kalau kamu datang bersama Susi,” tegas
Yulia. Wajahnya mengeras menunjukkan penolakan.
“Kenapa aku tidak bisa menjenguk sendiri, Yul? Kamu kok jadi aneh?” Nobon
tetap mendekat.
“Tahan langkah kamu, Bon! Atau aku akan menjerit,” suara Yulia meninggi.
Nobon tertegun. Langkah yang hampir menjejak ditarik kembali.
“Jangan datang menjengukku kalau Susi tidak bersamamu. Pergilah. Aku mau
istirahat. Tidur,” Yulia menarik selimut hingga melewati kepala.
Terdengar helaan napas Nobon. Dari balik selimut tipis, Yulia melihat
pemuda itu tertegun lama, menimbang-nimbang keputusan. Sekali lagi desah
napasnya luruh ke udara, sebelum akhirnya dia berbalik langkah. Ketika bayangan
Nobon hilang terhalang pintu, Yulia terisak di balik selimut.
Payakumbuh, April ‘09