Kisah Masa Kecil Ayah


Kisah Masa Kecil Ayah
Oleh: Elwin FL Tobing
            Pada suatu sore, Daniel sedang membolak-balik album tua. Melihat-lihat foto masa kecil ayah. Ada juga beberapa foto ibu. Tapi lebih banyak foto-foto ayah dan keluarganya. Warnanya hitam putih. Sebagian besar sudah kusam berkarat. Maklum foto lama.
            Tapi Daniel selalu senang melihat foto-foto itu. Dia sering terkikik geli melihat gaya masa kecil ayah. Ada sebuah foto ayah sedang bertolak pinggang di kebun belakang rumah kakek di desa. Sebuah ketapel melingkar di lehernya. Kancing bajunya lepas di bagian bawah. Perutnya yang agak bulat terpampang jelas. Celana pendek yang dipakainya melorot. Tapi di foto itu ayah berlagak seperti pendekar. Daniel geli melihatnya.
            “Kok senyum-senyum. Ada apa dengan foto itu?” tiba-tiba Ayah sudah berjongkok di dekat daniel. Ikut melihat ke arah album tua yang terbuka. Topi polisinya diletakkan di atas meja. Ayah Daniel seorang perwira polisi. Wajah ayah agak grogi ketika Daniel menunjuk foto ayah yang lucu.
            “Celana melorot pun pake bergaya jagoan.” Tawa Daniel berderai. Ayah mencubit pipi Daniel gemas.
            “Itu celana Pak Tua Togu. Makanya kebesaran untuk ayah.” Beritahu Ayah. Pak Tua Togu adalah abang Ayah.
            “Memangnya celana Ayah ke mana?”
            “Celana Ayah banyak yang robek. Waktu kecil Ayah kan suka memanjat pohon. Celananya tersangkut-sangkut. Kalau turun dari atas pohon, Ayah melorotkan diri. Otomatis celananya bergesekan dengan batang pohon. Jadinya robek,” Ayah tersenyum menceritakan masa kecilnya.
            “Ketapel ini untuk apa, Yah?” Daniel menunjuk ketapel di leher ayah.
            “Untuk mengusir monyet yang suka merusak tanaman kakek. Setiap pulang sekolah, Ayah dan Pak Tua Togu disuruh kakek menjaga tanaman di ladang. Monyet-monyet suka mencabuti kacang tanah atau jagung yang ditanam kakek. Jadi kami mengusirnya dengan ketapel.”
            “Ayah pandai make ketapel?”
            Ayah menepuk dada sambil tersenyum lucu, “Ya jelas dong. Dulu Ayah sering latihan dengan menempatkan kaleng bekas susu di atas kandang ayam. Dari jarak sepuluh meter Ayah bisa mengenai kaleng itu. Hebat kan?”
            “Berarti Ayah sniper dong. Penembak jitu.” Kata Daniel.
            “Ya gitu deh,” gaya bicara Ayah meniru artis centil. Daniel tertawa geli. Ayah memang suka melucu. Daniel senang berada di dekatnya.
            “Ini kok rame-rame, Yah. Lagi ngapain nih?” Daniel menunjuk sebuah foto lain. Sebuah foto yang menunjukkan Ayah berada di antara orang-orang kampung yang sedang bergotong-royong.
            “Ini kami sedang bergotong royong membersihkan jalan menuju pancuran desa. Pancuran itu tempat warga desa mengambil air untuk diminum, untuk mandi juga nyuci. Pancuran itu dibagi menjadi dua bilik yang disemen tinggi. Satu untuk laki-laki satu lagi untuk perempuan. Airnya bening. Tapi kalau musim kemarau airnya kering.”
            “Kalau kering, Ayah dan warga desa lainnya gimana?”
            “Kami terpaksa berjalan jauh ke sebuah sungai yang bernama Aek Godang. Letaknya di pinggir sawah yang jauh dari desa. Kami harus menggotong air dari sana untuk keperluan memasak.”
            “Capek dong, Yah.” Daniel membayangkan kesukaran yang harus ditempuh ayah dan warga desa lainnya dulu.
            “Ya capek juga. Tapi karena perginya rame-rame bersama kawan, capeknya nggak begitu terasa.”
            Daniel kembali membalik album. Lalu tampak foto dapur rumah yang sederhana. Ada jejeran potongan bambu sepanjang tiga puluh senti meter di sebuah sudut.
            “Untuk apa bambu-bambu ini, Yah?”
            “Itu untuk obor kalau ada orang yang mau pergi waktu malam. Dulu di desa belum ada listrik. Jalanan gelap, kecuali sedang bulan purnama. Jadi kakek menyiapkan bambu-bambu itu.” Kisah Ayah.
            “Kalau belum ada listrik, Ayah belajar pake apa di malam hari?”
            “Pake lampu teplok. Ayah sering belajar dengan diterangi lampu teplok yang kacanya sudah pecah. Tapi Ayah tetap semangat. Sejak SD hingga Akademi Kepolisian Ayah selalu berprestasi.”
            Daniel mengangguk-angguk mendengar kata-kata Ayah. Dia semakin kagum pada ayah. Di tengah segala keterbatasan fasilitas, Ayah ternyata bisa berprestasi. Walau harus bekerja keras sepulang sekolah di siang hari, Ayah masih sanggup belajar di malam hari. Ayah sungguh luar biasa.
            “Berarti waktu kecil Ayah tidak pernah main-main dong. Habis Ayah sibuk terus bekerja dan belajar.” Sesal Daniel, menyangka Ayah tidak bahagia di masa lalu karena tidak sempat bermain bersama teman sebaya.
            Tapi jawaban Ayah diluar dugaan Daniel, “Ayah sering bermain bersama kawan-kawan kok. Di musim panen kami main layang-layang, karena waktu itu angin bertiup kencang. Di lain waktu kami bermain dengan mobil-mobilan buatan sendiri. Ayah dan kawan-kawan juga sering main bola di halaman kantor kepala desa. Biasanya kami main di sore hari sepulang dari ladang. Pada hari minggu kami memancing di sungai sambil berenang di air yang bening.”
            Mendengar cerita Ayah, Daniel jadi rindu ingin melihat desa tempat ayah menghabiskan masa kecilnya yang indah. Daniel ingin juga bertanya banyak hal pada kakek dan nenek tentang masa lalu. Daniel ingin tahu lebih banyak tentang masa kecil ayah. Sepertinya masih banyak kisah indah yang terjadi sewaktu ayah masih jadi anak-anak.
            “Daniel bangga pada Ayah.” Ucap Daniel tiba-tiba.
            Mata Ayah menyipit, “Kok tiba-tiba ngomong seperti itu,” kata Ayah sambil tersenyum.
            “Ayah hebat. Dari anak desa yang sederhana, Ayah bisa jadi perwira polisi yang disegani.” Daniel memeluk ayah.
            “Itu semua berkat dari Tuhan. Asal kita rajin berdoa dan berusaha dengan sungguh, Tuhan akan memberikan apa yang kita minta. Sekeras apa pun kita berusaha, kalau kita lalai memohon petunjuk Tuhan, maka usaha kita akan sia-sia.” Kata Ayah menceritakan rahasia kesuksesannya.
            “Siap komandan. Daniel akan mengikuti teladan Ayah. Daniel akan rajin belajar dan tak lupa untuk selalu berdoa memohon penyertaan Tuhan.” Lantang suara Daniel sambil menghormat pada Ayah.
            Ayah membalas hormat Daniel, “Janji diterima. Segera laksanakan!” titah Ayah. Lalu mereka sama-sama tertawa. Hati Daniel dipenuhi semangat baru. Kisah masa kecil Ayah yang penuh perjuangan begitu membekas di hatinya. Daniel bertekad akan meniru jejak Ayah yang pantang menyerah menghadapi kesulitan. Kalau sebagai anak desa yang sederhana, Ayah bisa jadi perwira polisi yang dihormati banyak orang, Daniel bertekad akan bersekolah hingga ke luar negeri. Menggapai prestasi untuk membangun Indonesia di masa depan.

Dimuat di harian analisa 13des’2009

0 Responses