Lintas Toba



Lintas Toba
Oleh: Elwin FL Tobing
            Hanya ada empat orang penumpang. Dua di bangku depan dan dua lagi di bangku persis belakang sopir. Dua baris lagi bangku ke belakang, kosong melompong. Regar mengeleng pahit. Tapi apa yang bisa dia lakukan. Sekarang memang bulan sepi. Bukan musim libur sekolah atau hari raya.
            Saat libur sekolah, starwagon yang dikemudikan Regar kadang sampai tidak muat. Para pelajar atau pun mahasiswa yang menuntut ilmu di berbagai sekolah dan universitas di Medan, memanfaatkan jasa bus-nya untuk angkutan libur pulang kampung.
Ketika menjelang natal dan tahun baru, penumpang lebih ramai lagi. Berjubel di loket bus dari pagi hingga malam. Tak ada waktu istirahat bagi supir seperti Regar. Penghasilannya pun berlipat. Sial sekali kalau saat seperti itu bus yang dikendarainya mengalami masalah, hingga tidak bisa mengantar penumpang.
            Tapi begitu lewat masa libur sekolah atau hari natal dan tahun baru, kerap bus Regar hanya berpenumpang angin. Sudah begitu, ijin trayek masih juga diberikan pada angkutan merek baru dengan rute yang sama. Akibatnya rebutan penumpang pun semakin sengit tak terelakkan. Salip menyalip antar bus sepanjang rute perjalanan jadi kebiasaan. Banyak terjadi kecelakaan. Tapi supir seperti Regar seolah tidak punya pilihan. Terus mengebut, berburu penumpang yang semakin hilang.
            “Naek, naek… Yang Tarutung naek..!” seru seseorang yang sedari tadi sibuk mondar-mandir mengatur bagasi.
            Regar membuang sisa rokok dari mulutnya. Penumpangnya tetap empat orang. Satu orang ke Balige, dua ke Siborong-borong dan sisanya ke Tarutung. Regar menutup pintu bus di sampingnya. Melirik sebentar ke wajah para penumpang. Ke empatnya tampak menunjukkan kebosanan menunggu. Regar tak ingin lebih lama mengecewakan mereka. Dia menekan gas. Seketika bus yang dikendarainya menyentak maju meninggalkan pul. Sore masih menyisakan hangat. Lalu lintas sepanjang jalan Sisingamangaraja juga masih padat. Starwagon yang dikemudikan Regar terselip di antara jubelan kendaraan yang lalu lalang. Bus kecil itu terus melewati Amplas, mengarah ke Tanjung Morawa. Bergabung dengan iringan satu dua truk sarat muatan ataupun yang kosong melaju terus meninggalkan kesumpekan kota Medan.
            Regar melaju dengan kecepatan sedang. Tak lepas membunyikan klakson kalau melihat ada yang berdiri di pinggir jalan. Semoga saja penumpang yang menunggu angkutan. Lubuk Pakam hingga Sei Rampah tak ada yang menanggapi panggilan klaksonnya. Tebing Tinggi lewat, juga tanpa ada tambahan muatan. Regar menyumpah diam-diam. Refleks kakinya semakin dalam menekan pedal gas. Bus yang dikendarainya melesat makin cepat. Siur angin yang ditimbulkan semakin deras. Tekanan pada gas semakin kuat. Regar memburu agar segera tiba di Siantar. Berharap di sana ada penumpang yang menunggunya.
            Rintik gerimis memecah di kaca. Memburamkan pandangan. Regar menyalakan lampu bus. Malam sudah memulai kunjungannya. Gerimis menjelma hujan. Jalanan menjadi licin di lintasan roda. Regar menahan diri. Injakan gas sedikit dikendurkan. Empat penumpangnya sudah menyerahkan kepala ke sandaran bangku dan menutup mata. Regar tidak tahu apa mereka sudah lelap atau sedang berusaha menidurkan diri di antara gangguan menyentak jalan berlubang.
            Untuk mengurai sepi, Regar menyelipkan kaset lama ke dalam tape. Paduan vokal  Trio Ambisi mengalun di dalam bus. Tembang lama yang mendayu-dayu hasil karya cipta artis jaman dulu. Lagu-lagu yang sudah ratusan kali didengar Regar. Sesungguhnya dia bosan. Tapi beberapa kaset lagi di atas dashboard sama membosankannya. Regar menghela napas. Pasrah menelan kebosanan sendirian.
            Mendekati Siantar bus itu meliuk miring. Regar menginjak rem untuk menghentikan laju roda. Penumpangnya ikut tersentak bangun dari lelap.
            “Ada apa, Pir?” seseorang menuntut dengan tanya, merasa terganggu dengan ketidaknyamanan perjalanan.
            “Ban kempes,” keluh Regar yang tampak ragu untuk turun. Hujan menderas di luar. Diikuti lintasan kilat menyambar-nyambar. Beginilah repotnya kalau tidak punya kernet. Tidak ada yang bisa disuruh untuk membereskan kalau ada masalah dalam perjalanan. Tapi starwagon seperti yang dikemudikan Regar memang tidak pernah memakai kernet. Hanya supir sendirian yang menjadi awak bus. Lain dengan bus besar seperti Makmur atau Bintang Utara. Kernetnya ada di tiap pintu tak henti berteriak memanggil-manggil penumpang.
            “Hujannya lama ini,” cetus penumpang yang duduk di belakang Regar.
            “Iya. Tak mungkin menunggu hingga berhenti baru mengganti ban,” desak orang di sebelahnya.
            Regar menggeliat resah. Ingin marah. Tapi pada siapa? Bukankan bus itu sepenuhnya tanggungjawabnya. Menghantar penumpang tiba di tujuan tepat pada waktunya adalah garansi dari perusahaan bus dimana dia jadi awak. Di kaca depan ada nomor HP yang bisa dihubungi penumpang, apabila sopir mengabaikan pelayanan terbaik. Dan sangsi yang menimpa tidak main-main. Sudah ada lima orang rekan Regar yang kehilangan posisi karena laporan penumpang yang kecewa dengan perlakuan sopir.
            “Bagaimana, Pir? Kita bermalam di sini saja?” lontar penumpang dari belakang.
            Regar menghimpun kesabaran. Menata tekad untuk menerobos hujan. Melintas wajah putri sulungnya yang berusia tiga tahun. Tawa dan gerak manjanya merimbunkan haru di hatinya. Putri yang tak pernah alpa bertanya, “Capek ya, Pak,” setiap Regar tiba di rumah. Selalu membanggakan bapaknya kepada teman sepermainan.
            Terbayang rupa istrinya yang hanya diam menyembunyikan kecewa kalau Regar tidak membawa apa-apa ke rumah, karena menombok akibat sepinya penumpang. Sejak Regar tabrakan dengan truk sawit di Perbaungan hampir enam bulan yang lalu, istri Regar seolah trauma. Basaria Pardede, istri Regar, was-was setiap suaminya hendak berangkat. Dan tergambar kelegaan di wajahnya kalau suaminya pulang dalam keadaan utuh. Uang belanja pun tak lagi jadi prioritas. Ada ya syukur! Tidak ada, mengutanglah sama tetangga. Asal aku tidak cepat jadi janda, batin Basaria berharap. Selalu merinding saat tergambar kembali tubuh berantakan suaminya yang berbalut perban di sana-sini dalam ruang ICU yang mencekam.
            Regar menggelinjang ketika deras hujan menggelitik tubuhnya. Setelah mengambil ban serap dari kolong bangku penumpang, dia bergegas mengganti ban belakang yang berkeriut bocor. Lampu jalan terlalu redup jadi penerang, hingga kunci roda beberapa kali meleset dari sasaran. Tamparan hujan dan ancaman petir pecah di jalan basah. Mata Regar rabun oleh kabut. Kunci roda semakin susah diatur. Kerap terpeleset saat jepitannya tidak pas menghimpit baut. Lebih sial lagi ketika mengetahui ban cadangannya ternyata kurang angin. Roda yang hampir botak itu seketika meleyot ketika Regar menurunkan dongkrak. Dengan kesal Regar menendang ban yang baru terpasang itu.
            “Bagaimana, Pir, masih lama? Oper saja kami ke bus lainlah.” Sebentuk kepala menyembul dari celah kaca yang dibuka. Berseru tidak sabar. Regar menyimpan jawab. Dia takut kelepasan omong kasar kalau sampai membuka mulut. Dengan tubuh gemetar menahan dingin dan kesal dia menyimpan kunci-kunci. Lalu bergegas masuk ke belakang kemudi. Memutar kunci kontak. Bus itu menyentak. Lalu diam. Regar mengulang starter. Berkali-kali, tapi mesin bus tak juga menderum. Penumpang ramai menggerutu. Mendesak agar Regar bergegas mencari angkutan lain. Mereka ingin cepat dioper. Tak sabar lagi duduk diam di dalam bus yang mogok di bawah hujan malam gelap.
            Regar menyerah. Dia keluar untuk menyetop bus jurusan Tarutung. Tubuhnya menggigil terguyur hujan yang tumpah tak berkesudahan. Jalanan semakin sepi lalu lintas. Regar bisa mendengar caci maki penumpangnya yang emosi di dalam bus. Setelah hampir setengah jam menunggu di bawah guyuran hujan, sebuah bus MRT mendekat. Regar cepat menghadang. Setelah berhenti, dia nego ongkos dengan supirnya. Regar kembali ke mobilnya. Uangnya tandas sudah. Bahkan untuk bensin yang rencananya akan dia isi di Parluasan, sudah tidak cukup lagi. Regar menggeleng-gelengkan kepala. Prihatin dengan nasibnya sendiri yang teramat apes.
            Kelelahan, Regar tertidur di dalam bus. Sopir sial itu tertelungkup ke lingkaran setir. Air menetes-netes dari rambut dan bajunya yang basah.
            Entah berapa lama Regar terkulai di atas kemudi. Tiba-tiba telinganya menangkap suara ketukan di kaca. Regar terjaga. Meneliti sekitar. Hujan sudah reda. Ada wajah terhalang kabut di balik kaca bus-nya. Dada Regar berdebar. Perampok?
            Tapi wajah itu sepertinya tersenyum. Ragu-ragu Regar membuka kaca.
            “Lae, bisa minta tolong. Kami minta diantar ke Pagar Dolok,” cerocos pemuda klimis begitu Regar menampakkan wajah.
            “Di..di mana itu…?” Regar belum pernah mendengar nama daerah yang disebut laki-laki itu.
            “Lewat Tarutung terus ke arah Sibolga, Lae. Nanti setelah sampai di desa Sitarealaman, kita tanya arah ke Pagar Dolok. Mereka tahu semua. Masalah ongkos, kami akan membayar lebih,” beritahu si pemuda. Regar hampir mengiyakan, kalau tidak segera ingat kondisi kendaraannya yang mogok. Tapi si pemuda sudah berlari ke sebuah pondok kecil. Tak lama, dia keluar diikuti empat orang laki-laki tinggi besar dan berkulit kemerahan.
            “Mereka ini utusan dari gereja Jerman, Lae, mau mengunjungi gereja-gereja kecil di daerah sana. Mereka tidak mau diantar dengan mobil pribadi. Tapi mau memakai angkutan rakyat. Tolonglah Lae antar kami,” si pemuda mengulang pinta.
            Regar tidak enak hati melihat wajah penuh harap calon penumpangnya. “Tapi…. mobil ini mogok, Lae,” sesal Regar, sambil tangannya bergerak memutar kunci kontak untuk menunjukkan kebenaran kata-katanya. Tapi mesin mobil justru menderum. Regar terkejut sendiri.
            Pemuda klimis terseyum, “Itu bisa, Lae!”
            Regar jadi salah tingkah, “Tapi tadi memang tidak bisa hidup. Penumpangku empat orang terpaksa kuoper ke bus lain. Nggak bohong aku, Lae. Itu ban belakang baru kuganti, kurang angin pula” bela Regar. Dan benar saja, mesin mobilnya tersendat-sendat lalu mati lagi. Regar mendengus.
            “Kami dorong ya, Lae.” Lalu tanpa menunggu tanggapan, si pemuda mengajak empat bule itu mendorong bus. Regar jadi tidak enak hati. Setelah mencoba untuk ketiga kali, mesin mobil hidup kembali.
“Sudah hidup, Lae. Nanti di Parluasan masih ada tambal ban yang buka. Tambahi saja anginnya di sana,” saran si pemuda klimis itu.
            “Mm…Ongkosnya, bagaimana, Lae?” Regar mengingatkan dengan sungkan. Sambil memainkan pedal gas, takut mesin mobil mati lagi. Si pemuda berbicara pada ke empat bule di bangku belakang. Setelah itu, dia kembali pada Regar dan menyebutkan angka yang membuat Regar lega. Setelah menutupi setoran dan uang minyak, masih lumayan sisa uang yang bisa dibawanya pulang.
            Regar melajukan bus-nya dengan hati yang hangat. Kelima penumpangnya juga sangat ramah. Apalagi keempat bule itu. Penuh antusias mereka mengulik detil hidup Regar. Si pemuda klimis yang ternyata siswa STT (Sekolah Tinggi Theologi) jadi penerjemah yang rajin. Regar dengan senang hati melayani aneka pertanyaan. Bus terus melaju mendaki tanjakan menuruni kelokan. Melintas kampung-kampung yang lelap sepanjang perjalanan.
Sitarealaman, april ‘09

0 Responses