Pariban
dari Desa
Oleh: Elwin FL
Tobing
Bagian 1. Tamu Tak Terduga
Ada tamu di ruang tengah. Ester mendengar
pembicaraan yang sayup-sayup melintas pendengarannya. Menarik kesadarannya
sedikit demi sedikit dari ranah mimpi yang tidak pernah jelas awal dan akhir.
Ester menyibak boneka teddy bear yang menyumpal setengah bagian wajahnya.
Matanya memicing ke dinding. Jam mungil di sana menunjuk angka empat lewat dua belas
menit. Sudah sore.
Percakapan dari ruang tengah semakin jelas melintas. Tapi segera tersamar
oleh suara yang tiba-tiba meriuh dari lapangan basket di sebelah rumah. Nyaring
kokok ayam ikut menyumbang vokal; mungkin berasal dari perkampungan penduduk di
belakang komplek perumahan yang dihuni keluarga Ester.
Dengan langkah sempoyongan Ester
meraih pintu kamar. Memutar pegangannya yang bulat. Pintu terkuak, gelak tawa
dari ruang tengah berkumandang bebas di seluruh ruangan. Tamu dari mana ya?
“Ester! Kemari, Boru!” panggil Papa. Tumben Papa memanggil sehangat itu. Ester
menahan langkahnya yang hendak menjangkau handuk mandi di jemuran samping.
Untuk apa sih Papa memanggilnya menghadap tamu dengan tubuh bau asem begini.
“Nanti saja ya, Pa! Ester mandi
dulu.”
“Ini, ada namboru sama paribanmu
datang. Salam dulu,” bujuk Papa masih sehangat martabak di kuali.
Papa? Tega sekali memajang anak
gadisnya di depan namboru. Ada
paribannya pula! Ester meremas handuk mandi yang sudah berhasil diraupnya dari
jemuran. Grogi. Dia merasa tidak sanggup berdiri di depan Samuel, paribannya
yang sejak kecil diam-diam sudah dikaguminya. Samuel tampan. Terlebih sejak
masuk akademi militer di Magelang, semakin bersinar raut gantengnya ditunjang
tubuh kokoh berotot.
“Bentar ya Pa, Ester ke kamar
mandi…” langkah Ester tidak beraturan menapak lantai. Kepalanya menunduk.
Rambut panjangnya sengaja digerai ke samping untuk menghalangi pandangan dari
mereka yang duduk di ruang tengah.
“Huu… Yang nggak biasa didatangi
pariban. Grogi ya!”
Ih, Papa! Apa-apaan sih? Ester
bergegas menyelamatkan diri ke kamar mandi. Mengunci pintu rapat-rapat.
Menghalangi tawa deras Papa menerobos ke ruang lembab yang beraroma pinus itu.
Ester gemetaran. Tak juga melakukan apa pun selain hanya menyiram-nyiramkan air
ke kaki jenjangnya, sampai air di bak berkurang hingga setengah. Hati dan
pikirannya sibuk menerka-nerka maksud kedatangan namboru dan putranya yang
gagah. Apakah…..urusan perjodohan?
Menyembul dalam benak Ester hari
dimana namboru Kak Ribka (tetangga sebelah rumah Ester) datang berkunjung.
Kedatangan itu ternyata lamaran untuk Ribka. Desember di tahun yang sama Kak
Ribka dan paribannya sudah melangsungkan pernikahan. Permintaan namboru konon
tidak bisa ditolak. Kak Ribka yang ketika itu sudah punya pacar, tidak sanggup
menghadang bujukan ayah dan namborunya. Apa kedatangan namboru Ester kali ini
membawa maksud yang sama?
Tapi Ester masih kelas satu SMA.
Terlalu dini kalau namboru melamarnya saat ini. Apa mungkin Samuel yang
memaksa? Siapa tahu Samuel takut terlambat, paribannya yang cantik keburu
disambar orang. Ester mengulum senyum bangga.
Sebenarnya Ester jarang bertemu
dengan Samuel. Walau sama-sama tinggal di Medan,
tapi pertemuan yang jelas hanya terjadi saat tahun baru tiba. Saat itu Samuel
dan keluarganya mengunjungi keluarga Ester. Bersalam-salaman, meminta maaf atas
semua kesalahan yang dilakukan di tahun yang lalu, baik disengaja atau tidak.
Dilanjutkan dengan ungkapan doa agar apa-apa yang sedang dirancang atau sudah
berjalan di tahun yang baru bisa berjalan lancar. Apalagi sejak Samuel diterima
di Magelang, praktis tak ada lagi pertemuan. Mungkin Samuel ada libur, sehingga
dia bisa datang berkunjung.
“Ester….., kok lama kali di dalam.
Ngapain aja sih?” teguran Mama membuyarkan lamunan Ester. Dia tersadar semenjak
tadi belum juga membersihkan diri.
“I..iya, Ma…. Bentar lagi siap…” dia
tergagap-gagap sambil buru-buru melepaskan pakaiannya. Tapi dia tak bisa
langsung mandi. Air di bak ternyata habis terkuras untuk membasahi sepasang
kakinya tadi. Ester membuka kran lebar-lebar. Lagi terdengar derai tawa Papa
dari ruang depan. Bahagia amat sih? Hati Ester semakin dibuncah tanya. Tidak
biasanya Papa tertawa selepas itu.
“Esteerrr…. Cepat, Mama juga mau
mandi. Ngapain di dalam?” omel Mama sambil menggedor pintu kamar mandi.
“I..Iya, Ma, iya. Ini lagi nunggu
bak-nya penuh..” Ester panik memutar kran, berharap kucuran air makin deras.
Tapi tentu saja tidak bisa. Putaran
kran sudah kandas.
“Tadi kan sudah Mama isi penuh. Kok bisa habis? Ke
mana?” Mama heran bercampur gregetan. Wajah Mama terlihat berkeriut dengan sebelah
tangan diam-diam meremas perut. Ternyata dia sakit perut. Pantas!
“I..ini juga sudah penuh lagi kok,
Ma. Ester mandi sebentar ya....” lalu dari dalam kamar mandi terdengar suara
air mengguyur. Mama hanya bisa mengegeleng-gelengkan kepala. Kembali berbalik
ke dapur. Dia hapal acara mandi Ester. Tidak akan pernah bisa cepat. Setengah
jam lagi dia baru akan keluar dari sana.
Sebaiknya Mama numpang ke toilet tetangga saja deh. Dari pada meleleh di
celana? Hayo…
***
Sekali lagi Ester menatap ke kaca.
Memeriksa penampilannya. Hm, cukup oke. Ester menyamping, meneliti dandanannya kalau dilihat dari sisi. Ehhem. Sip! Dia berjalan menggapai
pintu kamar. Memutar pegangannya. Aeh,
tunggu! sekali lagi! Ester kembali ke depan cermin. Meneliti wajahnya, meyakinkan
diri. Memutar tubuhnya sekali ke kiri sekali ke kanan. Dia tersenyum puas.
Setelah memantapkan hati, Ester menuju ruang tamu. Dari jauh matanya
berusaha mendeteksi di mana gerangan Samuel duduk. Tapi ayunan grogi membuat
pandangan Ester tidak bisa fokus.
“Aduh… lamanya boru hasian Papa ini. Salam dulu namborunya, sudah menunggu dari
tadi,” Papa mengarahkan tangan Ester pada namboru Sam…..lho, kok bukan? Kepala
Ester mendekat. Matanya terbelalak lebih lebar. Meneliti wajah orang di
hadapannya. Jelas! Itu bukan namboru Samuel. Mata Ester berpindah pada sosok
pemuda di samping namboru entah siapa itu. Siapa sih? Kok kampung benar
penampilannya? Itu jelas bukan Samuel.
bersambung ke bagian 2
'Pariban Dari Desa'