Pariban dari Desa (6)


 
Pariban dari Desa
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 6. Hidup Di Bui
            Mata Tigor mengabur. Dengan ujung jari disekanya genangan air matanya. Setelah penglihatannya kembali terang, dia mengulang membaca sms yang mampir ke ponselnya. Sms dari ibunya dengan meminjam hp sintua Molken tetangga mereka.
            Syukur pada Tuhan anakku, doa kita semua telah didengarNya. Engkau telah berhasil lulus dengan nilai yang baik. Engkau semakin dekat dengan gelar sarjanamu. Teruslah berjuang anakku sayang. Uma dan adik-adikmu selalu berdoa dan mendukungmu yang  jauh di perantauan. Walau hati kami rindu ingin bertemu dan bersamamu, tapi demi masa depan yang lebih baik, kita semua harus bersabar dan menahan hati yang yang bersedih karena  kita berjauhan begini…
            Itulah salah satu bunyi sms yang dikirmkan ibu Tigor. Masih ada dua sms lagi yang isinya hampir sama. Saking senang dan bangganya hati ibu itu membuat dia tak puas dengan hanya mengirim satu sms saja. Entah siapa yang disuruhnya mengetikkan kalimat-kalimat panjang itu. Sebab kalau ibu Tigor pasti belum bisa mengoperasikan perangkat komunikasi canggih itu. Tigor ingat, dulu, untuk menghidupkan radio saja ibu tak pernah mau. Dia tidak tahu.
            Tigor kuliah mengambil jurusan tehnik mesin. Papa mendukung sepenuhnya.
            “Sangat menunjang hobbimu yang suka dengan perbengkelan. Lanjutkanlah Bere.” Papa menepuk-nepuk pundak Tigor. “Kalau perlu, kita buatkan bengkel untuk kau  nanti.
            Serta merta Tigor mendongak penuh harap ke arah tulangnya. “Yang benar Tulang.”
            “Tenang saja,” Papa meraih kertas ujian semester dua Tigor dari atas meja. “Tulang senang melihat nilai-nilaimu ini. Sekarang…..tunjukkan pada Tulang kalau kau bisa mempertahankan prestasimu, syukur-syukur bisa meningkat. Kalau dalam dua tahun ini kau bisa memenuhi target yang Tulang kasih, Tulang akan buka bengkel untuk kau kelola nanti. Bagaimana?”
            “Oke, Tulang. Deal!” sorak Tigor.
            Papa menyambut tangan Tigor yang bergerak mengajak bersalaman, “Ester juga akan bangga padamu,”
            Tigor melihat binar senyum di bibir tulangnya. Juga tatapan orang tua itu manghangat. Sejenak Tigor gugup. Papa rupanya masih terus menyimpan asa perjodohan putrinya dengan Tigor. Bukankah Papa tahu kalau Ester semakin lengket dengan Samuel? Sekarang ini mereka berdua malah sedang liburan ke Danau Toba. Tigor melihat betapa bahagianya Ester saat bersama Samuel. Cemburu yang mengaduk hati sekuat daya dia lerai. Wajah ibu Tigor dan adik-adiknya selalu jadi penawar panas hati. Tigor ingin secepatnya lulus dan bekerja. Dia ingin adik-adiknya menyusul untuk bersekolah di kota. Kalau waktunya tiba Tigor juga akan mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya. Melupakan segala penat yang merontokkan tulang-tulang saat mengerjakan sawah yang tidak seberapa luas.
            “Tulang ingin melihatmu suatu hari nanti bersanding dengan Ester,” Papa menatap ke luar jendela kamar Tigor. Mungkin menitipkan asanya pada penguasa takdir manusia. Atau Papa juga terganggu dengan kedekatan Ester pada Samuel. Berulang kali Tigor melihat penolakan samar Papa bila Samuel datang bertandang. Tapi untuk melarang secara terang-terangan Papa enggan. Bagaimana pun juga Samuel adalah berenya. Anak dari saudara perempuan Papa. Ditilik dari pertalian darah Ester lebih pariban dengan Samuel. Sebab walau Tigor juga pariban Ester, tapi itu sudah dari garis saudara kakek.
            Bagi Tigor, perjodohan itu tak lagi begitu penting. Sebuah bengkel adalah target utama.
            Dua tahun kemudian bengkel yang dijanjikan Papa telah terwujud nyata. Tigor mengajak tiga sepupunya dari kampung untuk membantunya menangani bengkel baru itu. Ketiganya adalah lulusan STM Negeri Pansurnapitu dari Tarutung. Telah PKL selama enam bulan di sebuah bengkel besar di Siantar. Mereka juga tipe pekerja keras dan cepat belajar. Ketrampilan dan servis yang baik dari mereka membuat bengkel itu cepat berkembang dan segera memiliki pelanggan. Tigor sudah bisa membiayai kuliahnya dari hasil bengkel. Bahkan dia sudah bisa mengirim ke kampung untuk membantu ibunya menutupi keperluan sekolah adik-adiknya.
            Tapi hidup tidak selalu mulus. Manusia adalah mahluk yang ditakdirkan untuk menangis dan tertawa di sepanjang musim kehidupannya. Dalam hati setiap manusia ada rahasia yang hanya dia dan Tuhan yang mengetahuinya. Dan apabila rahasia itu terungkap ke permukaan, ada kalanya mencipta dampak yang menyesakkan, terutama bila rahasia itu adalah sebuah kecurangan..
            Papa diciduk polisi. Ada indikasi kalau Papa terlibat korupsi di kantor tempatnya bekerja. Lalu pengadilan membuktikan bahwa tuduhan itu ternyata betul. Papa menerima hukuman lima tahun penjara. Tigor terhenyak. Sama sekali tidak menyangka tulang yang sangat dihormatinya bisa terlibat perkara memalukan seperti itu.
            Ester, Ria  dan mamanya sangat terpukul. Hampir setiap hari mereka menangis. Selain menghadiri sidang Papa sebelum vonis kemarin, mereka hanya mengurung diri di rumah. Tak lagi punya nyali untuk menghadapi orang-orang di luar rumah sekalipun itu hanya pemungut sampah. Mereka merasa diri mereka lebih hina dari siapa pun di dunia ini. Mereka manusia rendah yang selama ini mencukupi kebutuhan hidup dengan hasil curian. Ester dan Ria tidak tentu lagi sekolahnya.
            “Malu Ma..” ratap Ester tak berdaya. Padahal Ester baru semester awal di perkuliahan.
            “Ria juga nggak mau sekolah. Ria nggak sanggup Ma…”
            Harta mereka mulai terkuras. Pengacara terkenal yang mereka bayar mahal ternyata tak sanggup menghindarkan Papa dari hukuman. Mereka juga diharuskan membayar denda yang jumlahnya sangat besar. Tidak berapa lama kemudian Mama mulai mencemaskan kelanjutan hidup mereka. Jangankan untuk biaya pendidikan Ester dan Ria. Untuk makan pun Mama mulai bingung.
            “Ester akan minta bantuan Namboru Samuel.” Ester teringat famili dekat mereka yang juga calon mertuanya itu. Saat hari gelap Ester memacu kreta menuju rumah keluarga Samuel. Kereta matic second itu adalah pengganti mobilnya yang sudah terjual. Dari rumah Ester di Deli Tua ke Simalingkar tempat keluarga Samuel lumayan jauh. Di tengah perjalanan hujan mengguyur kota Medan. Ester kebasahan. Padahal dia masih di Pasar Satu Padang Bulan. Ester menangis di tengah hujan. Gentar mendapati dirinya sendirian dikeroyok malam dan terpaan tajam air hujan . Andai saja tadi dia mengijinkan Tigor mengantarnya. Tapi tidak. Ester tak akan pernah memberi celah pada pemuda kampung itu. Ada dendam yang mendidih di dada Ester terhadap Tigor. Bengkel itu! Sepertinya Papa terpaksa korupsi demi berdirinya bengkel yang sekarang dikelola Tigor. 

bersambung ke bagian 7
'
Demi Tulang Dan Pariban Tersayang'       

1 Response
  1. Anonim Says:

    sambungan nya mana lae...???