Sepatu Baru Di Bawah Meja

Sepatu Baru Di Bawah Meja
Oleh: Elwin FL Tobing

            Siti benar-benar bingung. Sepatunya rusak. Tapaknya retak. Warna sepatu itu juga sudah kusam dan mulai bolong di kedua sisi. Sudah seharusnya sepatu itu diganti. Tapi Siti tidak berani meminta sama Ibu. Ibu pasti tidak punya uang untuk membeli sepatu baru. Kemarin saja, Ibu terpaksa mengutang pada Bu Nur untuk melunasi kaos olahraga Siti.
            “Hari ini Siti nggak usah jajan dulu di sekolah ya, Nak. Ibu nggak punya uang lagi.” Kata Ibu ketika Siti sedang membolak-balik sepatunya yang rusak itu. Siti mengangguk lemah.
            “Iya, Bu. Nggak jajan juga nggak apa-apa kok. Asal makan siang Siti bisa tambu dua kali.” Balas Siti bercanda. Ibu tersenyum sayu. Lalu mencium kedua belah pipi Siti. Ibu tahu Siti hanya bercanda. Mereka sama-sama tahu kalau mereka hanya makan seadanya saja. Siti juga tidak pernah meminta lebih karena dia tahu ibunya tak punya uang untuk menyediakan makanan lebih banyak.
            Siti tidak berani lagi meminta ibunya membeli sepatu baru. Ibu jelas tidak punya uang. Dengan terpaksa Siti mengenakan sepatu rusak itu. Sambil berusaha menahan berat badannya dia melangkah pelan-pelan.
            “Bu…, Siti berangkat sekolah ya!”
            “Hati-hati ya, Nak!” balas Ibu dari samping rumah. Ibu tengah sibuk memilah-milah sampah bekas yang dikumpulkannya semalam. Setiap hari pendapatan Ibu semakin berkurang saja. Ibu bilang, makin banyak saingannya dalam mencari botot.
            Andai saja Ayah masih hidup. Tapi Ayah sudah meninggal setahun yang lalu. Ayah tertabrak truk saat menyeberang jalan menuju tempat penjualan botot.
Tidak baik menyesali keadaan. Lebih baik aku mensyukuri apa yang masih ada. Aku masih punya Ibu yang sayang sama aku. Aku juga masih bisa sekolah. Aku masih punya sepatu walau agak rusak, batin Siti berusaha menepis kesedihan hatinya.
            Sepanjang jalan ke sekolah Siti terus memikirkan sepatunya. Dia melangkah dengan sangat hari-hati. Menghindarkan sepatunya dari benturan atau tersangkut pada sesuatu. Siti tidak ingin sepatunya bertambah rusak.
            Matahari bersinar terik. Anak-anak SD Tunas Mekar baru pulang dari sekolah. Mereka bersorak riang. Bahkan murid laki-laki banyak yang berebutan ketika keluar dari pintu kelas. Mereka berlari, tak sabar ingin segera sampai di rumah. Sementara murid perempuan memilih menghindar. Mereka tidak ingin terdorong sempoyongan oleh para murid laki-laki yang keluar tergesa-gesa.
             Setiba di luar gerbang sekolah Siti membuka sepatunya. Sepatu itu ditentengnya sepanjang jalan pulang ke rumah. Rahma tersenyum geli melihat tingkah kawannya. Panas terik begini kok buka sepatu.
            “Banjir ya?” goda Rahma.
            Siti hanya tersenyum. Dia tak menjawab. Sepatunya pun tetap ditenteng. Sepanjang jalan dia nyeker sampai ke rumah. Walau banyak teman yang meledeknya, tapi Siti cuek saja. Sepatunya yang sudah kusam dan mengelupas diayun-ayunkannya sambil bernyanyi-nyanyi riang.
            Keesokan harinya, Siti kembali menenteng sepatunya. Ketika berangkat sekolah dan ketika mau pulang. Sepatu itu hanya dipakainya selama jam pelajaran saja. Rahma dan kawan-kawan yang lain tentu saja keheranan. Cuaca panas. Jalanan menuju sekolah banyak kerikil. Tapi kenapa Siti tak memakai sepatunya?
            “Nggak capek nenteng-nenteng sepatu, Ti?” Tanya Rahma.
            “Nggak.” Sahut Siti pendek.
            “Jarimu bisulan ya?” Rahma meneliti jari-jari kaki Siti. Siapa tahu ada jari kakinya yang terluka atau bengkak karena bisul. Mungkin itu yang membuat Siti malas memakai sepatunya.
            “Nggak kok.” Siti memperlihatkan jari-jarinya yang sehat.
            “Jadi kenapa sepatumu nggak dipakai?”
            Siti tak memberi jawaban. Kecuali hanya mengulaskan senyum. Dia tidak perlu memberitahu alasan. Cukup dia yang tahu kenapa sepatu itu ditentengnya saat pergi dan pulang sekolah. Tapi Rahma penasaran. Dia berusaha mencari tahu alasan kenapa Siti selalu menenteng sepatunya.
            Suatu hari saat pelajaran olahraga, Rahma mengendap kembali ke kelas. Semua kawannya sedang asyik mengikuti lomba lari di halaman sekolah. Rahma cepat-cepat menuju bangku Siti dan mengambil sepatu Siti dari kolong meja. Ketika meneliti sepatu itu, Rahma kaget. Sepatu itu sudah rusak parah. Tapaknya patah. Siti menyambungnya dengan kancing peniti. Di kedua sisi ada bolong besar yang ditutupi Siti. Rahma berpikir sejenak. Pasti Siti tak mau memakai sepatunya agar tidak semakin rusak, bisik Rahma dalam hati.
Diam-diam Rahma memberitahukan hal itu pada kawan-kawan sekelasnyanya. Rahma berencana mengajak kawan-kawannya untuk mengumpulkan uang. Uang itu akan digunakan membeli sepatu untuk Siti. Semua kawannya setuju.
Setelah uangnya terkumpul Rahma membeli sepatu baru untuk Siti. Lalu Rahma dan kawan-kawannya sepakat untuk memberikan kejutan pada Siti. Saat pelajaran olahraga, Rahma dan Nova diam-diam meletakkan sepatu baru itu di kolong meja Siti. Sementara sepatu lama Siti mereka singkirkan.
Seusai pelajaran olahraga mereka semua kembali masuk kelas. Siti meraih ke kolong meja untuk mengambil sepatunya. Betapa terkejutnya Siti ketika tidak melihat sepatunya di sana. Dia hanya melihat sebuah sepatu yang masih baru dan wangi. Wajah Siti pucat. Dia melirik ke kiri-kanan ke depan dan ke belakang.
“Kenapa, Ti?” Tanya Rahma pura-pura tidak tahu.
“Sepatuku hilang…” lapor Siti cemas. Lalu Rahma melongok ke bawah meja Siti.
“Tuh, yang di bawah, sepatu siapa?”
“Aku nggak tahu. Ini bukan sepatuku.” Siti bangkit dari bangku dan mencari-cari sepatunya ke seluruh penjuru kelas. Wajahnya menahan tangis. Terbayang kalau sepatunya benar-benar hilang. Apa yang akan dipakainya di sekolah?
“Memangnya sepatumu biasa kau letak di mana?” Nova pura-pura ikut mencari.
“Ya di bawah meja. Mau ditaruh di mana lagi?” sahut Siti semakin panik.
“Itu ada sepatu di bawah mejamu….”
“Nggak tahu punya siapa. Itu bukan sepatuku1” jerit Siti mulai menangis. Lalu Rahma meraih sepatu baru dari bawah meja Siti.
“Ini sepatumu, Ti. Ada kok namanya,” Rahma mengacungkan sepatu itu ke arah Siti. Siti terperanjat. Dia mengambil sepatu itui dari tangan Rahma. Di tapak sepatu itu ada tulisan spidol ‘SEPATU BARU SITI’. Siti terheran-heran.
“Ini… bukan..” Siti kebingungan. Lalu Rahma mengacungkan sepatu itu tinggi-tinggi.
“Ini sepatu siapa?”
“Sepatu Sitiiiiiii….” Sahut kawan-kawannya serempak.
“Kata mereka sepatu ini milikmu.” Rahma menyerahkan sepatu itu kembali pada Siti. Tak lama kemudian bel tanda pulang berdentang. Siti masih memegangi sepatu itu dengan bingung. Sementara kawan-kawan sekelasnya hanya tersenyum-senyum geli. Saat mau pulang, kawan-kawannya satu persatu menyalami Siti.
“Selamat ya. Sepatu barumu cantik lho,” kata mereka sambil mengedipkan mata.
“Tapi ini bukan sepatuku…”
“Ah, sudah jelas ada tulisannya ‘SEPATU BARU SITI’. Memangnya ada berapa Siti di kelas kita?” kata Ria centil sambil menyenggol bahu Siti.
Siti masih terheran-heran. Tapi kawan-kawannya membiarkan saja. Mereka berbisik-bisik dan tertawa cekikikan. Rupanya mereka sangat senang melihat wajah Siti yang kebingungan. Dasar ya kawan-kawan Siti ini. Baik hati sih. Tapi suka sekali ngerjain kawannya.

dimuat di harian analisa, 12des'2010








0 Responses