Mengapa Kau Putuskan Aku?
Oleh: Elwin FL Tobing
Ada
alasan untuk semua tindakan. Seperti bunyi peribahasa yang diajarkan Diana pada
murid-muridnya: tak ada asap kalau tak ada api. Peribahasa yang gampang
dimengerti. Dan tak perlu menelaah terlalu dalam untuk menyetujui. ‘Sebab’
menimbulkan ‘akibat’. Itu pasti.
Penyebab
pernikahan Epsan pun jelas. Dia dijodohkan dengan paribannya. Kata Epsan, dia
tidak bisa menolak. Tulangnya hanya
punya satu anak perempuan. Dan si tulang tidak ingin putri tunggalnya menjadi milik
orang lain. Oleh karena itu, si tulang menunjuk Epsan jadi menantunya. Itulah alasan
Epsan memutuskan hubungannya dengan Diana.
Walau alasan itu sangat jelas, tapi Diana
sulit menerima.
Hubungannya
dengan Epsan bukan lagi hitungan kwartal. Bukan semester. Sudah sejumlah empat
kali tahun ajaran baru berganti. Waktu yang sangat lama. Cukup untuk membuat
hati mereka melekat. Erat. Mungkin itu yang membuat alasan Epsan terasa hambar.
Bahkan menyakitkan.
Oh, ada satu alasan lagi, penyebab Epsan
meninggalkan Diana dan memilih paribannya.
Epsan
pernah melamar Diana. Satu tahun yang lalu, saat kasih mereka erat berpadu.
Saat musim di hati mereka hanya satu: musim bunga tanpa salju. Epsan meluruhkan
alasan cerdas. Mereka sudah sama-sama dewasa. Sudah punya pekerjaan. Sama-sama
mengajar, apalagi? Untuk ukuran di daerah mereka, status guru adalah status
terhormat dan bermartabat. Terlebih Epsan sudah PNS.
Tapi
waktu itu Diana meminta penangguhan. Dia merasa terlalu muda. Belum siap hidup
dalam keterikatan. Diana meminta waktu setahun atau dua tahun lagi. Menunggu
kakaknya, Riska menikah lebih dulu. Sembari menunggu hari itu, Diana ingin memuaskan
hasrat dalam kebebasan masa muda.
Waktu itu Epsan menerima alasannya. Epsan
sepakat dengan syarat yang dilontarkan Diana.
Mereka tetap pacaran. Tak ada yang berubah.
Tapi
kali ini Epsan memantik penolakannya waktu itu jadi alasan pembenaran diri.
Mengapa?
Barangkali Diana lupa. Alasan juga bisa
dicari-cari.
***
Diana
tak berdaya menghalau sunyi yang menjepit hatinya. Keluhnya bersahutan ketika
ponselnya mengulangi getar. Dia yakin, pasti Epsan yang kembali mengirim pesan.
Menjelang hari pernikahannya -entah kenapa dan untuk apa- Epsan semakin rajin
menanya kabar dan berkirim pesan. Mengingatkan Diana untuk makan dan
beristirahat. Meminta maaf. Mengharap Diana sudi datang di hari pernikahannya.
Untuk apa? Tidak tahukah Epsan kalau semua itu ibarat pisau yang meraut
sembilu, dan menghunjamkannya lebih dalam ke hati Diana?
Diana
menengadah. Dia tak ingin menangis lagi. Tangisnya tak akan mengembalikan Epsan.
Pemuda itu bukan tipe lelaki nekat. Barangkali dia tak pernah menonton film India.
Sehingga tidak mengerti kalau cinta perlu diperjuangkan. Kalau perlu sampai menentang
orang tua, termasuk tulang, kalau
orang India punya tulang.
Atau….
Jangan-jangan Epsan tak sungguh-sungguh mencintainya.
Ya!
Epsan tak sungguh-sungguh mencintainya, itu penyebabnya. Selama empat tahun
ini, Epsan hanya pura-pura, oh bukan. Epsan tentu tidak sekejam itu. Dia pasti
memiliki cinta untuk Diana. Tapi kadarnya tidak seberapa. Seolah cinta itu
hanya sekedar mampir. Gampang pindah kalau terusik. Diana tidak cukup berharga
untuk diperjuangkan. Owh! Merinding sekujur tubuh Diana. Matanya kembali panas.
Hatinya juga.
Betapa
kejamnya Epsan. Diana sungguh tak mengerti.
Diana masih terus menggali, penyebab apa
gerangan yang membuat cinta dan kesetiaannya diabaikan? Apa…..status
pekerjaannya ikut berperan?
Kabarnya,
pariban Epsan menyandang status bidan pns. Sedangkan Diana masih honorer. Ah,
iya! Tentu hal itu ikut menentukan. Masyarakat di sekitar Diana adalah pemuja
status pns. Seolah menjadi pns adalah jaminan hidup paling sempurna. Walau di
sekitar mereka bertebaran para pns yang selalu berutang. Sebaliknya terdapat
sopir truk pengangkut tanah liat yang telah lama bisa membangun rumah sendiri.
Punya sepeda motor. Punya mesin babat, punya setrikaan. Mereka menutup mata
dengan kenyataan itu. Padahal saban hari ada pns yang selalu meminjam setrikaan.
Setrikaan saja tidak punya? Memang! Tapi karena statusnya pns, ‘aib’ itu tak
terlihat. Seolah tak nyata.
Tiba-tiba
Diana merasa muak. Epsan ! Laki-laki itu tak pantas dicintai olehnya. Epsan hanya
laki-laki lemah. Epsan manusia penuh sandiwara. Berpura-pura mencintai padahal
hatinya pada paribannya yang bidan. Epsan laki-laki matrealistis. Matanya silau
melihat status paribannya yang sudah pns. Puahh! Epsan laki-laki menjijikkan.
Diana tidak sudi datang ke pesta pernikahannya.
***
Suara
sepeda motor menderum-derum menapaki jalan berbatu. Diana mencengkeram pegangan
besi di pinggir jok agar tubuhnya tidak terlontar dari boncengan. Sepeda motor
terus menderum mendaki jalan desa yang aspalnya tidak sempurna. Batu-batu
beraneka bentuk dan ukuran berserak di sana-sini. Lobang berisi air tergenang
terdapat di banyak tempat. Airnya keruh dan didiami berudu.
Diana
menengadah. Telinganya menangkap irama musik gondang di kejauhan. Debar di dada
Diana melecut tak beraturan. Di benaknya tergambar sepasang pengantin yang
sedang menjalani prosesi adat. Epsan dan paribannya yang telah sah jadi suami
istri. Dada Diana sakit. Dia ingin menangis.
Tapi
bukan itu rencananya. Tidak ada lagi air mata. Diana datang ke pesta pernikahan
Epsan bukan untuk menangis. Dia hanya ingin menunjukkan, kehilangan cinta
laki-laki itu tak berpengaruh apa-apa pada dirinya. Diana tetap bisa tersenyum,
bahkan tertawa. Dia akan bercengkerama dengan kawan-kawannya di pesta itu.
Seperti biasa. Seperti tidak terjadi apa-apa. Tak ada luka dan tangis. Tak ada.
Tapi
tekad itu terasa mengendur ketika suara musik berirama gondang
menghentak-hentak di telinga Diana. Tanpa terasa air matanya kembali menetes.
Dadanya sesak sembilu. Kenangan manis dan penghianatan Epsan silih berganti
melintas di benaknya. Epsan tertawa penuh kemenangan ketika melihat Diana
menghadiri pestanya. Epsan merapatkan badan pada istrinya, seolah ingin
memantik cemburu Diana lebih berkobar. Epsan menggoda istrinya di pelaminan,
membuat si nyonya baru itu malu-malu menyembunyikan senyum. Epsan….arggggghhh….
Diana
menggeleng kuat untuk menghalau segala bayangan yang memilukan hatinya.
Bersambung….