Angkot Tua Berwarna Cinta


Angkot Tua Berwarna Cinta
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 1. Siang Paling Sial
            Ninja merah itu bergoyang-goyang. Larinya tersentak-sentak. Sebentar melesat kencang. Tiba-tiba pelan. Lalu menyentak keras dan menderum sempoyongan. Beberapa pengemudi terpaksa menepi dan memaki. Tapi si pengendara ninja balas memaki dengan bahasa yang lebih kasar. Setelah itu, dia kembali menuding-nudingkan telunjuk kirinya ke gadis yang ada di boncengan. Sumpah serapah kasar terlontar keras dari mulutnya. Si gadis membalas dengan tak kalah kasar. Ninja berlari menghentak-hentak. Kedua penumpang di atasnya tak peduli. Mereka terus bertengkar hebat. Suara mereka yang berbalut emosi tinggi mencabik-cabik udara yang sedang dibakar terik.
Orang yang menyaksikan peristiwa itu ternganga keheranan. Seorang ibu setengah baya menjerit ngeri ketika sepeda motor besar itu hampir tertubruk truk sampah. Dua pria yang berdiri di depan kedai rokok menunjuk kepada pengendara ninja sambil meneriaki: gila! Para pengendara yang berpapasan dengan ninja mabuk itu berseru-seru kaget. Lalu memaki-maki. Ninja tak peduli. Larinya tetap tak beraturan..
Tiba-tiba ninja itu mengerem mendadak di tengah jalan. Pengemudi sedan di belakangnya terkejut dan membanting setir untuk menghindari tabrakan. Kendaraan lain yang menyusul di belakang berlaku serupa. Jerit klakson yang spontan di pencet karena kaget sambut menyambut memekakkan telinga. Para pengendara memaki-maki. Tapi pengendara ninja tak peduli.
“Turun!” bentak si pengendara keras sekali. Gadis di boncengan mendelik, tersinggung.
“Turun dari keretaku, cepat. Cewek macam kau tidak pantas naik kereta bagus. Noh, naik becak barang itu saja,” betul-betul penghinaan. Si gadis pun melompat ke aspal dengan wajah menyala marah. Si pengendara ninja menyeringai puas. Dengan kasar dia menggeber tunggangannya dan melesat meninggalkan si gadis di tengah siliweran kendaraan. Orang yang melihat tak henti berseru dan mengegeleng-geleng. Tak habis pikir melihat tingkah gila sepasang remaja itu.
Din Diiiiiiiinnn…klakson menjerit-jerit menyuruh si gadis ke tepi.
“Hei cewek gila! Minggir kau.”
“Kau pikir kau sudah cantik kali, pake mejeng di tengah jalan siang-siang. Longor...”
“Wah ‘pemain’ mungkin. Angkat saja,” seringai seorang pemuda berwajah mesum pada kawannya. Lalu taruna abu-abu mereka mendekat. Pemuda di belakang kemudi menyolek lengan gadis itu. “Ayo naik, Dek,” ajaknya genit sambil mengedipkan mata. Tak disangka gadis itu meradang.
“Kau pikir aku cewek apaan hah?’ tangan mungil si gadis melayang deras. Buru-buru pengemudi taruna itu melengos dan berlalu. Kawan si sampingnya tergelak-gelak. Si gadis berusaha mengejar sambil tak henti memaki-maki.
Seseorang entah siapa melempar gadis itu dengan botol aqua yang masih berisi setengah. Gadis itu meraung dan berbalik mencari orang yang melemparnya. Tapi timpukan segala macam benda lebih banyak menerpa tubuhnya. Kotak tissue, sandal jepit, minuman kotak, tupperware hingga potongan brownis bertubi-tubi menghantam si gadis. Wajah dan pakaiannya kotor belepotan sisa minuman kotak dan pecahan kue. Kejengkelan para pengendara kendaraan itu rupanya sudah tak tertahankan. Laju mereka jadi terhambat gara-gara keberadaan di gadis yang mutara-mutar tak tentu arah di tengah jalan.
Si gadis akhirnya tak tahan menerima lemparan. Sekilas dia melihat angkot yang melintasi rumahnya. Dia melompat ke dalam. Mengatupkan kedua tangan ke wajah dan menangis sesenggukan. Dia baru menyadari betapa terhina dirinya. Ditinggalkan di tengah jalan di siang yang membakar. Dimaki-maki dengan kasar dan direndahkan seolah dia gadis jalang yang kesasar. Dan Rizki, cowok kurang ajar itu. Apa yang telah dia lakukan? Meninggalkannya di tengah jalan setelah puas memuntahkan sumpah serapah yang menyakitkan. Si gadis makin sesenggukan di dalam angkot yang melaju pelan. Para penumpang saling pandang. Sopir beberapa kali menjenguk ke belakang. Entah apa yang dipikirkannya tentang penumpangnya yang acak-acakan itu. Angkot terus melaju. Membelok ke jalan kecil komplek perumahan. Gadis itu membuka wajahnya. Tampak air mata berlinang membasahi pipinya. Kedua tangan tak henti menyeka kiri kanan. Tapi cucuran air matanya tak juga berkurang.
“Pinggir.pinggiiiiirrr…” tiba-tiba gadis itu menjerit. Sopir angkot menghentak pedal rel tiba-tiba. Penumpang lain berseru kaget. Kepala berantukan satu dengan yang lain. Dengan kasar si gadis menyeruak lewat lutut-lutut yang nyaris bersentuhan dari masing-masing barisan bangku penumpang. Setiba di pintu dia melompat dan berlari menggapai pagar sebuah rumah. Jangankan bayar ongkos. Melirik pada sopir pun sama sekali tidak. Sopir dan penumpang angkot yang lain ternganga. Beberapa orang masih mengusap-usap kepala yang berdenyut. Sopir menarik napas lalu menghembuskannya dengan berat. Dua ribu rupiah melayang lagi. Padahal tadi sudah keluar uang untuk menambal ban yang melindas paku. Si sopir berusaha menekan kecewa dan amarah. Perlahan dia menjalankan kendaraannya. Para penumpang riuh mempercakapkan kejadian yang mereka alami barusan.
“Heh… ada hape.” Seseorang menunjuk ke bekas bangku yang ditinggalkan si gadis. “Mungkin punya gadis stress itu.”
“Kasih saja sama sopir. Biar dia yang mengembalikan,” saran yang lain.
“Tidak usah dikembalikan. Hitung ongkos saja,” suara lain menimpali diiringi tawa kecil.
Sementara si gadis telah membanting pintu kamarnya. Blam..!!
“Lho! Imah..ada apa?” Mama yang baru masuk dari pintu samping terkejut. Dia memburu putrinya ke kamar. Tapi Imah, nama gadis itu, mengunci pintu dari dalam.
“Imah, buka pintunya. Kenapa kau menangis? Ada apa, Nak?” Mama menggedor, “Imah, buka pintunya, Nak. Biarkan Mama masuk,”
“Rizki, Ma, hu u u   ….” Hanya itu balasan Imah dari dalam. Setelah itu hanya suara tangis yang terdengar menyayat-nyayat.
“Rizki kenapa? Bilang sama Mama, Sayang,” bujuk Mama penuh nada khawatir. Tapi hanya tangis Imah yang jadi jawaban. Pintu tak juga terbuka. Mama panik. Berbagai pikiran buruk menyerbu. Dugaan-dugaan jelek hadir tumpang tindih. Mencengkeram hatinya dengan ketakutan. Dia terus menggedor. .
“Sayang…ijinkan Mama masuk. Buka pintunya, Nak,”
“Imah ingin sendiri, Ma. Imah tidak akan buka pintu,” sahut Imah dengan suara tercekik-cekik. Terdengar derit ranjang. Lalu langkah Imah menapak tergesa. Sesuatu seperti direnggut dari dinding dekat pintu. Lalu suara kaca terdengar menghantam lantai. Pyaarrrr…
“Mampus kau, Brengsek,” teriak Imah menyusul gelegar kaca yang berantakan di kakinya. Disusul cepat dengan suara benda-benda lain menghantam dinding dan ranjang tidur. Imah mengamuk membabi buta di dalam kamar.
“Imah, Imah..! Aduh, kenapa kau. Sayang? Buka pintunya…” Mama panik. Dia mulai menangis mendengar jeritan histeris Imah dan gedubrakan aneka benda yang dilempar dan dibanting dengan liar.
Mama bergegas meraih ponsel dan menelepon suaminya, “Pa, Imah, Pa…”
“Imah kenapa?” suara berat bertanya dari seberang. Dengan tergesa, Mama menceritakan apa yang didengarnya dari dalam kamar putri tunggalnya.
“Anak itu memang tidak ada jeranya. Sudah dilarang pacaran dengan laki-laki liar model si Rizki, tapi tetap bandel. Akibatnya jadi begini, kan?”
“Pulanglah, Pa. Mama takut terjadi apa-apa.”
“Iya! Papa pulang segera. Pastikan mama masih mendengar tangis Imah, atau suara pecahan benda-benda di kamarnya.”
“Lho, kok?”
“Iya, Ma. Kalau kamar itu sunyi, takutnya Imah sudah bunuh diri,”
“Hah?” Mama shock. Tanpa memperdulikan hp-nya yang entah meluncur ke mana, Mama memburu ke kamar putrinya, “Imaaaaahhh…, jangan bunuh diri, Naaaakkk…!!” disusul suara meja dan kursi yang terjengkang sebagai korban tabrak lari Mama yang panik luar biasa.

bersambung ke Bagian 2
" HP Yang Hilang"



Dendam Cinta



Dendam Cinta
Oleh: Elwin FL Tobing

            Lanjar tak memperlambah laju keretanya. Jopan yang mengira kawannya itu akan parkir ke lapo, seketika berteriak, “Hoi… mau ke mana? Minum dulu segelas.”  Sambil mengacungkan gelas tuaknya ke arah Lanjar. Tapi pemuda kurus itu hanya melelehkan senyum patah tanpa mengurangi kecepatan. Empat ekor anak anjing yang ribut menyalakinya juga tak digubris.
            Setelah memarkir keretanya di bawah pohon pepaya depan rumah, Lanjar melangkah gontai ke dalam rumah. Ibu tampak berbincang santai dengan Inanguda Dame di dapur. Melihat kemunculan Lanjar, Inanguda Dame serempak melempar senyum.
            “Beruntung kalilah nasibmu, Njar.” Kerling mata Inanguda Dame sumringah. Walau sudah tahu arah kalimat Inanguda Dame, tak urung mulut Lanjar mencetus tanya.
            “Beruntung kenapa, Inanguda?”
            Tebakan Lanjar benar, “Sebentar lagi Si Novi sarjana. Aku dengar namanya juga sudah masuk dalam pengangkatan PNS. Sungguh enak kalilah hidupmu nanti.”
            Wajah Lanjar mengeras. Diam-diam menggigit bibir dengan hati geram.
            “Sudahlah! Apa lagi yang kau tunggu. Segeralah lamar dia.” Sambung Inanguda Dame dengan kerling yang semakin mengganggu.
            “Tidak tahu maunya orang muda sekarang. Entah apa yang ditunggu-tunggu,” timpal Ibu dengan suara sarat harapan. Dada Lanjar sesak. Dia tidak kuasa menatap raut Ibu. Dengan hanya menggantungkan senyum tanpa makna melamur wajahnya, Lanjar meninggalkan dapur. Dua keponakannya sedang berebut remote televisi di ruang tengah. Lanjar malas sekali untuk melerai. Dia berbelok ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di kasur tipis. Di layar hp, tak ada pesan atau panggilan masuk. Dia membuka folder pesan terkirim. Sudah lima jam sejak dia mengirimkan sms. Tapi belum ada balasan dari Novi. Lanjar menelan ludah yang terasa pekat. Dia mengirimkan sms susulan. Menunggu satu jam dengan sia-sia.
Lanjar resah menimbang harga diri. Kalau dia menelepon, akan sangat kentara kelemahannya. Novi tentu semakin jumawa. Merasa diri dewi yang bertahta di puncak langit.
            Entah sadar atau tidak, nomor Novi terpencet. Berdebar dada Lanjar menunggu hp di seberang sana diangkat oleh yang punya. Getaran di dadanya melemah seiring bunyi tulalit yang terdengar belakangan. Lanjar memencet ulang. Tapi belum lagi tersambung, dia sudah memutus. Rasanya, harga dirinya protes keras. Tidak pantas dia menghambakan diri begitu rupa.
            Dari arah dapur terdengar sayup suara Ibu. Kuping Lanjar mencermati monolog ibu. Cerita manis saat beliau dirawat di rumah sakit. Tentang Novi yang dengan sabar dan penuh kasih ikut menjaga Ibu selama di opname. Entah sudah berapa kali Ibu mengulang cerita itu. Entah siapa saja yang sudah mendengar kisah itu darinya. Dulu Lanjar bangga. Dadanya menbuncah kalau mendengar Ibu mengisahkan bakti pacar terkasihnya itu. Sekarang…..  Lanjar sendiri hampir tidak mempercayai cerita itu pernahkah terjadi?
            Tanpa mandi atau sekedar cuci muka untuk membuang keringat yang mengeras di wajahnya, Lanjar melajukan sepeda motor tuanya ke sembarang arah. Matanya menebar. Berharap menangkap bayangan Novi di satu titik pandangnya. Terkadang kupingnya seperti mendengar seseorang menyeru nama gadis itu. Atau suara gadis itu yang terbawa angin memanggil Lanjar dengan penuh damba. Tapi ternyata semua hanya permainan angin yang gaib. Sepanjang jalan yang telah dia jelajah, sosok Novi tak pernah nyata. Pikiran Lanjar kian kusut dan pengap.
            “Sekiranya ada yang lebih baik dari Adek, Adek ihklas.” Terngiang selarik kalimat yang menyabet hati Lanjar, dua hari yang lalu di teras rumah Novi. Lama dia tercengang. Menatap si gadis dengan hati retak. Tak ada gelagat lain dari Lanjar selama ini. Dia tetap mencinta Novi dengan kadar yang semakin mengkristal. Keraguan yang kerap timbul dulu, lunas terhapus ketika dia melihat Novi dengan sabar menyuapi Ibu di ranjang rumah sakit. Sejak itu, hati Lanjar kian mantap memilih Novi. Apalagi ketika tercetus ucapan Ibu yang mengaku bahwa kesembuhannya dipercepat oleh perawatan Novi. Hati pemuda mana yang tidak terharu mendengar ungkapan sesyahdu itu dari mulut Ibu tentang calon menantu?
            Sungguh menyentak ketika Lanjar menerima larik kalimat tajam tadi.
            Novi telah berubah. Sejak kuliahnya mendekati wisuda. Ketika namanya masuk data base pangangkatan PNS di tempatnya mengajar.
            “Apa karena aku hanya lulusan SMA?” rintih Lanjar pada Berta, teman Novi yang selama ini jadi tempat curhat Lanjar.
            “Aku nggak tau, Bang. Kelihatannya Novi juga sedang bingung.” Itu jawaban  Berta.
            Lanjar tidak kalah bingungnya. Novi semakin susah dijangkau. Sms menumpuk tak satu pun bersahut. Telepon berulang tak juga diangkat. Bila  Lanjar mendatangi ke rumah, beragam alasan  Novi untuk segera menyudahi pertemuan. Tidak lebih lima menit, sua mereka pun bubar. Lanjar merasa dia baru saja bertemu dengan seorang menteri perempuan yang angkuh. Bukan Novi, gadis yang kerap menceritakan mimpi-mimpi indahnya sambil menyandarkan kepala di bahu Lanjar, di waktu yang telah terlewat. Novi tak pernah lagi menyinggung hal-hal seperti itu. Pertemuan yang hanya lima menit penuh dengan cerita tentang kesibukannya mempersiapkan segala berkas yang diperlukan untuk jadi PNS. Juga cita-citanya yang melangit kalau sudah wisuda nanti.
            “Aku ingin ngambil S2. Nikah nanti-nanti saja, kalau sudah mapan.” Bebernya dengan dada tegak tanpa menoleh sama sekali pada Lanjar. Tatapannya diarahkan ke tempat yang jauh, tempat dimana cita-citanya tercantum.
            “Berapa tahun lagi rencanamu menikah?” tanya Lanjar hampa.
            “Lima atau enam tahun lagilah. Kalau hidup sudah mapan. Jadi hidup rumah tangga akan berjalan lancar.”
            Lanjar tersenyum pahit sekali. Dia menghitung usia. Lima tahun lagi umurnya sudah 40. Ah!
            Diam-diam melirik Novi. Coba mendeteksi seberapa jauh kebenaran kalimatnya tadi. Bukankah umur gadis itu juga tidak muda lagi. Sekarang sudah 28. Usia yang sudah matang bagi seorang perempuan untuk berumah tangga. Oh iya! Mapan. Bukankah itu tadi yang ingin diraihnya duluan? Dan apa ukuran kemapanan itu?
            Apapun itu, Lanjar merasa dia bukan orang yang bisa mewujudkannya bagi Novi. Beberapa bulan terakhir, standar gadis itu mencuat lebih tinggi. Sejak dia akan wisuda. Sejak namanya masuk data base pengangkatan PNS. Kesederhanaannya hilang. Dia sekarang begitu rajin menyambangi kota untuk berbelanja pakaian. Semakin cocok dengan makanan cepat saji ala luar negeri. Hp dengan layar lebar yang nyaman dipakai untuk facebook-an. Bisa jadi, seleranya terhadap laki-laki pun sudah beralih ke pria metropolitan.
            Lanjar berhenti di warung tenda penjual bandrek yang baru buka. Sore mulai remang. Sebagian pengendara yang melintas sudah menyalakan lampu kendaraannya. Lanjar duduk di bangku kedai. Memesan segelas bandrek susu. Matanya dipejam. Dia berusaha keras menyabar-nyabarkan hati yang geram.
            Lanjar membujuk hati agar ihklas mengakhiri cerita di hati. Berkali dia memohon ke arah langit mengharap cucuran ketabahan melimpahi dirinya. Tapi malah hunjaman perih yang kian bertubi mencederai. Mulut Lanjar serasa empedu ketika dia mendegut. Wajahnya pias. Hatinya menangis pilu. Sungguh sakit rasanya jadi orang yang tersingkir.
***
            Hp di saku Lanjar bergetar. Sebuah nomor tidak dikenal tertera di layar. Ragu-ragu dia mendekatkan hp itu ke telinganya, “Halow?”
            “Bang Lanjar?” sergap sebuah suara menderu panik di telinganya.
            “Iya! Ini siapa?”
            “Ini Berta, Bang! Novi sedang di rumah sakit, dia korban tabrak lari. Abang bisa ke sini.” Terburu-buru suara gadis itu. Panik seolah tengah dijepit oleh waktu yang sempit.
            “Aku masih kerja....” alasan Lanjar.
“Dia mungkin tak bisa bertahan, Bang! Aku bingung bagaimana cara memberitahu keluarganya. Tolong, Bang, segeralah datang.”
            Belum mati? Lanjar berdebar. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat.
“Bang, Bang Lanjar!”
“Iya iya… Aku ke sana…” hubungan terputus. Sunyi. Hanya gemericik air di sungai kecil itu memercik-mercik pendengaran. Lanjar kembali meneliti bemper mobil yang direntalnya. Tak ada lagi bekas darah. Dia juga yakin tidak ada orang yang sempat mencatat nomor polisinya. Walau begitu, gemuruh di dadanya semakin tak terkendali. Lanjar jadi ingin bunuh diri.
Siantar, Maret 2010

~dimuat di harian Medan Bisnis, 2mei2010
   
           
              

becanda yuk hehe....


SAAT ITU…SAAT PERTAMA KITA BERTEMU…KITA DUDUK BERSEBRANGAN…KU PERHATIKAN KAMU MENGHAMPIRIKU & MENGULURKAN TANGAN…”MINTA SeDEKAHNYA BANG”
==============================================
Cintailah sesamamu seperti kamu mencintai dirimu sendiri, tapi jangan mencintai pacar sesamamu seperti kamu mencintai pacar kamu sendiri.....
=====================
Saat aku sedih kau disampingku, saat aku marah kau ada di dekatku. Saat aku menangis kau disisiku, Sekarang aku sadar, jangan2 kau adalah pembawa sial untukku.
========================
Sudah sejak lama aku memperhatikanmu, mencuri pandang hanya untuk melihatmu, ku tak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu agar kau mengerti ada UPIL di hidungmu.
=========================
Nenek bilang kalo kita makan ga baca doa maka setan ikutan makan,
Ya udah aku makan ga baca doa biar setannya ikut makan,.
Nah pas minum baru aku baca doa, biar setannya ga bisa minum..
Rasain tuh setan, Keselek..!!!!
=======================================
“Masya Allah”,manis’a orang yang baca sms ini …
“Subhanallah”,senyun’a manis banget …
“Allahu Akbar”,sungguh memikat hati …
“Astaghfirullah”, Gue salah kirim sms…
==============================
Siapa yang potong rambut tiap hari tapi tidak botak?
Jawab: Tukang cukur!
=============================
Eh, Ntar Kalau kita naik sepeda, kamu pegangan aku ya..
Aku takut banget kalau kamu jatuh,
karena kalau kamu jatuh, nanti aku disangka..
Buang sampah sembarangan
========================

Di siang hari pd bulan puasa ada nenek2 yg lagi sakit kepala lalu minum BODRE*. Si cucu ngeliat kemudian bertanya: lo nek, kan lg puasa?. Sang nenek ngjawab: itulah okenya BODRE*, bisa diminum kapan aja.
=========================
jIka rindu,
mIzz me..
jika TiDuR,
dreaM oF me..
JIka sedih,
Meet Me
jiKe beTE,
cAll mE
jIkA laper
rebuz iNdomIe
=========================
Dapatkan hadiah langsung UANG SETIAP HARI dari PEPSI.
Caranya mudah, kumpulkan 10 tutup botol PEPSI,
pasang pada sebatang kayu, lalu goyang-goyangkan di Lampu Merah teredekat
=========================
ucapan selamat ulang tahun lucu
orang bilang
mawar itu rajanya bunga
mercy itu rajanya mobil
emas itu rajanya logam
dan kamu itu rajanya…….
tega…… koq ga traktir aku ulang tahun sich????? btw happy b’day yaaa
=========================
Eh Doain gua ya. Tadi gua baru chek up ke dokter, terus hasilnya gua kena penyakit BEAUTIFULIST Semacem penyakit yang bikin gua MAKIN CANTIK gitu deh. Tenang aja.Gak nular kok,Cuma gak bisa sembuh aja

================================
Istri lihat suami asyik baca koran sore…”
ENAK JD KORAN YAA…tiap sore DIPANDAANG.. .&
DIPEGANGIIIIN TRSS…” Suami menjawab dgn cuek…
“ANDAI KORAN INI ISTRIKU..TIAP SORE GANTI TERUS..

===================================
Gunung tinggi akan aku daki…
Lautan luas akan aku sebrangi..
kan aku kejar kemana pun kau pergi..
Berapa kali ku coba telpon kamu tapi kamu gak peduliin aku
dan aku pengin bilang . . . .
Sandal Kita tertukar
Chooy ….
================================
setiap kamu merasa bete
lihatlah ke kaca dan bilang
“aku benar-benar ganteng!”
pasti itu akan membuatmu bersemangat
jangan lakukan terlalu sering
soal nya ..
BOHONG ITU DOSA
================================
redup awan memecah bumi….
tiupan angin membawa mimpi…
ucapan selamat siang ingin ku beri…
pada temen ku yang belum mandi!!!!..
UUupZz,,,
bau sekali….

 
==============================
Angkat tangan!!Ini perampokan! Pria kekanan, wanita kekiri, setengah pria setengah wanita ketengah! Ya kamu! Hei Kamu! Jangan pura2 baca sms,AYO KETENGAH!!

 
===========================
Sorry nih, sore2 gini mau ngeganggu, aku mau minta tolong nih, kalo lagi ga sibuk, kalo bisa dan ga keberatan. Kalo gak ngerepotin, tolong hapusin sms ini dong !
=============================
Kamu itu cakep, baik, ramah, lucu, menyenangkan, pintar, supel, suka menolong, mengagumkan dan aku simpatik sama kamu.
Begitu kata teman2ku tentang AKU…
===============================
Merasa sedih dan sepi?
Hubungi gue!!
Tak ada teman curhat?
Hubungi gue!!
Merasa strezz seperti mo gila?
Hubungi RUMAH SAKIT JIWA DONKKK!!!!!
JANGAN GUE MELULU!


Nai Arta


Nai Arta
Oleh: Elwin FL Tobing
Nai Arta masih memberi makan babi peliharaannya. Sepasang hewan jinak itu dengan lahap mendecap-decapkan mulutnya ke palakka (tempat makan babi yang terbuat dari kayu). Perut babi betina tampak menggelembung berat. Wajah Nai Arta berbinar. Tangannya yang belepotan dedak kembali meraup campuran daun ubi rambat, dedak dan ampas yang sudah dihangatkan. Dengan menggunakan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa, campuran itu dituangkannya ke palakka. Babi gemuk itu mendengus girang. Decapnya semakin bersemangat. Binar di wajah Nai Arta juga kian rekah.
Sambil menggaruk-garuk punggung hewan itu, mata Nai Arta seolah sudah melihat banyak babi mungil ikut bersantap di palakka. Mungkin delapan atau sembilan ekor. Mungil-mungil dan gemuk sehat. Mereka saling dorong, berebutan mencecap makanan yang masih berbuih hangat. Nai Arta akan semakin repot menyediakan makanan untuk kawanan itu. Dia mungkin terpaksa membeli daun ubi jalar dari Nai Risdon. Membeli dedak dari penggilingan padi Ama Ambolas, juga ampas. Tak apalah. Yang penting ternaknya bisa tumbuh sehat dengan tubuh yang gempal padat. Lagi pula, kopi sigarar utang yang tumbuh di samping rumah sudah mulai berbuah. Nai Arta akan memiliki uang untuk membeli daun ubi rambat, dedak dan mudah-mudahan cukup untuk ampas paling sedikit selama tiga bulan. Setelah anak-anak babi itu berumur tiga bulan, Nai Arta akan menjualnya. Tahun lalu dia menjual tujuh ekor anak babi berusia tiga bulan. Harganya 400 ribu per ekor. Dengan uang itu Nai Arta bisa melunasi tunggakan keperluan sekolah lima anaknya.
Ah! Tidak terbayangkan seandainya Nai Arta tidak memiliki ternak ini. Entah apa yang akan terjadi dengan anak-anaknya. Bisa jadi studi mereka berguguran di tengah jalan. Pada akhirnya mereka tetap jadi generasi susah seperti Nai Arta dan suaminya. Tinggal di rumah peninggalan yang sudah reyot, tanpa penerangan listrik.
Tapi Nai Arta tidak terlalu mengharap listrik. Perhatiannya lebih dicurahkan pada pendidikan anak-anaknya. Dia ingin mereka menjadi ‘orang’. Mungkin tidak semua. Tiga atau empat orang pun sudah membahagiakannya. Selama ini Nai Arta melihat putra sulungnya serta yang nomor tiga dan si bungsu memperlihatkan prestasi yang menonjol.
Si sulung selalu juara satu di kelasnya sejak SD hingga sekarang duduk di SMA kelas tiga. Begitu juga putra yang nomor tiga. Walau bukan juara pertama, tapi dia selalu masuk lima besar. Prestasi yang lebih jitu ditunjukkan putri bungsu. Masih kelas satu SD. Tapi dia sudah lancar membaca dan perkalian satu sampai sepuluh. Sebuah kemampuan yang langka dimiliki oleh anak seumurannya di desa Sitarealaman. Banyak orang tua yang memuji kepintaran putri bungsu itu.
Buncah dada Nai Arta setiap prestasi anak-anaknya mendapat pujian dari tetangga. Semangatnya semakin berlipat. Kurang panjang rasanya hari. Dia ingin lebih lama lagi di ladang memperluas lahan ubi jalar, atau berkutat di kebun kopi. Nai Arta tidak ingin kurangnya biaya mengganggu konsntrasi anak-anaknya. Mereka harus fokus pada pelajaran. Jangan sampai anak-anaknya meresahkan wajah masam guru karena bayaran yang belum lunas.
Nai Arta mendorong potongan seng bekas di atas kandang agar hangat matahari pagi menerpa pasangan babi yang sedang menanti kelahiran anak-anaknya itu. Kembali mata Nai Arta melirik perut betina yang mengembang. Menerka isinya. Mungkin sepuluh ekor, harap Nai Arta sambil melepas senyum puas. Seusai menyiram kandang hingga bersih dari kotoran dan sisa makanan babi, Nai Arta bergegas ke rumah.
Di kamar, selimut tipis dan tikar dua lapis yang setiap malam menjadi perlengkapan tidur mereka terserak tak beraturan. Rupanya suaminya sudah bangun. Setelah membereskan tempat tidur, Nai Arta makan pagi. Nasi hangat beraroma wangi, sayur daun ubi tumbuk dan ikan kepala batu yang dibakar. Rampung makan dan mempersiapkan perbekalan, Nai Arta membawa gegas langkahnya menuju ladang. Si Hitam, anjing peliharaan mereka menjadi pengawal setia. Terdengar sumpah serapah suaminya entah pada siapa ketika Nai Arta melewati lapo tuak Nai Ganda. Nai Arta mengabaikan. Dia terus melangkah.
Sinar matahari leluasa membakar siang. Nai Arta melepaskan saong-saongnya (kain penutup kepala). Saong-saong dari kain sarung itu dibentangkannya melintang di atas tubuh Ama Arta. Sekitar dua jam yang lalu, suaminya itu menyusul ke ladang. Setelah bosan memancing di lubuk dekat dangau tanpa mendapat ikan seekor pun, Ama Arta menelusupkan tubuhnya di antara rindang kopi dan tidur. Saong-saong yang ditangkupkan Nai Arta di atas tubuhnya menambah deras gemuruh dengkur laki-laki berangasan itu.
Ama Arta baru terbangun setelah Nai Arta rampung memetik kopi. Kodok sawah mulai ramai memperdengarkan suara, mengabarkan petang yang semakin memburam. Tapi pekerjaan Nai Arta belumlah purna. Dia masih harus mengumpulkan reranting kering dari pinggir hutan. Kayu bakar di rumah tinggal serpihan. Kalau tidak membawa pulang kayu bakar sore ini mereka sekeluarga tak akan bisa memasak. Sempat terlintas pikiran untuk meminta suaminya. Tapi cepat diurungkan. Setelah siuman dari tidur mendengkur, suaminya kembali sibuk menata pancing. Tak bisa digugat kalau Ama Arta hendak menunaikan hobbinya itu.
Dengan menenteng parang yang rompal di bagian depan, Nai Arta meniti pinggir hutan. Dengan sigap matanya mendeteksi tempat jatuhan ranting-ranting masak. Parang rompalnya bekerja. Memilah ranting yang bagus sebagai kayu bakar dan membersihkannya dari sisa daun kering atau tungkul menjuntai. Serangga-serangga berlarian ketika Nai Arta mengacak-acak habitatnya.
Semburat merah sudah berubah kelam ketika Nai Arta beranjak dari dangau. Kepalanya menjinjing seikat kayu bakar. Di bahunya tersampir tas dari kain berisi kopi yang tadi dipetiknya. Sebagian lagi terpaksa ditinggalkan karena terlalu berat. Besok pagi-pagi sekali akan dia suruh anaknya untuk mengambilkan kopi yang tertinggal di dangau itu.
Jalan yang terjal memaksa kakinya melangkah hati-hati. Dia tidak ingin kejadian dua bulan yang lalu terulang. Jejaknya meleset hingga dia terpeleset. Kayu bakar yang dijinjing di kepala jatuh berdebam menimpa lehernya. Tas kainnya lepas dan kopi didalamnya tumpah berserakan. Tiga kali dia mendatangi tempat praktek urut Oppu Saudur untuk mengembalikan jaringan otot dan tulang di pundaknya yang salah jalur.
Derit jangkrik bertempik ketika langkah Nai Arta menjejak di pinggir desa. Sepotong bulan muda menyembul dari lereng gunung Dolok Martimbang. Ketika lewat dari depan lapo tuak Nai Ganda, terdengar celoteh suaminya dengan suara yang mulai serak. Entah sejak kapan dia tiba di sana. Entah sudah berapa gelas tuak yang telah melintas tenggorokannya. Nai Arta tak terlalu memikirkan. Dia ingin cepat sampai di rumah. Kepala dan pundaknya sudah kesemutan menghela muatan yang terasa kian berat.
Redup lampu teplok mengerdip dari dalam rumah. Nai Arta melihat sekilas Arta dan si bungsu Saurma duduk di bawah cahaya lampu menghadap buku. Ah, dua putri Nai Arta ini memang teramat ngotot belajar. Bahkan kalau ikut ke ladang pun tak pernah lupa menyelipkan buku pelajaran. Di sela-sela istirahat sambil makan ubi rebus, buku itu dibuka-buka dan ditelaah. Tak heran prestasi keduanya selalu cemerlang. Desah lelah Nai Arta pun seketika lenyap. Kekuatan baru selalu muncul setiap melihat anak-anaknya yang gigih belajar untuk mewujudkan impian.
“Babi sudah makan, Ingot?”
“Sudah, Mak,” sahut anak keduanya yang sedang sibuk mencacah daun ubi jalar di belakang rumah berlampukan sinar bulan.
“Jadi untuk apa lagi kau cacah itu?”
“Untuk besok pagi, Mak. Takutnya tidak sempat. Besok aku piket di sekolah,” kata siswa kelas satu SMAN Tarutung itu.
“Kalau sudah siap, panggil adik-adikmu makan ya,” Tiur dan Sorta, anak ke empat dan ke lima Nai Arta selalu harus dipanggil pulang dari menonton tipi di kedai Nai Jamot. Setelah selesai mencuci piring dan mengangkat air dari pancur di pinggir desa yang menjadi tugasnya, kedua bocah centil itu selalu menyempatkan menonton tipi. Lalu pada saat makan malam, mereka riuh menceritakan isi layar kaca yang sempat di tontonnya. Terkadang sampai berdiri dari tikar pandan, alas mereka makan, hanya untuk memperagakan adegan yang cukup menarik hati bocah itu. Nai Arta menyimpul senyum. Betapa hatinya merekah hangat berada di tengah anak-anaknya yang beragam tingkah polah itu.
Malam benar-benar padam. Lapo tuak Nai Ganda senyap dari genjrengan gitar dan raungan lagu para parmitu. Anak-anak Nai Arta telah lelap mengembara bersama mimpi. Mata Nai Arta juga telah berat. Setelah menyelesaikan tambalan robek di rok SD Tiur, Nai Arta ingin tidur. Rok yang sudah kembali utuh itu disampirkannya di dinding papan. Sesaat dia menjenguk ke luar. Belum terlihat tanda-tanda suaminya pulang ke rumah.
Tapi belum lagi kesadaran Nai Arta hilang dalam dengkur, terdengar derit pintu depan. Suaminya pulang.
“Babi yang di belakang hampir beranak lagi ya?” kata suaminya seraya merebahkan tubuh di sisi Nai Arta. Napasnya yang berbau tuak pekat seketika mencemari udara sekitar. “Nanti hasil penjualannya mau saya pakai untuk kredit sepeda motor,”
Menyentak terbelalak mata Nai Arta.
“Uang itu untuk biaya Arta mendaftar kuliah nanti,” protesnya panik.
“Beli sepeda motor saja dulu. Nanti dicari lagi untuk biaya kuliah. Lagi pula kan masih lama dia mendaftar,”
Dicari dari mana lagi? Anak-anak pinahan itu satu-satunya harapan Nai Arta. Hasil kopi yang tak seberapa bidang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Baru pada saat libur sekolah nanti, Nai Arta berencana mengerahkan anak-anaknya untuk memperluas kebun itu.
Nai Arta meraih lampu teplok di dinding dan mendekatkannya ke kalender bergambar pemandangan gunung bersalju. Menghitung jarak ke bulan enam, bulan lulusnya Arta dari SMA. Kurang dari delapan bulan lagi. Tidak mungkin pinahannya sudah beranak lagi di rentang waktu itu. Nai Arta mengeluh. Berbalik ingin menyela maksud suaminya. Tapi Ama Arta sudah gugur dalam dengkur. Nai Arta tak cukup nyali untuk membangunkan. Akhirnya dia hanya bisa duduk termenung. Menatap wajah anak-anaknya yang lelap berserak di ruang tengah. Ketika tatapannya menjangkau Arta, Nai Arta merasakan dadanya megap. Hingga kokok ayam yang nekat menyelinap di gigil subuh, mata Nai Arta tak lagi bisa terkatup.
Siantar, Juni 2010
~dimuat di harian Medan Bisnis, 18juli’2010


Raja Gombal


“Waktu mengandung dirimu dulu, ibumu pasti ngidamnya kopi ya? Abis gara-gara kamu aku jadi susssaaahh tidur…” :D


Coklat berkata kepada Wafer..
Kita ini memang beruntung terlahir Manis..
sehingga banyak orang yang suka kepada kita..
Wafer menjawab..
Kamu sangka kita yang paling manis…?
Tidak sadarkah kamu bahwa yang membaca sms ini lebih manis dari kita..
tuhkan…dia tersenyum..coba lihat manis sekali kan senyumannya..
================================================


Pantun PERCAYA DIRI: Buah SEMANGKA buah DUREN-gak NYANGKA gue KEREN. Buah MANGGA buah MANGGIS-gak DISANGKA gue MANIS. Ada GULA ada SEMUT-ih GILA, gue IMUT2…
==========================
kenapa orang solo kalah kalo ikut lomba lari? karena pada saat start dia bukannya lari tapi malah bilang monggo mas…
=====================================

bertemu dengan mu adalah takdir
menjadi sahabat mu adalah pilihan
tapi jatuh cinta pada mu itu sungguh diluar kendaliku
===============================================
Kemarin aku terperangah, ada yang cakep banget di mall.
—–
Sialan, ternyata itu cermin! Oh ternyata aku sendiri!
=====================================
dik titip sesuatu yaaa…
titip hatiku…
============================================
aq menulis namamu di langit
tp awan menghapusnya
aq menulis namamu di pantai
tp ombak menghapusnya
jadi aq menulis namamu di hatiku
biar nggak akan ada yg bisa menghapusnya..
===========================================
cinta itu bukan menyayangi org yang sempurna
tp cinta itu adalah menyayangi org yg tak sempurna dengan cara yang sempurna
==========================================
kupu2 yg indah trsenyum n bertnya mengapa aku ikut tersenyum?
dan aku menjawab,warnamu yg indah seperti hidupku saat ini krn aku pny dia yg mencintaiku!!dia itu kmu

Suatu hari kau akan bertanya, mana yg lebih penting,
harta atw hubungan qt ?
aku jawab ‘HARTA’
Lalu kau pergi meninggalkanku tanpa tau bahwa kaulah hartaku..
kalo kamu hidup 100tahun lamanya..
aku mau hidup 100tahun-1hari..
karena aku ga mau hidup sehari tanpa adanya kamu..
===============================================
Dlm Kolam ada berudu, dlm hati terdpt rindu, bkn prazaan cemburu or terharu..cuma kata I miss U, biar kau tau I’m still loving U..
=========================================
Semua pelukis terkenal,
sanggup dan bisa melukis wajah cantikmu,
di atas kanvas,
Tetapi mungkin cuma aku yg bisa melukisnya,
di dalam hati.
========================================
“papa kamu pasti penembak ulung ya?..”
“habisnya tatapan matamu itu tepat banget menusuk jantung hatiku”
“ibu kamu tukang kebun yah?”..
“trus kenapa setiap melihat kamu hatiku jadi berbunga-bunga”
================
aku tahu ternyata kamu anak juragan tebu ya…
soalnya kamu maniiisss banget.
KU INGIN MALAM INI KAU SELIMUTI AQ DENGAN SUTERA KASIH SAYANGMU AGAR NYENYAK TDURKU
buah duku buah rambutan
cuci piring bawah jembatan
entah jodohku entah bukan
yang penting persahabatan
rumah prancis,berjendela kaca
salam manis buat yg baca
======================
berjuta juta juta pohon kangkung hanya satu pohon beringin
begitu banyak gadis sekampung
hanya kmu yang ku ingin
======================
Ku isi anganku dengan “Bayangan mu”
Kau isi hati ku dengan “Sayang mu”
Kau isi sepi ku dengan “Canda mu”
Kau isi hidup ku dengan “Rindu mu”
Tapi kenapa kau tak isi HP ku dengan Pulsa mu


AKU SEBEL BANGET !!
hari ini kyanya aku terus yang salah
apa-apa aku.
dikit-dikit aku!
yang NGANGENIN aku.
yang CAKEP aku,
yang BAEK aku,
yang LUCU aku,
yang IMOET juga aku . . .
hehehehe. . . . :)