Pendar Natal dalam Dada



Pendar Natal dalam Dada
Oleh: Elwin FL Tobing
            Pagi membeku dalam dekapan kabut. Angin diam. Sekitar tenggelam dalam kesunyian. Duma menarik selimut tebal hingga melewati kepala. Menyusupkan tubuhnya lebih dalam di lipatan selimut. Dingin sekali pagi ini. Di mana ini?
            Seketika Duma tersadar kalau dia berada di desa. Bukan di Jakarta.
            Sayup-sayup kokok ayam menyusup pendengaran. Disusul gerendel pintu yang berbunyi pelan. Uma (ibu) sudah bangun dan sedang menuju dapur. Perlahan tapi pasti, bunyi-bunyi semakin ramai mengisi pagi. Kokok ayam, gonggongan anjing hingga celoteh anak-anak yang bergegas menuju pancuran untuk mencuci muka sebelum berangkat ke sekolah. Pagi semakin berwarna ketika aroma gurih ikan arsik Uma merembesi selimut tempat Duma menggelungkan diri.
            Duma menggeliat. Tangannya menyingkap selimut, tapi cepat ditariknya kembali. Serangkum hawa dingin yang menerpa memaksa Duma kembali membelitkan selimut di tubuhnya. Teringat Bang Pontas, suaminya. Seandainya dia ada, Duma akan berbagi gigil ini dengannya. Tapi Bang Pontas terlalu sibuk dengan urusannya. Dia tak bisa meluangkan waktu untuk menemani Duma berlibur sambil merayakan natal di kampung. Bang Pontas terlalu sibuk mengumpulkan duit. Dan segala duit yang terkumpul itu, Duma juga tidak tahu mau dipakai buat apa. Mereka tidak punya anak. Lima belas tahun berumah tangga, mereka tetap berdua saja di rumah mereka yang tergolong megah.
***
            Desember yang lembab lima belas tahun yang silam.
            Duma pulang kampung dari perantauan. Kenangan indah masa kecil saat merayakan natal di kampung halaman membawanya menyeberangi lautan. Segala pesona Jakarta sang metropolitan tidak cukup kuat untuk menahan hasrat Duma. Dia tetap ingin merasakan natal di kampung kelahirannya yang teduh. Sudah tiga tahun dia menahan keinginan itu. Menabung uang dan kenangan untuk bekalnya pulang.
            Desember yang semarak, menyambut kepulangan Duma. Banyak pesta dan kemeriahan. Seolah jadi tradisi atau bulan baik. Selain acara natal yang sambung menyambung, pesta pernikahan juga banyak tergelar di bulan Desember. Ditambah baptisan anak dan acara adat lainnya. Duma ikut tenggelam dalam kemeriahan. Dengan riang dia mengikuti semua kegiatan. Menghadiri ibadah natal dan juga jadi parhobas (pelayan) di pesta-pesta. Hatinya mekar terlebih karena ada Tigor. Pemuda itu, kekasih Duma semasa SMA. Desember yang syahdu berpadu kenangan indah masa lalu, merimbunkan kembali pohon cinta di hati keduanya. Duma membiarkan saja, agar kian lengkap kebahagiannya selama berada di kampung halaman. Duma tidak terlalu memikirkan. Sebab begitu dia kembali ke perantauan, lalu berkutat dengan segala kesibukan, dia yakin semua itu akan menghilang. Perlahan cerita pun akan berputar arah. Lambat laun Tigor akan terlupakan. Ada Patar yang selalu menemaninya di Jakarta. Atau... bisa saja Duma bertemu orang berbeda yang menjadi tempat persinggahan hatinya berikutnya. Hidup tak bisa ditebak bukan? Demikian juga urusan cinta.
            “Udah, jadikan aja. Apalagi?”
            “Iya. Tambah satu pesta lagi tak apa-apalah.”
            “Buat apa lagi balik ke Jakarta kau Duma. Di sini aja. Kawani Tigor mengurus kebun kopinya.”
            “Seribu batang ada itu kopi si Tigor yang di Martimbang. Setahun lagi udah mulai panen. Udah cukup itu buat kalian.”
            “Udah berlebih pun. Sempat punya kopi seribu batang, apa nggak tenang pikiran awak menjalani hidup ini.”
            “Pas nya itu. Kawin aja klean.”
            Duma tertawa menanggapi celetukan-celetukan, saat orang-orang desa melihatnya bersama Tigor. Duma sumringah, hatinya merekah. Tapi bukan karena ingin semua celetukan itu jadi kenyataan. Bukan. Duma masih ingin sendiri dan memuaskan hati menikmati masa muda. Duma sumringah karena dia senang digoda jadi pengantin. Gadis mana yang tak ingin jadi pengantin? Duma juga kerap membayangkan dirinya menjalani indahnya semua prosesi pernikahan. Sanak famili yang berkumpul, teratak yang terpancang di halaman rumah dengan anak-anak yang berlarian di bawahnya. Pemain musik yang mengatur peralatan di teras depan. Wangi bumbu dari dapur. Kebaya pengantin, altar gereja, acara adat yang banyak diisi dengan kaum kerabat yang memberi petuah dalam pantun-pantun indah lalu manortor dengan riang, semua kerap bersiliweran di benak Duma. Membuatnya sering berhayal dan makin tersipu menerima godaan dari orang-orang kampung yang ramai-ramai menjodohkannya dengan Tigor.
            Duma terkejut dan nyaris pingsan, ketika suatu sore, orang tua Tigor datang membawa makanan. Bukan sembarang makanan. Tapi daging babi dalam panci itu membawa makna yang sangat serius. Duma dilamar.
            Duma tercengang begitu mendengar ucapan ayah Tigor yang meminta Duma jadi menantunya. Merinding seluruh bulu halus di tubuhnya. Mata Duma berkunang-kunang. Dadanya bertambur tak beraturan melihat tawa bahagia ibunya. Tiba-tiba saja ibu tampak berbeda. Wajahnya bercahaya. Tawanya berlepasan. Duma bingung harus bersikap bagaimana.
            “Bagaimana Duma. Kau setuju, Boru (putriku)?” Ayah menoleh pada Duma. Wajahnya seluruhnya senyum.
            “E..eeh...” Duma tergeragap. Hidungnya mendadak gatal, memancing bersin yang memaksa kepalanya mengayun, tapi bersinnya tertahan. Orang-orang menganggap anggukan Duma adalah tanda persetujuan. Mereka mendesah penuh kelegaan. Berbincang makin akrab dan banyak tertawa.
            Berita begitu cepat menyebar. Segala persiapan segera dimatangkan. Dua hari menjelang tahun baru, Duma sudah dibawa ke rumah Tigor. Pesta pernikahan mereka akan diadakan pada tanggal 8 Januari tahun berikutnya.
            Semua seperti mimpi bagi Duma. Di tengah segala persiapan pernikahannya, Duma merasa itu tak nyata. Tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta masih terselip di dompetnya. Dia sengaja membeli tiket pulang pergi ketika mudik menjelang natal kemarin. Ruang kerjanya di sebuah showroom motor juga masih lekat dalam bayangan. Duma merasa kalau dia masih akan ke sana.
            Tapi ketika kerepotan jelang pernikahannya makin menjadi, Duma mulai sadar betul akan apa yang sedang dihadapinya. Dia harus segera menikah. Lalu tinggal di desa. Tak bisa lagi kembali ke Jakarta. Tak ada lagi kopaja yang membawanya ke tempat kerja. Tak ada lagi kemacetan, tak ada jalan-jalan ke mal. Segenap keriuhan Jakarta segera jadi kenangan.
Duma menangis.
Dia merindukan rutinitasnya yang penuh dinamika di ibukota. Dia ingin kembali ke sana.
            Mengapa dia menerima rencana pernikahan ini? Memangnya siapa Tigor? Dia hanya pemuda kampung yang lusuh. Mengapa aku membiarkan seribu batang kopi memutus petualanganku yang ceria di gemerlap metropolitan. Aku tertipu. Aku bodoh, Duma memaki dirinya sendiri. Dia menangis sendirian. Merasa terjebak dan tak kuasa untuk memberontak. Hati Duma berteriak menyuruhnya membatalkan semua kekonyolan ini. Tapi ayah dan ibu...mereka begitu bahagia dan bersemangat. Ibu berulangkali terdengar mengucap syukur. Beliau sangat senang menyambut Tigor sebagai calon menantu. Dia pemuda yang baik. Aktif di kumpulan pemuda gereja dan juga rajin bekerja.
            Ponsel Duma berkedip. Ada pesan masuk.
            Jd plg bsok hasian (sayang)? Biar abg jmput di bndara..
            Tubuh Duma bergetar, tangannya berkeringat. Pesan itu dari Patar, pacarnya di Jakarta.
            Pagi di hari perhelatan, terjadi kehebohan. Pengantin wanita menghilang. Duma tak ada di kamar. Semua ribut mencari ke sana ke mari. Menanya pada siapa saja yang terbersit di hati, tapi jejak Duma tetap tak terlacak. Pihak keluarga pria marah bukan kepalang. Sedangkan pihak keluarga Duma malu tak tertanggungkan. Pesta batal. Tidak ada yang menduga kalau saat itu Duma sedang berada di bus KBT yang membawanya ke Medan untuk selanjutnya terbang ke Jakarta.
            Tidak lama kemudian, Duma menikah dengan Pontas, seorang pengusaha bengkel mobil yang cukup berhasil di ibu kota.
Setahun menjalani pernikahan Duma berusaha tetap tenang ketika kandungannya belum berisi apa-apa. Tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun berlalu, Duma masih juga tak melahirkan anak. Tak ayal hatinya gemetar ketakutan. Lima belas tahun telah terlewat kini, anak yang dinanti tak juga hadir.
            “Kau harus minta maaf sama dia.” Kalimat itu yang kali ini memaksa Duma pulang ke desa.
***
            Duma menyibak selimut dan beranjak meninggalkan kamar. Tangannya bersilang mendekap dada. Dingin masih terasa, walau ternyata matahari sudah mulai mendaki langit sambil menebar cahayanya. Dari SD di pinggir desa sayup terdengar keriuhan, mungkin mereka sedang memantapkan latihan untuk acara natal. Satu dua orang desa terlihat melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pesawahan diikuti anjing peliharaan yang setia. Dada Duma tersentak ketika melihat dia. Tigor nampak di sana. Bersama istri dan dua anaknya yang belum sekolah, berjalan di jalan setapak. Ngilu mendera hati Duma. Cemburu.
            “Anaknya lima. Yang paling besar sudah kelas dua esempe.” Celetuk Ibu yang sedang membersihkan kopi yang baru digiling di halaman rumah. Duma menahan napas. Matanya rabun menahan embun. Entah apa yang dia rasakan kini. Sepertinya ada sejumput rindu yang dia rasakan. Ingin rasanya dia berlari dan memeluk pria itu. Pria yang telah dia kecewakan lima belas tahun yang lalu.
***
Kebaktian perayaan natal berlangsung meriah namun hikmat. Gereja penuh. Orang-orang desa dan perantau yang pulang kampung mengisi semua bangku gereja. Anak-anak berulang kali berjalan kian kemari memamerkan baju barunya. Guru-guru sekolah minggu jadi sibuk menyuruh anak-anak itu agar diam di tempat duduknya. Duma tersenyum maklum. Dia juga pernah mengalami hal serupa. Baik ketika masih sekolah minggu juga saat dia jadi pengajar sekolah minggu waktu SMA.
Sintua (penatua gereja) Tigor (DALAM EDISI CETAK TERTULIS ‘TOHOM’) berdiri di altar gereja. Toga putih menjumbai yang dia pakai membuatnya tampak berwibawa. Duma tak kuasa menahan tetes air mata. Wajah pak tani itu tampak agung saat berdiri di altar memandu ibadah natal. Raut mukanya bercahaya. Suaranya mengalun tenang dan mendamaikan. Untuk kali pertama Duma merasakan penyesalan yang dalam. Dia benar-benar telah berbuat kesalahan ketika menolak pria itu bertahun silam.
Ketika Duma mendatangi rumah Tigor dua hari yang lalu, dan menyampaikan permohonan maaf atas perlakuan Duma lima belas tahun silam, Tigor tampak tenang dan sepenuhnya memaklumi. Mereka bersalaman dan saling memaafkan. Dengan tulus Tigor berdoa agar Duma segera mendapat momongan.
Ibadah natal selesai. Lalu penatua gereja mengajak semua jemaat saling bersalaman untuk mengucapkan selamat natal. Ajakan itu sebenarnya hanya penegasan. Sebab tanpa disuruh pun, jemaat telah saling mengembangkan senyum bahagia sambil bersalaman satu dengan yang lain.
Duma maju. Langkahnya gemetar menuju sintua Tigor yang masih menyalami rekan-rekannya sesama penatua gereja.
“Selamat natal ya, Ito.” Tangan Duma terulur, air matanya kembali turun. Tigor sedikit menundukkan badan menyambut tangan Duma. Wajahnya yang tenang sangat menyejukkan.
“Selamat natal juga, Ito.” Sambut Tigor penuh penyambutan. Sesaat tatap mereka bertemu, membuat pipi Duma bersemu.
“Semoga doa kita segera dikabulkan Tuhan,” sambung Tigor saat dua anaknya yang belum sekolah memeluk kaki Tigor dan meminta dibelikan kembang api. Duma mengangguk terharu. Tangannya mengusap kepala kedua anak Tigor.
“Semoga, Ito. Tolong bantu doa, ya.” Duma mengeluarkan dua lembar uang dua puluh ribu. “Ini, buat beli kembang api.”
Kedua anak Tigor menatap ayahnya. Ketika Tigor tersenyum dan menganggukkan kepala, kedua anak itu menerima uang dari tangan Duma sambil bersorak gembira.
“Terima kasih, Namboru (bibi).” Ucap keduanya sambil menggulung-gulung uang di tangan mungilnya. Duma mengangguk sambil kembali mengusap kepala kedua anak itu.
“Selamat natal, Duma!” seseorang meraih tangan Duma.
“Oh iya, sama-sama. Selamat natal, ya.” Duma menyambut tangan orang itu. Juga tangan-tangan lain yang terulur ramah. Natal yang indah. Duma merasa beban yang menghimpit dadanya selama bertahun-tahun pupus perlahan-lahan. Berganti dengan nyala harapan, serupa lilin natal yang berpendar di kehangatan dadanya.
Pernah dimuat di harian analisa Medan edisi 26 des’ 2012