Hangalan



Hangalan
Oleh: Elwin FL Tobing

            Riuh suara anak-anak bermain di halaman rumah Nai Radot. Kadang mereka berkejaran sampai ke tegalan di samping rumah. Menginjak sembulan batang ubi kayu yang ditanam Nai Radot tiga hari yang lalu. Potongan batang ubi sejengkal tangan itu lantas terjungkal rebah. Nai Radot yang sedang memetik kopi di sebelah tegalan ubi kayu memperingatkan anak-anak itu. Lembut saja. Sebab kalau dibentak Nai Radot khawatir anak-anak itu tidak mau lagi bermain di depan rumahnya. Walau terkadang tingkah anak-anak itu menjengkelkan, tapi hati Nai Radot juga terhibur dengan kehadiran mereka. Lengking suara dan sorak tawa bocah-bocah itu diperlukannya untuk mengurai sepi yang membelit hati.
            Dari arah kolam ikan mas, yang berjarak sepuluh meter dari rumah, Nai Radot mendengar suaminya terbatuk-batuk. Berat dan menyiksa. Pohon cemara mendesau-desau di langit desa. Udara mulai dingin. Ditambah genangan air yang meremas kaki, pantas saja dada Ama Radot menggigil. Tatapnya diedarkan ke sekeliling. Kolam yang tadi digerubuli semak liar itu hampir bersih. Tinggal mengangkati bangkai eceng gondok yang menumpuk di dekat ponot.
            “Sudahlah dulu! Besok lagi,” seru Nai Radot dari antara rimbunan kopi. Ama Radot tak menjawab. Dia sedang bediri tegak sambil meraba dadanya. Mengukur sisa kekuatan. Mungkin dia merasa masih sanggup. Sebab terlihat dia mendatangi bangkai eceng gondok. Lalu mengangkatinya ke pematang. Nai Radot membiarkan.
            Satu persatu anak yang bermain di halaman rumah dipanggil ibu masing-masing. Lalu disuruh mandi ke pancuran desa. Sambil tak lupa diingatkan untuk membawa piring kotor sekalian dicuci. Beberapa anak coba mengulur perintah. Walau sudah menjawab “iya”, tapi terus saja melanjutkan permainan. Si ibu terpaksa datang sambil mengacungkan kayu bakar. Barulah si anak terbirit-birit kembali ke rumah.
            Menjelang senja, halaman rumah Nai Radot benar-benar lengang. Si Bleki, anjing kampung peliharaan mereka, tidur meringkuk di dekat tumpukan kayu bakar di samping rumah. Tak ada minat untuk mengganggu ayam-ayam Nai Radot yang sedang berebut jagung di dekat dapur. Sayup-sayup terdengar alunan lagu Batak yang mendayu-dayu entah dari rumah siapa. Juga gemersik beras yang sedang ditampi. Nai Radot rampung masak untuk makan malam. Dia bersiap mandi. Menyusul suaminya ke sumur kecil di belakang rumah.
            Seusai makan malam, Ama Radot langsung merebahkan diri di dipan kamar. Tak berselang lama terdengar suara dengkurnya. Susul menyusul dengan derit jangkrik di luar rumah. Tubuh ringkihnya pasti sangat letih. Setelah sepanjang hari bergelut dengan gelagah rimbun yang mengotori kolam.
            Walau tubuhnya juga lelah, tapi Nai Radot belum ingin tidur. Dia membawa buku nyanyian koor-nya ke ruang tengah. Membentangkan tikar pandan. Sambil duduk bersandar ke dinding papan rumahnya dia mulai mengeja jejeran not angka di buku koor. Tapi konsentrasinya tak bisa sempurna. Banyak pikiran yang menyembul mengganggu. Tentang usia yang semakin jauh. Tentang suaminya yang kian rapuh. Tentang tanaman ubi di samping rumah yang sering terganggu. Tentang hari-hari yang kembali sepi setelah ditinggal kelima anaknya yang pergi merantau atau dibawa suami masing-masing.
            Sunyi menikam lebih hunjam saat wajah anak-anaknya berkelebat. Melintas-lintas di alam rindunya. Mereka sekarang sangat jauh. Tak terjangkau mata apalagi tangan. Berserak mendiami negeri orang.  Dada Nai Radot kian sesak mengingat anak sulungnya, satu-satunya laki-laki. Entah apa yang merintangi jodoh putraya itu. Usia dibiarkannya merangkak terus. Dia kelihatan tak berdaya ketika satu persatu adik perempuannya melangkah duluan ke pernikahan.
            “Barangkali ada hangalannya,” kata orang-orang sedesa yang turut prihatin melihat si Radot. Sebab memang tak lazim anak tertua dilangkahi hingga empat kali. Nai Radot lalu sibuk mengingat-ingat. Gerangan apa permintaan yang tak terkabul ketika Radot dalam kandungannya.
Hanya ada satu saja.
            Saat kehamilannya memasuki bulan ke empat, Nai Radot meminta suaminya memotong ayam jantan berbulu merah milik mereka. Ayam yang bagus. Tumbuh tegap dengan lengking kokok yang nyaring. Mungkin itu sebabnya Ama Radot enggan mengubahnya jadi lauk, meskipun permintaan itu datang dari istrinya yang sedang mengandung. Dia memotong ayam lain. Ayam yang lebih kecil. Nai Radot sangat kecewa kala itu. Dia menggigit daging ayam yang telah digulai dengan air mata mengucur di pipi. Kalau saja tidak merasa sayang daging ayam itu terbuang sia-sia, mau rasanya Nai Radot membiarkan gulai itu hingga jamuran.
            Menduga itu yang menjadi hangalan, perintang jodoh anaknya, Nai Radot dan Ama Radot pernah memanggil pulang putra sulungnya dari perantauannya di Jakarta. Sebuah jamuan kecil diadakan di rumah. Ama Radot telah memotong seekor ayam jantan berbulu merah. Ayam yang besar  dengan kokok nyaring melengking.
            “Lenyaplah semua perintang, putraku. Amang dan Inang telah menebus kesalahan di masa lalu saat kau dalam perutku. Jangan ada lagi luka di batinmu ya, Nak!” kata Nai Radot sambil menyuapkan potongan daging dari bagian paha ayam itu. Setelah itu Nai Radot menyuapkan potongan yang sama ke mulutnya.
            Jamuan itu sudah empat tahun yang silam. Buncahan harap Nai Radot telah lama menguap. Radot bergeming, tak juga menemukan pendamping. Kalau disinggung tentang pernikahan, dia hanya melengos tanpa minat. Nai Radot dan suaminya berulang menghela napas tak berdaya.
Dan Nai Radot semakin sering disentak cemas. Khawatir memikirkan ajal keburu datang tanpa sempat melihat putranya menapak altar pernikahan. Nai Radot menyadari betapa kekuatannya sudah jauh berkurang. Tubuh tuanya sudah meminta lebih banyak istirahat. Tak sanggup lagi bekerja seharian seperti yang dilakoninya di masa muda. Tempias hujan atau sengatan panas begitu gampang membuatnya meriang. Dia juga tidak berani lagi minum kopi. Dua bulan lalu bidan puskesmas telah memberi peringatan keras setelah di suatu pagi tinja Nai Radot dibercaki darah. Kebiasaannya minum kopi hingga membuatnya lalai makan pagi telah merusak pencernaannya. Ah, betapa tubuhnya benar-benar rapuh kini. Entah berapa lama lagi napas kehidupan bertahan mendiami jasadnya yang lemah ringkih.
            Suaminya lebih lagi. Kecanduan tembakau dan kebiasaan begadang di lapo tuak sampai larut malam membuat dada cekungnya makin kesusahan menahan hentakan batuk yang bertalu-talu. Penglihatannya sudah banyak berkurang. Tiga bulan yang lalu dia jatuh dari pohon kemenyan karena kurang awas menginjak dahan. Untung lukanya tidak terlalu parah. Tapi sejak itu Ama Radot sering mengeluhkan kepalanya yang pening dan pandangannya yang berkunang setiap bangun dari dipan atau ketika ingin beralih dari posisi duduk ke berdiri..
            Lamunan Nai Radot terhenti. Gemuruh batuk suaminya berdebam-debam mengganggu laju khayalannya. Sudah larut malam. Bahkan alunan tembang parmitu sudah tak lagi kedengaran. Nai Radot bangkit menuju dipan. Suaminya masih berusaha melonggarkan dada. Dengan jari-jarinya yang lisut Nai Radot mengurut punggung Ama Radot. Walau dia tahu hal itu tidak akan banyak membantu. Sebab di setiap cuaca yang membeku Ama Radot pasti selalu kesakitan dirajam batuk.
***
            Subuh mengintip dari celah dinding yang pecah. Ama Radot menggeliat di atas dipan. Terdengar suara ayam yang ribut ingin segera keluar dari kandang. Tempik burung-burung kecil yang berlarian di atas ranting ikut mengabarkan kedatangan pagi. Ama Radot menguncang tubuh istrinya. Membangunkan dengan sedikit kasar. Bagaimana mungkin saat matahari menghangat di luar istrinya belum bangun menyiapkan sarapan?
Tapi seketika Ama Radot memekik ketika tubuh istrinya terguling dari dipan dan jatuh ke lantai kayu yang lapuk. Nai Radot tidak bergerak. Juga tidak lagi bernapas. Ama Radot histeris. Dia berteriak-teriak di telinga istrinya. Tetangga-tetangga terkejut. Dengan bertanya dan menduga-duga mereka menjenguk ke dalam rumah pasangan tua itu.
Jasad Nai Radot dibaringkan di ruang tengah. Dihadapi oleh tetangga dan kaum kerabat. Ditangisi oleh Ama Radot dan sanak famili yang merasa kehilangan. Mereka masih menunggu kedatangan Radot dan adik-adiknya dari rantau. Menurut berita Radot akan sampai hari ini dari Jakarta. Ama Radot pun berulang menatap ke pintu yang lebar terbuka. Berharap Radot dan adik-adiknya segera tiba. Walau didampingi kerabat dekat tapi Amai Radot tetap merasa sendirian menanggung beban duka. Dia ingin anak-anak berada di sampingnya. Berbagi tangis dan duka hati ditinggalkan orang yang mereka cintai.
Pelayat geger. Wajah Radot bersimbah tangis sesaat setelah keluar dari taksi travel yang dia carter dari Medan. Dia berteriak-teriak memanggil ibunya.
“Umaaaaaa….. Umaaaaa…..” jerit Radot berlari menerobos kerumunan pelayat yang berjejal. Perhatian orang-orang tersita pada seorang wanita berwajah halus yang menggendong balita. Wajah wanita itu juga sembab oleh duka. Sebelah tangannya berada dalam genggaman Radot. Sebelah lagi berusaha menahan tubuh balita di gendongannya agar tidak terguncang oleh langkah mereka yang gegas.
“Umaaaa.… ini menantumu. Ini cucumu,” Radot menjatuhkan diri di sisi jenasah. Wanita disebelahnya ikut bersimpuh.
“Dia bukan boru Batak, Uma, dia boru sileban. Itu yang membuat aku tak berani menunjukkannya pada Bapa dan Uma. Aku sudah menikah Umaaa…”
“Anakkuuuu…” Ama Radot menubruk putranya. “mengapa tidak kau bilang? Mengapa, Nak?” Mereka berangkulan dalam tangis yang pedih. 
“Dia boru Sunda, Bapa. Aku tidak berani memberitahu Bapa dan Uma.” Aku Radot dengan wajah nelangsa. Ama Radot menggeleng-geleng. Pada raut wajahnya tergurat penyesalan. Balita dalam dekapan istri Radot tiba-tiba menggeliat bangun lalu menangis.
“Itu cucu Bapa. Namanya Lies Marintan,” beritahu Radot. Air mata ayahnya makin deras mengucur.
“Jadi aku Oppung…Marintan?” Ama Radot menerima anak itu dalam gendongannya. Tangis dan senyum berjejalan menggurati wajahnya yang dilimpahi air mata.
“Kita sudah punya cucu, lihatlah,” Ama Radot mengacungkan bayi yang masih menangis itu ke jenasah istrinya. “Heh, oppung Marintan boru. Ini, gendong dulu cucumu…”
Ama Radot berdiri. Lalu dia mulai manortor mengelilingi jenasah istrinya tanpa iringan musik. Tangan mungil cucunya digerak-gerakkan meniru gerakan ondas. Mulutnya menceracau. Kadang seperti erang tangisan, sebentar kemudian terdengar lantunan tawa yang beraroma kepedihan.
“Kau sudah saurmatua, ee Ompu Marintan!” sebut Ama Radot berulang-ulang seraya terus manortor berkeliling. Radot hanya bisa mendekap wajah sambil sesenggukan. Air mata merembes dari sela jari-jarinya. Sementara wanita berwajah halus itu memeluk lengan Radot begitu erat. Matanya yang gamang tak lepas menatap anaknya yang menangis dalam gendongan Ama Radot yang masih menari dan meracau tak beraturan.   
Pane, Maret-April  2010
Hangalan         : perintang jodoh
Ponot               : saluran air yang terbuat dari bambu
Ondas              : menari mengelilingi orang yang meninggal
Saurmatua      : sebutan untuk orang yang semua anaknya sudah menikah





0 Responses