Jangan Salahkan Nyanyian Kodok



Jangan Salahkan Nyanyian Kodok
Oleh: Elwin FL Tobing

            Semua binatang hutan menggigil kedinginan, hujan turun deras di luar sarang. Pohon-pohon dan semak belukar basah kuyup semuanya. Angin berhembus dingin. Dua ekor anak burung pipit menelusup ke dalam sayap induknya untuk menghangatkan badan. Tupai juga tak beranjak dari lubang di batang pohon besar yang menjadi rumahnya.
            Bahkan ikan-ikan yang tadinya senang dengan kedatangan hujan, kini mulai cemas. Sebab hujan yang berkepanjangan membuat air sungai di pinggir hutan itu meluap. Alirannya menjadi sangat deras. Ikan-ikan yang sedang asyik bermain banyak yang terseret arus ke hilir. Mereka susah payah melawan aliran air untuk kembali ke balik batu-batu tempat mereka tinggal. Sirip mereka yang kecil sampai pegal karena berenang melawan arus. Ah, musim hujan membuat semua penghuni hutan dan sungai jadi susah.
            Tapi tunggu dulu! Tidak semua penghuni hutan sedih karena hujan yang tak juga berhenti. Di rawa-rawa para kodok bersorak-sorak. Kodok memang sangat senang dengan hujan. Makanya mereka rajin bernyanyi minta turun hujan. Ketika hujan turun, mereka melompat-lompat kegirangan. Menari-nari dengan gembira. Suara mereka bersahut-sahutan menyemarakkan rawa-rawa yang tergenang.
            “Kodok-kodok itu tak punya perasaan,” omel kelinci yang meringkuk di sarangnya di sebuah gua kecil dan sempit.
            “Betul. Mereka tak mau tahu kesusahan kita. Tanpa peduli dengan kita yang kedinginan, mereka terus meminta hujan turun.” Sahut musang yang numpang berteduh di sarang kelinci itu.
            “Kalau hujan tak juga berhenti, kita bisa mati kelaparan.” Kelinci menggaruk perutnya yang keroncongan.
            “Kita harus memperingatkan kodok-kodok itu. Mereka tidak boleh lagi bernyanyi minta hujan. Kalau mereka membangkang, awas!” ancam musang geram.
            Menjelang sore hujan mulai surut. Tinggal gerimis yang masih rintik-rintik membasahi dedaunan. Melihat itu, para hewan yang sudah lapar bergegas keluar sarang untuk mencari makanan. Induk pipit melesat terbang ke tengah sawah untuk mengambil bulir padi. Kelinci bergegas mencari rumput dan daun-daun segar. Juga rusa, kuda, kambing, kelinci dan banyak lagi hewan pemakan daun dan rumput-rumputan. Saking laparnya, mereka sampai berebut memamah rumput dan dedaunan.
“Ini punyaku.” Kata rusa sambil menghadang langkah kambing yang mendekati rumput segar di sekitar si rusa.
“Kata siapa? Memangnya kau yang menanamnya?” kambing tak peduli dan terus mendekat.
“Aku yang sudah lebih dulu di sini. Jadi ini kepunyaanku. Kau cari saja rumput di tempat lain,” rusa berkeras.
“Kalau aku tetap di sini, kau mau apa?” tantang kambing tidak takut.
“Heh, jadi kau mau melawanku. Rasakan tanduk tajamku,” kata rusa lalu menyerang kambing. Perkelahian pecah di antara mereka. Saling seruduk, saling gigit dan saling mencakar.
“Hei, berhenti!” kuda datang melerai. “Kalian membuat malu keluarga hewan pemakan tumbuhan saja. Masa kalian berkelahi gara-gara makanan.”
“Dia yang menyerobot punyaku,” tuduh rusa.
“Rumput itu bukan punyamu. Itu milik siapa saja yang mau makan,” kambing tidak mau kalah.
“Ini semua gara-gara kodok. Kalau saja mereka tak bernyanyi minta hujan,tentu kita bisa tenang mencari makan. Tidak akan berebutan.” Kata sapi.
“Ya betul. Kodok harus kita peringatkan. Mereka tidak boleh lagi bernyanyi minta hujan. Kalau membandel, kita serang saja mereka,” kelinci ikut memanas-manasi. Hewan-hewan saling pandang. Mereka merasa bahwa kata-kata sapi dan kelinci itu ada benarnya. Tapi kancil berpendapat lain.
“Hujan tidak tergantung pada nyanyian kodok. Hujan turun karena sekarang sedang musim hujan.” Kata kancil.
“Alah. Buktinya kenapa setiap kodok bernyanyi ramai-ramai hujan selalu turun. Jelas mereka yang mengakibatkan datangnya hujan,” sanggah sapi.
Setelah berunding lebih lanjut, akhirnya mereka sepakat mendatangi rawa-rawa tempat tinggal para kodok. Mereka meminta para kodok berhenti bernyanyi minta hujan.
            “Apa hak kalian melarang kami. Terserah kamilah mau bernyanyi atau tidak,” tolak kodok atas permintaan para hewan itu.
            “Kalau hujan turun terus karena nyanyian kalian, kami akan mati kelaparan di dalam sarang. Mana bisa kami mencari makan kalau hujan lebat?” bentak sapi.
“Itu urusan kalian. Kami tidak mau tahu,” kodok tetap membandel.
“Kalau kalian membangkang, kami akan menginjak-injak tubuh kalian sampai hancur.” Ancam sapi yang disetujui hewan lainnya.
            “Baiklah, baiklah. Kami akan turuti permintaan kalian. Mulai hari ini kami tak lagi bernyanyi minta hujan,” ucap kodok ketakutan. Lalu menyelam ke dalam air dan menghilang di balik rumpun teratai yang lebat.
            Sejak kodok tak lagi meminta-minta hujan maka hujan pun tak datang lagi. Langit cerah tanpa ada awan menghalangi. Matahari bersinar dengan bebas. Hewan-hewan dalam hutan bersorak kegirangan.
            Tapi cuaca cerah itu hanya sebentar. Beberapa hari kemudian, hujan kembali turun dengan lebatnya. Para hewan yang sedang bersantai menikmati pagi, berhamburan menuju sarang. Burung-burung yang sedang melayang di angkasa tak kalah terkejutnya. Cepat-cepat mereka menukik mencari tempat berlindung di balik dedaunan.
            “Pasti si kodok minta hujan lagi,” kata sapi yang sedang berteduh di bawah pohon rindang.
            “Tapi saya tidak mendengar suara mereka,” sahut rusa yang ada di dekatnya. Sapi menajamkan pendengarannya. Iya ya! Tidak sedikitpun terdengar nyanyian kodok yang sedang meminta hujan. Jadi kenapa hujan ini masih turun?
            “Kan sudah saya bilang, hujan turun karena sedang musimnya. Bukan karena nyanyian kodok.” Ucap kancil yang ikut berlindung di tempat itu. “Dan musim itu Tuhan yang mengatur. Dia yang menentukan kapan musim kemarau dan musim hujan. Dan setiap musim itu pasti berguna untuk semua mahluk. Sebab Tuhan menyayangi semua ciptaanNya,” urai kancil panjang lebar.
            “Apa gunanya musim hujan? Hanya membuat susah saja,” sanggah sapi.
            “Hujan perlu untuk menyuburkan tumbuh-tumbuhan. Tanpa hujan pohon dan rumput-rumputan akan meranggas dan mati.” kancil menerangkan dengan sabar. Mendengar ucapan kancil, si sapi berhenti bersungut-sungut. Dia mengakui kebenaran kata-kata kancil. Iya ya! Hujan pun merupakan berkah dari Tuhan. Pohon dan segenap tumbuhan di hutan menjadi segar karenanya. Sapi menatap jauh ke rawa-rawa. Setelah hujan berhenti, dia akan mengajak hewan lain untuk minta maaf pada para kodok. Sebab sapi dan kawan-kawannya telah mengancam keluarga kodok yang tidak bersalah.

dimuat di harian analisa, 21feb'2010
           


           
             
           
           
                       

0 Responses