Angkot Tua Berwarna Cinta (6)


Angkot Tua Berwarna Cinta
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 6. Cowok Tampan Berhati Setan
            Imah ragu saat hendak menggeser pintu pagar. Tadi Rizki sms akan menjemputnya kuliah. Sementara sebentar lagi angkot tua Bang Anto akan melintas. Yang mana yang akan dia tumpangi? Imah bingung menimbang. Langkahnya beranjak ke pinggir jalan. Angkot Bang Anto mendekat. Wajah Imah tegang. Ancaman Mama dan janji Rizki membolak-balik di benaknya. Ketika angkot menepi, Imah spontan menggeleng.
            “Ayo, Mah,” Bang Anto membuka pintu depan.
            “Tidak Bang. Masih menunggu kawan.” Tolak Imah datar. Sejenak Bang Anto heran. Berusaha membaca wajah Imah. Mengingat-ingat apa ada kesalahan yang terlupa. Imah mundur menjauh. Tatapannya berpindah-pindah. Tapi jelas menghindari mata Bang Anto.
            “Maju, Pir! Lama kali. Kalau tidak mau untuk apa dipaksa,” seorang penumpang berbaju PNS berseru tidak sabar. Penumpang lain ikut menimpali tumpang tindih. Sekali lagi Bang Anto mengangguk ke arah Imah menawarkan ajakan. Tapi Imah pura-pura tidak melihat. Dengan bingung Bang Anto menutup pintu, “Kami duluanlah ya, Mah.”  Anggukan Imah hampir tak kentara. Angkot tua itu melaju pelan. Imah mengikuti dengan sudut matanya.
            “Hei..kok menunggu di sini?” suara Rizki mengagetkan Imah. “Dijemput ke rumah, kok malah menunggu di pinggir jalan. Takut ketahuan ortu ya?”
            Imah hanya menjawab dengan senyum patah.
            “Pegangan di sini, dong,” Imah pasrah saja ketika Rizki meraih tangan Imah dan melingkarkan ke perutnya. “Biar hangat,” senyum Rizki. Lalu ninja merah itu menderum jantan membelah udara pagi yang lembab. Dada Imah berdesir ketika mereka menyalip angkot Bang Anto. Ada rasa bersalah yang meredupkan sinar wajahnya. Imah merasa kalau dirinya telah jadi penghianat cinta. Hah? Sejak kapan dia pacaran dengan Bang Anto? Memang belum. Tidak ada kata jadian di antara mereka. Mungkin hanya sekedar TTM saja. Tapi tetap saja tuduhan penghianat masih mendakwa hati Imah.
            “Kau sama dia lagi ya?” cegat Maya di pintu kelas. Imah tidak langsung menjawab. Dia masih shock menerima kecupan Rizki yang tadi mendarat tiba-tiba di dahinya. Setelah mengantar Imah ke depan kelas, cowok itu nekad menciumnya lalu membisikkan kata cinta tepat di telinganya. Mata Imah sampai berkunang-kunang, tak siap menerima perlakuan romantis itu. Dadanya mekar oleh ribuan kuntum bunga.
            “Kau balik lagi sama Rizki, Mah?” tepuk Maya ke bahu Imah.
            “Eeh..ih, May. Kamu bikin kaget, tahu tidak?” Imah pura-pura marah.
            “Lalu bagaimana Bang Sopir? Menduda dong.” Sindir Maya.
            “Namanya tidak jodoh.” Imah tergelak. Efek ciuman Rizki masih mendominasi perasaannya. Imah masih merasa melayang-layang.
* * *
            Hati Imah kian luluh. Rizki begitu lembut memperlakukannya. Pagi-pagi dia sudah stand by menjemput Imah kuliah. Sms dan telepon rajin tersambung ketika mereka tak bersama. Sikap Rizki telah kembali seperti semula, seperti awal-awal mereka pacaran dulu. Ah tidak! Rizki jauh lebih baik dari saat itu. Lebih sayang, lebih perhatian, lebih romantis….dia telah mengubah hidup Imah jadi puisi.
            Siang itu mereka sedang meluncur ke Parapat. Gerimis merintik tipis. Ah, cuaca pun bersekutu dengan Imah. Gerimis menjadi alasan untuk merekatkan tubuhnya ke punggung Rizki. Memeluk erat, seraya menyandarkan wajahnya.
            Sepinya Parapat tak mengurangi semangat sepasang remaja kasmaran itu. Mereka memacu speed boat berkeliling danau. Berenang dan berendam lama di bagian air yang bening. Mereka juga sempat menyeberang ke Tuktuk. Berkeliling menyusuri kesunyian Samosir. Tak ada turis. Benar-benar tragis nasib pulau cantik yang ditelantarkan itu.
            Bayang-bayang senja mulai tampak ketika Rizki dan Imah kembali ke Parapat. Lelah, tapi hati sesak digerumbuli bunga cinta yang bermekaran. Sepanjang perjalanan, kedua tangan Imah memeluk lengan Rizki. Kepalanya sering disandarkan ke bahu cowok itu. Dan Rizki membalas kemanjaan itu dengan meraih kepala Imah dan mengecup lembut rambut gadis itu.
            “Untuk apa kemari?” Imah berhenti melangkah dan menatap ragu pada Rizki. Cepat-cepat cowok itu menenangkan Imah dengan senyumnya.
“Tenang, Sayang. Penginapan ini punya kawan. Aku sudah bilang mau numpang tidur sebentar, satu jam kan lumayan. Capek kali, Sayang. Aku takut tidak konsen bawa kereta karena mengantuk. Kalau kecelakaan bagaimana, hayo?” ujar Rizki sambil menepuk-nepuk pipi Imah.
“Kita langsung pulang saja, deh. Sudah sore..” ajak Imah yang merasa ngeri melihat penginapan itu. Terlintas kejadian-kejadian seram yang menjadi berita koran dan tayangan criminal apabila sepasang manusia masuk ke dalamnya.
“Please, Honey. Sebentaaaar saja aku menghimpun tenaga. Tunggu saja nanti di bangku yang ada dekat pintu. Setelah satu jam bangunkan aku, okey?”
Ragu-ragu Imah mengangguk.
Lalu horror itu begitu saja datang mengancam. Imah yang juga tak kuasa menahan kantuk, tertidur di kursi yang ada di dalam kamar. Sentuhan yang aneh di sekujur tubuhnya sontak membuatnya terjaga. Ya Tuhan…Rizki!!! Sekuat tenaga Imah mendorong tubuh Rizki. Cowok itu bertahan. Berusaha keras merebahkan Imah kembali ke atas ranjang. Imah tidak menyerah. Digigitnya lengan Rizki. Lepas. Sigap Imah meloncat dari ranjang dan tergesa membuka pintu kamar. Macet.
“Tenang dong Imah, Sayang. Kenapa jadi begini?” Rizki membujuk. “Aku cinta mati sama kau, Mah. Aku akan bertanggung jawab dengan apa yang kulakukan. Percaya aku dong,” Rizki mendekat dengan tangan terulur. Panik Imah menghimpun suara. Lalu melolong minta tolong. Berulang-ulang dan sekuat tenaga. Rizki meradang. Dia menerkam tubuh Imah dan mengunci dengan himpitan lengannya yang kuat. Tapi Imah tidak berniat takluk. Semua anggota tubuh yang punya kesempatan dia manfaatkan untuk melawan. Gigitan, cakaran, tandukan, tendangan…Rizki gentar juga melihat keteguhan Imah mempertahankan diri.
“Hoi, buka..buka! Ada apa di dalam?’ gedoran mengguncang pintu yang terkatup. Langkah-langkah kaki semakin ramai dan kian dekat. Tak cuma pintu; jendela dan dinding penginapan pun ikut dihantam kepalan tangan dari luar. Serangan Rizki mereda. Bias geram dan frustrasi memantul di wajahnya. Dengan kasar dia campakkan tubuh Imah. Lalu dia sibuk mencari-cari sesuatu yang bisa dipakai sebagai senjata untuk melawan penggerebek yang jumlahnya entah berapa. Pintu penginapan terbuka setelah pemilik membawa kunci serap.
“Tolong, Pak. Dia pemerkosa.” Imah menunjuk Rizki. Cowok itu tak gentar. Dia siap melawan dengan bersenjatakan ikat pinggang. Lima orang dewasa cepat meringkus Rizki. Hanya sebentar mampu memberi perlawanan. Gabungan tenaga lima orang itu segara membuat Rizki tak berkutik.
Malam itu juga Rizki diseret ke pos polisi. Imah memberi keterangan dengan perut mual. Jijik melihat Rizki yang dipaksa polisi jongkok di lantai.
“Besok saja pulang, Dek. Adek aman di sini.” Seorang polisi berusaha menenangkan Imah yang gelisah. Tapi Imah menggeleng tak bersedia. Dia harus pulang. Kecuali Rizki ditenggelamkan ke danau Toba sekarang juga.
Sialnya hp Papa dan Mama tidak aktif. Mereka memang selalu mematikan hp saat tidur. Hp Maya juga sama saja. Kapada siapa lagi dia minta dijemput. Oh, ada satu nama lagi. Imah menyusuri daftar nama di contack hp-nya. Yang ini aktif. Syukurlah.
“Hallo, Imah..”
“Hallo, Bang. Tolong Imah, Bang. Jemput Imah ke kantor polisi Parapat.”
“Lho! Sedang apa Imah di sana?”
“Imah hampir diperkosa, Bang. Tolonglah, Imah takut, Bang. Jemput Imah sekarang,”
“Iya, iya. Abang segera ke sana.” Lalu hubungan diputus.
Jam 2 subuh, sebuah angkot tua membelok ke halaman kantor polisi Parapat. Belum lagi angkot itu berhenti Imah sudah menghambur sambil menangis.
“Bang Antooo…”
Bang Anto buru-buru turun dan menangkap tubuh Imah yang rebah ke dadanya. Tangis Imah pecah di dada sopir muda itu.

bersambung ke bagian 7
"Merana Karena Cinta"

0 Responses