Rista Di Kebun Buah



Rista Di Kebun Buah
Oleh: Elwin FL Tobing

            Rista menyambut tibanya libur sekolah dengan hati gembira. Dengan cepat dia menyongsong ayah begitu tiba dari kantor sore harinya.
            “Kita jadi berlibur ke desa kakek kan, Yah?” sambut Rista pada ayah yang baru sampai di pintu pagar rumah. Ayah pura-pura terkejut, “Berlibur ke desa? kapan?”
            “Ih! Ayah kok lupa sih? Kan ayah sudah janji liburan ke desa. Ayah cerita di desa banyak buah-buahan. Nanti Rista bisa makan buah sepuasnya. Masa ayah lupa sih?” kata Rista berusaha mengembalikan ingatan ayah. Perasaan ayah belum tua deh! Kok sudah gampang lupa sih?
            “Gimana Yah. Jadi kan?” desak Rista mengikuti ayah ke ruang tengah. Rista sigap menaruh sepatu ayah ke rak sepatu. Tak lupa Rista menghidangkan segelas air putih dari kulkas. Mudah-mudahan setelah minum ingatan ayah pulih kembali, harap hati Rista. Rugi dong kalau sampai batal liburan ke desa kakek. Sejak lama Rista sudah membayangkan nikmatnya memakan buah-buahan dari kebun kakek. Rambutan, duku, pepaya, jambu air, terong belanda…terong belanda? Rista kan paling suka jus terong belanda. Rasanya asem-asem manis gitu. Nyam..sedapnya mereguk jus terong belanda sambil menemani nenek menjaga jemuran padi dari incaran ayam nanti.
            Setelah minum air yang dibawa Rista, ayah bersandar di sofa. Sepertinya ayah cukup lelah hari ini. Mata ayah terpejam seperti mengantuk. Rista jadi cemas. Bagaimana dong liburannya. Rista beranjak ke belakang ayah. Dia memijit-mijit pundak ayah.
            “Ayah sudah ingat kan janjinya?” Tanya Rista pelan.
            “Janji apa?” Tanya ayah sambil tersenyum.
            “Ih ayah! Udah disimpanin sepatunya, dikasih minum, dipijitin.pundaknya,.masa nggak ingat juga janji untuk liburan ke desa?” sentak Rista. Bibirnya manyun. Wajahnya menekuk.
            “Oh iya iya, ayah ingat!” seru ayah tiba-tiba. Sebenarnya ayah ingat kok sama janjinya. Ayah hanya pura-pura lupa untuk menggoda Rista. Ayah memang suka bercanda. Dan Rista seringkali jadi sasaran candaan ayah. Habis wajah Rista jadi menggemaskan kalau sedang cemberut. Pipinya yang tembem nampak lucu kalau merengut. Dan ayah sangat suka melihatnya hi hi hi..! Dasar ayah tukang bercanda.
            Keesokan harinya, ayah, ibu dan Rista berangkat ke desa Sitarealaman, tempat tinggal kakek dan nenek. Mereka naik bus Medan Raya Tour. Hawa yang segar dan dingin menyambut kedatangan Rista. Hati Rista semakin riang begitu melihat pohon buah-buahan di samping rumah kakek tengah berbuah lebat. Air liur Rista sampai menetes.
            “Kek, Rista ambil buah ya!” pinta Rista tak sabar lagi. Terong belanda yang sudah masak dan bergelantungan di ranting seolah memanggil-manggilnya.
            “Besok saja ya sayang. Sekarang kita istirahat dulu. Kan capek naik bus tujuh jam dari Medan kemari.” Kata ibu. Kakek mendukung pendapat ibu.
            “Benar cucu kakek yang cantik. Besok saja ambil buah sepuasnya. Sekarang duduk dulu melepas lelah. Kalau terlalu capek nanti malah sakit.”
            Dengan berat hati, Rista menuruti saran itu. Dia berharap hari cepat berlalu.
            Keesokan harinya, Rista mengajak sepupunya yang bernama Glori mengambil buah. Rista begitu bersemangat menjolok buah terong belanda yang sudah masak.
            “Ambil Glo..!” teriak Rista ketika terong belanda yang dijoloknya terlempar ke semak-semak. Glori malas-malasan mengambil buah itu.
            “Buah ini nggak enak, Ris. Kita beli ciki aja yuk,” kata Glori. Rista jadi heran, “Lho! Ini buah yang paling aku suka. Nanti kita jus, biar tambah sedap,” ucap Rista sambil terus menjolok buah masak yang masib banyak bergelantungan di ranting.
            “Aku nggak suka buah-buahan, Ris. Aku lebih suka ciki, coklat sama permen,” sahut Glori lagi. Glori tetap tidak bersemangat menemani Rista mengambil buah. Rista jadi sedih. Semangatnya jadi ikut-ikutan menurun. Sore harinya Rista mengadukan hal itu pada tante Kristin, adik bungsu ayah, yang tinggal sama kakek dan nenek di desa.
            “Begitulah kalau sudah dipengaruhi iklan di tipi, Ris,” kata tante Kristin, “Glori dan kawan-kawannya yang lain memang tidak suka lagi makan buah-buahan. Makanya buah-buahan di samping rumah ini banyak yang berjatuhan busuk karena tidak ada yang memakannya. Anak-anak disini lebih suka makan aneka jenis makanan ringan yang diiklankan di tipi. Padahal makan buah-buahan segar jauh lebih bermanfaat dari makanan ringan olahan pabrik.”
            Rista mengangguk-angguk mendengar penjelasan tante Kristin. Duh, sayang sekali. Padahal di kota, orang harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli buah. Tapi didsa ini, Tuhan menganugrahkan buah-buahan secara gratis. Tapi karena kurang mengerti khasiatnya, buah-buahan itu jadi sia-sia.
            Rista berusaha menyadarkan Glori dan anak-anak desa yang lain akan pentingnya buah-buahan. Banyak vitamin, protein dan zat-zat yang sangat dibutuhkan tubuh terkandung di dalam buah-buahan. Rista membuat jus terong belanda dan membagikan pada Glori dan dawan-kawannya yang lain. Besoknya Rista mengajak mereka membuat rujak. Bumbu rujak yang disiapkan ibu membuat mereka lahap.
            “Enak ya,” desis Glori tak berhenti mengunyah.
            “Iya! Lebih enak dari ciki dan permen.” Sambung anak yang lain.
            Rista tersenyum senang. Teman-temannya di desa itu sudah kembali menyukai buah-buahan. Sejak itu, Rista menghabiskan sisa liburannya di desa untuk memanen buah. Glori dan kawan-kawannya ikut menemani dengan penuh semangat. Mereka mengajari Rista memanjat pohon jambu. Tapi karena sama sekali belum pernah, Rista sering tergelincir. Dan tawa mereka pecah dengan riangnya. Aduhai! Senangnya liburan di desa.


Hangalan



Hangalan
Oleh: Elwin FL Tobing

            Riuh suara anak-anak bermain di halaman rumah Nai Radot. Kadang mereka berkejaran sampai ke tegalan di samping rumah. Menginjak sembulan batang ubi kayu yang ditanam Nai Radot tiga hari yang lalu. Potongan batang ubi sejengkal tangan itu lantas terjungkal rebah. Nai Radot yang sedang memetik kopi di sebelah tegalan ubi kayu memperingatkan anak-anak itu. Lembut saja. Sebab kalau dibentak Nai Radot khawatir anak-anak itu tidak mau lagi bermain di depan rumahnya. Walau terkadang tingkah anak-anak itu menjengkelkan, tapi hati Nai Radot juga terhibur dengan kehadiran mereka. Lengking suara dan sorak tawa bocah-bocah itu diperlukannya untuk mengurai sepi yang membelit hati.
            Dari arah kolam ikan mas, yang berjarak sepuluh meter dari rumah, Nai Radot mendengar suaminya terbatuk-batuk. Berat dan menyiksa. Pohon cemara mendesau-desau di langit desa. Udara mulai dingin. Ditambah genangan air yang meremas kaki, pantas saja dada Ama Radot menggigil. Tatapnya diedarkan ke sekeliling. Kolam yang tadi digerubuli semak liar itu hampir bersih. Tinggal mengangkati bangkai eceng gondok yang menumpuk di dekat ponot.
            “Sudahlah dulu! Besok lagi,” seru Nai Radot dari antara rimbunan kopi. Ama Radot tak menjawab. Dia sedang bediri tegak sambil meraba dadanya. Mengukur sisa kekuatan. Mungkin dia merasa masih sanggup. Sebab terlihat dia mendatangi bangkai eceng gondok. Lalu mengangkatinya ke pematang. Nai Radot membiarkan.
            Satu persatu anak yang bermain di halaman rumah dipanggil ibu masing-masing. Lalu disuruh mandi ke pancuran desa. Sambil tak lupa diingatkan untuk membawa piring kotor sekalian dicuci. Beberapa anak coba mengulur perintah. Walau sudah menjawab “iya”, tapi terus saja melanjutkan permainan. Si ibu terpaksa datang sambil mengacungkan kayu bakar. Barulah si anak terbirit-birit kembali ke rumah.
            Menjelang senja, halaman rumah Nai Radot benar-benar lengang. Si Bleki, anjing kampung peliharaan mereka, tidur meringkuk di dekat tumpukan kayu bakar di samping rumah. Tak ada minat untuk mengganggu ayam-ayam Nai Radot yang sedang berebut jagung di dekat dapur. Sayup-sayup terdengar alunan lagu Batak yang mendayu-dayu entah dari rumah siapa. Juga gemersik beras yang sedang ditampi. Nai Radot rampung masak untuk makan malam. Dia bersiap mandi. Menyusul suaminya ke sumur kecil di belakang rumah.
            Seusai makan malam, Ama Radot langsung merebahkan diri di dipan kamar. Tak berselang lama terdengar suara dengkurnya. Susul menyusul dengan derit jangkrik di luar rumah. Tubuh ringkihnya pasti sangat letih. Setelah sepanjang hari bergelut dengan gelagah rimbun yang mengotori kolam.
            Walau tubuhnya juga lelah, tapi Nai Radot belum ingin tidur. Dia membawa buku nyanyian koor-nya ke ruang tengah. Membentangkan tikar pandan. Sambil duduk bersandar ke dinding papan rumahnya dia mulai mengeja jejeran not angka di buku koor. Tapi konsentrasinya tak bisa sempurna. Banyak pikiran yang menyembul mengganggu. Tentang usia yang semakin jauh. Tentang suaminya yang kian rapuh. Tentang tanaman ubi di samping rumah yang sering terganggu. Tentang hari-hari yang kembali sepi setelah ditinggal kelima anaknya yang pergi merantau atau dibawa suami masing-masing.
            Sunyi menikam lebih hunjam saat wajah anak-anaknya berkelebat. Melintas-lintas di alam rindunya. Mereka sekarang sangat jauh. Tak terjangkau mata apalagi tangan. Berserak mendiami negeri orang.  Dada Nai Radot kian sesak mengingat anak sulungnya, satu-satunya laki-laki. Entah apa yang merintangi jodoh putraya itu. Usia dibiarkannya merangkak terus. Dia kelihatan tak berdaya ketika satu persatu adik perempuannya melangkah duluan ke pernikahan.
            “Barangkali ada hangalannya,” kata orang-orang sedesa yang turut prihatin melihat si Radot. Sebab memang tak lazim anak tertua dilangkahi hingga empat kali. Nai Radot lalu sibuk mengingat-ingat. Gerangan apa permintaan yang tak terkabul ketika Radot dalam kandungannya.
Hanya ada satu saja.
            Saat kehamilannya memasuki bulan ke empat, Nai Radot meminta suaminya memotong ayam jantan berbulu merah milik mereka. Ayam yang bagus. Tumbuh tegap dengan lengking kokok yang nyaring. Mungkin itu sebabnya Ama Radot enggan mengubahnya jadi lauk, meskipun permintaan itu datang dari istrinya yang sedang mengandung. Dia memotong ayam lain. Ayam yang lebih kecil. Nai Radot sangat kecewa kala itu. Dia menggigit daging ayam yang telah digulai dengan air mata mengucur di pipi. Kalau saja tidak merasa sayang daging ayam itu terbuang sia-sia, mau rasanya Nai Radot membiarkan gulai itu hingga jamuran.
            Menduga itu yang menjadi hangalan, perintang jodoh anaknya, Nai Radot dan Ama Radot pernah memanggil pulang putra sulungnya dari perantauannya di Jakarta. Sebuah jamuan kecil diadakan di rumah. Ama Radot telah memotong seekor ayam jantan berbulu merah. Ayam yang besar  dengan kokok nyaring melengking.
            “Lenyaplah semua perintang, putraku. Amang dan Inang telah menebus kesalahan di masa lalu saat kau dalam perutku. Jangan ada lagi luka di batinmu ya, Nak!” kata Nai Radot sambil menyuapkan potongan daging dari bagian paha ayam itu. Setelah itu Nai Radot menyuapkan potongan yang sama ke mulutnya.
            Jamuan itu sudah empat tahun yang silam. Buncahan harap Nai Radot telah lama menguap. Radot bergeming, tak juga menemukan pendamping. Kalau disinggung tentang pernikahan, dia hanya melengos tanpa minat. Nai Radot dan suaminya berulang menghela napas tak berdaya.
Dan Nai Radot semakin sering disentak cemas. Khawatir memikirkan ajal keburu datang tanpa sempat melihat putranya menapak altar pernikahan. Nai Radot menyadari betapa kekuatannya sudah jauh berkurang. Tubuh tuanya sudah meminta lebih banyak istirahat. Tak sanggup lagi bekerja seharian seperti yang dilakoninya di masa muda. Tempias hujan atau sengatan panas begitu gampang membuatnya meriang. Dia juga tidak berani lagi minum kopi. Dua bulan lalu bidan puskesmas telah memberi peringatan keras setelah di suatu pagi tinja Nai Radot dibercaki darah. Kebiasaannya minum kopi hingga membuatnya lalai makan pagi telah merusak pencernaannya. Ah, betapa tubuhnya benar-benar rapuh kini. Entah berapa lama lagi napas kehidupan bertahan mendiami jasadnya yang lemah ringkih.
            Suaminya lebih lagi. Kecanduan tembakau dan kebiasaan begadang di lapo tuak sampai larut malam membuat dada cekungnya makin kesusahan menahan hentakan batuk yang bertalu-talu. Penglihatannya sudah banyak berkurang. Tiga bulan yang lalu dia jatuh dari pohon kemenyan karena kurang awas menginjak dahan. Untung lukanya tidak terlalu parah. Tapi sejak itu Ama Radot sering mengeluhkan kepalanya yang pening dan pandangannya yang berkunang setiap bangun dari dipan atau ketika ingin beralih dari posisi duduk ke berdiri..
            Lamunan Nai Radot terhenti. Gemuruh batuk suaminya berdebam-debam mengganggu laju khayalannya. Sudah larut malam. Bahkan alunan tembang parmitu sudah tak lagi kedengaran. Nai Radot bangkit menuju dipan. Suaminya masih berusaha melonggarkan dada. Dengan jari-jarinya yang lisut Nai Radot mengurut punggung Ama Radot. Walau dia tahu hal itu tidak akan banyak membantu. Sebab di setiap cuaca yang membeku Ama Radot pasti selalu kesakitan dirajam batuk.
***
            Subuh mengintip dari celah dinding yang pecah. Ama Radot menggeliat di atas dipan. Terdengar suara ayam yang ribut ingin segera keluar dari kandang. Tempik burung-burung kecil yang berlarian di atas ranting ikut mengabarkan kedatangan pagi. Ama Radot menguncang tubuh istrinya. Membangunkan dengan sedikit kasar. Bagaimana mungkin saat matahari menghangat di luar istrinya belum bangun menyiapkan sarapan?
Tapi seketika Ama Radot memekik ketika tubuh istrinya terguling dari dipan dan jatuh ke lantai kayu yang lapuk. Nai Radot tidak bergerak. Juga tidak lagi bernapas. Ama Radot histeris. Dia berteriak-teriak di telinga istrinya. Tetangga-tetangga terkejut. Dengan bertanya dan menduga-duga mereka menjenguk ke dalam rumah pasangan tua itu.
Jasad Nai Radot dibaringkan di ruang tengah. Dihadapi oleh tetangga dan kaum kerabat. Ditangisi oleh Ama Radot dan sanak famili yang merasa kehilangan. Mereka masih menunggu kedatangan Radot dan adik-adiknya dari rantau. Menurut berita Radot akan sampai hari ini dari Jakarta. Ama Radot pun berulang menatap ke pintu yang lebar terbuka. Berharap Radot dan adik-adiknya segera tiba. Walau didampingi kerabat dekat tapi Amai Radot tetap merasa sendirian menanggung beban duka. Dia ingin anak-anak berada di sampingnya. Berbagi tangis dan duka hati ditinggalkan orang yang mereka cintai.
Pelayat geger. Wajah Radot bersimbah tangis sesaat setelah keluar dari taksi travel yang dia carter dari Medan. Dia berteriak-teriak memanggil ibunya.
“Umaaaaaa….. Umaaaaa…..” jerit Radot berlari menerobos kerumunan pelayat yang berjejal. Perhatian orang-orang tersita pada seorang wanita berwajah halus yang menggendong balita. Wajah wanita itu juga sembab oleh duka. Sebelah tangannya berada dalam genggaman Radot. Sebelah lagi berusaha menahan tubuh balita di gendongannya agar tidak terguncang oleh langkah mereka yang gegas.
“Umaaaa.… ini menantumu. Ini cucumu,” Radot menjatuhkan diri di sisi jenasah. Wanita disebelahnya ikut bersimpuh.
“Dia bukan boru Batak, Uma, dia boru sileban. Itu yang membuat aku tak berani menunjukkannya pada Bapa dan Uma. Aku sudah menikah Umaaa…”
“Anakkuuuu…” Ama Radot menubruk putranya. “mengapa tidak kau bilang? Mengapa, Nak?” Mereka berangkulan dalam tangis yang pedih. 
“Dia boru Sunda, Bapa. Aku tidak berani memberitahu Bapa dan Uma.” Aku Radot dengan wajah nelangsa. Ama Radot menggeleng-geleng. Pada raut wajahnya tergurat penyesalan. Balita dalam dekapan istri Radot tiba-tiba menggeliat bangun lalu menangis.
“Itu cucu Bapa. Namanya Lies Marintan,” beritahu Radot. Air mata ayahnya makin deras mengucur.
“Jadi aku Oppung…Marintan?” Ama Radot menerima anak itu dalam gendongannya. Tangis dan senyum berjejalan menggurati wajahnya yang dilimpahi air mata.
“Kita sudah punya cucu, lihatlah,” Ama Radot mengacungkan bayi yang masih menangis itu ke jenasah istrinya. “Heh, oppung Marintan boru. Ini, gendong dulu cucumu…”
Ama Radot berdiri. Lalu dia mulai manortor mengelilingi jenasah istrinya tanpa iringan musik. Tangan mungil cucunya digerak-gerakkan meniru gerakan ondas. Mulutnya menceracau. Kadang seperti erang tangisan, sebentar kemudian terdengar lantunan tawa yang beraroma kepedihan.
“Kau sudah saurmatua, ee Ompu Marintan!” sebut Ama Radot berulang-ulang seraya terus manortor berkeliling. Radot hanya bisa mendekap wajah sambil sesenggukan. Air mata merembes dari sela jari-jarinya. Sementara wanita berwajah halus itu memeluk lengan Radot begitu erat. Matanya yang gamang tak lepas menatap anaknya yang menangis dalam gendongan Ama Radot yang masih menari dan meracau tak beraturan.   
Pane, Maret-April  2010
Hangalan         : perintang jodoh
Ponot               : saluran air yang terbuat dari bambu
Ondas              : menari mengelilingi orang yang meninggal
Saurmatua      : sebutan untuk orang yang semua anaknya sudah menikah





Pengibar Bendera Merah Putih



Pengibar Bendera Merah Putih
Oleh: Elwin FL Tobing

            Adis kapok jadi pengibar bendera merah putih di sekolah. Dia tidak ingin kejadian memalukan tiga bulan yang lalu terulang lagi padanya. Peristiwa itu masih saja membayangi Adis hingga hari ini.
Begini ceritanya! Waktu itu Adis bersama Daud dan Diskil jadi petugas pengibar bendera pada upacara Senin pagi. Sejak melangkah dari barisan, Adis sebenarnya sudah merasa tidak enak. Gerak kaki mereka tidak serentak. Saat berbelok hendak menghadap tiang bendera, Daud malah ketinggalan dua langkah. Murid-murid yang mengikuti upacara terdengar menahan tawa. Pak Mulia dan Bu Dina yang berdiri di barisan guru juga terlihat mengulum senyum geli.
Daud juga sih! Dia tidak pernah serius waktu latihan. Kerjanya bercanda saja. Daud juga malas berlatih. Dia menganggap remeh tugas mengibarkan bendera.
“Alah..cuma tinggal diikat, digerek ke atas, apa susahnya sih?” kata Daud enteng ketika Adis dan Diskil mengajaknya untuk serius berlatih.
Akibatnya ketika tiba hari upacara bendera, barisan dan langkah Adis, Diskil dan Daud jadi tidak kompak. Hingga mengundang tertawaan peserta upacara. Yang paling parah adalah ketika Adis meneriakkan “Bendera Siap!” eh, rupanya Daud terbalik mengikat bendera. Warna putih berada di atas sementara warna merah ada di bawah. Seluruh barisan upacara heboh oleh gelak tawa. Adis malu sekali sampai hampir menangis. Dengan cepat Diskil memperbaiki ikatan bendera itu dan menaikkannya ke ujung tiang.
Sejak itu mereka bertiga selalu diejek oleh kawan-kawan.
“Makanya kalau masih ngantuk jangan mengibarkan bendera dong,” ledek Pipit, yang disambut tawa riuh anak-anak yang lain.
Itulah sebabnya Adis bertekad dalam hati untuk tidak pernah mau lagi jadi pengibar bendera. Dan Adis membuktikan tekadnya. Dia tegas-tegas menolak ketika tadi pagi Latifah, ketua kelasnya di kelas 6 A menunjuknya untuk kembali manjadi pengibar bendera.
“Bu Dina yang menyuruh lho, Dis,” kata Latifah.
“Kan masih banyak orang lain, Fah! Kenapa sih harus aku?” jawab Adis.
“Yang lain sudah dapat giliran semua. Makanya Bu Dina menugaskan kamu sama Daud dan Diskil,”
“HaH?? Daud lagi?” sentak Adis panik. “Tidak Fah, aku tidak mau. Lebih baik aku keluar dari sekolah ini dari pada disuruh mengibarkan bendera bersama Daud,” tolak Adis tegas sambil berlalu meninggalkan Latifah di kelas.
Pulang sekolah, Diskil dan Daud sudah menanti Adis untuk latihan. Tapi Adis pura-pura tiudak melihat dan bergegas menghampiri jemputan Mang Iman sopir keluarganya.
“Cepat, Mang! Adis sudah lapar banget, nih!”
“Iya, Non,” Mang Iman segera melajukan mobil itu. Dari kaca spion Adis melihat Diskil dan Daud berusaha mengejar. Tapi mereka segera ketinggalan oleh laju mobil yang semakin cepat. Diskil lalu menghubungi HP Adis. Buru-buru Adis mematikannya..
  “Cobalah berbesar hati, Dis. Daud sudah berjaji akan serius berlatih. Dia mau menebus kesalahannya tiga bulan lalu itu,” bujuk Latifah yang datang ke rumah Adis keesokan harinya sepulang sekoiah.
“Aku tidak percaya kata-kata Daud. Cukup sekali saja aku mengalami rasa malu yang menyakitkan, Fah. Jangan paksa aku, lebih baik kamu cari orang lain saja” tolak Adis berkeras.
“Daud dan Diskil akan tetap berlatih sambil menunggu kesediaan kamu, Dis. Sore ini mereka ada di sekolah, latihan buat upaca bendera Senin depan,” kata Latifah sebelum meninggalkan rumah Adis.
Adis mencibir. Masa sih Daud mau latihan serius. Daud kan tukang bercanda. Suka menganggap remeh semua tugas yang diberikan padanya.
Tapi lama-lama Adis jadi penasaran juga. Dia ingin membuktikan apa benar Diskil dan Daud sedang latihan di sekolah sore ini. Adis lalu minta diantar  Mang Iman ke sekolah.
Ketika mendekati pintu gerbang sekolahnya, Adis menyuruh Mang Iman memelankan mobil. Rupanya Latifah tidak bohong. Di halaman sekolah, Adis melihat Diskil dan Daud berlatih dengan serius. Sesekali mereka tampak menghapus keringat yang menetes di wajah.
Ketika Diskil dan Daud melihat kedatangan Adis, keduanya tampak senang. Daud buru-buru menghampiri Adis.
“Saya minta maaf atas kesalahanku yang lalu, Dis, “ucap Daud. “Kamu tahu, ketika kakakku yang sudah SMA mengetahui keteledoranku yang sangat memalukan itu, dia marah. Kakakku bilang kalau aku rugi besar karena telah menyia-nyiakan pelajaran berharga. Dengan menjadi pengibar bendera kita belajar untuk bertanggung-jawab, disiplin, teliti dan bekerja sama. Kalau kita mengabaikan hal-hal itu kakakku bilang sama saja kita  mengabaikan modal penting untuk berhasil di masa depan. Oleh karena itu saya sangat menyesal dan berjanji akan memperbaikinya pada kesempatan kali ini,” aku Daud terus terang.
Melihat kesungguhan Daud, akhirnya Adis mau kembali bergabung dengan mereka. Ketiga anak itu berlatih dengan serius dan penuh semangat. Walaupun beberapa kawan sekolah mereka masih saja mengejek, tapi Adis, Diskil dan Daud tak mau mengambil hati.
Akhirnya tiba waktunya upacara bendera hari Senin. Ketika tiba giliran pengibar bendera, Adis, Diskil dan Daud bergerak dengan derap yang rapi dan serentak. Mereka melangkah gagah menuju tiang bendera. Daud mengikat bendera dengan teliti dan kuat.
“Bendera siap!” teriak Adis lantang sambil kaki kanannya mundur selangkah untuk membentangkan bendera merah putih yang telah terikat erat. Lalu lagu Indonesia Raya berkumandang. Diskil dan Daud menggeret bendera pelan-pelan hingga sampai di ujung tiang persis saat lagu kebanggsan itu berakhir.
Setelah mengikat talinya dengan kuat pada tiang, ketiga pengibar bendera itu kembali ke tempat semula dengan langkah gagah. Semua guru dan murid yang hadir merasa takjuk melihat kekompakan Adis, Diskil dan Daud. Murid-murid yang selama ini selalu mengejek kegagalan mereka di waktu lalu hanya bisa terdiam dalam kekaguman. Adis, Diskil dan Daud telah melaksanakan tugas dengan baik. Mereka telah berhasil bangkit dari kegagalan dan menunjukkan prestasi yang sempurna.

Kucing Hitam yang Serakah


Kucing Hitam yang Serakah
Oleh: Elwin FL Tobing

            Tiga ekor kucing sedang berbaring di atap rumah pak tani. Tiba-tiba dua ekor tikus melintas buru-buru. Pasti tikus itu ingin mencuri padi yang baru dipanen pak tani dari sawah. Melihat tikus-tikus itu, ketiga kucing yang tadi berbaring, serentak berdiri hendak mengejar.
            “Hep…kalian di sini saja,” kucing berbulu hitam menghentikan dua kucing lainnya, “Biar aku yang memburu tikus itu.” Kata si kucing hitam.
            “Kok begitu? Saya juga lapar nih!” kata kucing berbulu belang.
            “Saya juga” kucing berbulu putih menimpali.
            “Tidak bisa. Tikus itu untuk saya. Awas kalau kalian ikut-ikutan,” ancam si kucing hitam seraya memperlihatkan cakarnya yang tajam. Setelah itu dia melompat cepat memburu kedua tikus itu. Tak lama kemudian terdengar cicit si tikus yang panik melarikan diri. Tapi kucing hitam sangat gesit. Dia berhasil menangkap kedua tikus ketika hendak bersembunyi di balik lemari dapur.
               Setelah menyantap kedua tikus itu, si kucing hitam kembali ke atap rumah. Sambil bersiul-siul senang dia merebahkan badannya yang sudah kenyang di dekat kucing belang dan kucing putih. Karena kekenyangan si kucing hitam mulai mengantuk.
            Ci ci cit….seekor tikus berkelebat di sekitar kandang ayam tak jauh dari ketiga kucing itu. Kucing belang dan kucing putih melompat hendak mengejar si tikus.
            “Hei..berhenti!” kucing hitam terbangun. Kucing belang dan kucing putih menoleh pada si kucing hitam.
            “Kenapa kau suruh kami berhenti?” Tanya kucing putih.
            “Tikus itu untukku.” Jawab si kucing hitam dengan rakusnya.
            “Tapi kau kan sudah dapat tadi. Dua ekor malah.” Sela si kucing belang.
            “Masih kurang.” Si kucing hitam bangkit dari tidurnya, “Setelah aku benar-benar kenyang kalian baru boleh berburu tikus.” Katanya sambil mengendus-endus. Setelah dapat melacak bau si tikus, si kucing hitam berlari tangkas. Tak lama kemudian terdengar suara tikus yang menjerit-jerit. Kucing hitam sudah berhasil menangkapnya.
            Sementara itu si kucing belang dan si kucing putih hanya bisa terduduk lemas. Mereka terpaksa menahan lapar. Kucing belang dan kucing putih tidak berani protes. Mereka takut si kucing hitam marah. Badan si kucing hitam sangat besar dan kuat. Kucing belang dan kucing putih pasti kalah kalau berkelahi dengannya.
            “Bagaimana ini, Belang? Kalau terus begini kita bisa mati kelaparan.” kata si kucing putih.
            “Iya, padahal di sekitar kita banyak tikus.” Sahut kucing belang dengan wajah tak berdaya.
            “Apa kita lawan saja si kucing hitam itu?” si kucing putih memberanikan diri. Terus terang si kucing putih sebenarnya tidak berani. Tapi kalau terus didiamkan, si kucing hitam pasti akan semakin keterlaluan.
            Si kucing belang tidak setuju dengan usul kawannya “Tidak perlu berkelahi. Lebih baik kita pindah.” Kata si kucing belang.
            “Pindah ke mana?”
            “Kita cari tempat lain. Aku tidak mau mati kelaparan di sini.”
            “Baiklah. Aku setuju kita pindah.”
            Kedua kucing itu lalu melangkahkan kaki menuruni atap.
            “Hei, mau ke mana?” teriak si kucing hitam yang terlihat menaiki atap. Perut si kucing hitam tampak semakin penuh. Dia pasti sangat kenyang.
            “Kami mau pindah,” sahut si kucing belang.
            “Biar kamu puas menghabiskan tikus-tikus di sini sendirian.” Sambung si kucing putih. Mendengar itu, si kucing hitam tertawa keras. Dia merasa puas telah berhasil menyingkirkan si belang dan si putih. Dengan begitu tidak ada lagi saingannya dalam berburu tikus di sekitar rumah pak tani.
            “Pergi jauh ya! Kalau perlu ke luar negeri biar tidak bisa lagi pulang kemari ha ha ha..” si kucing hitam tertawa mengejek.
            Sejak kepergian si belang dan si putih, tikus-tikus semakin banyak berkeliaran di rumah pak tani. Mereka berkembang biak dengan cepat. Walau si kucing hitam terus memburu tikus-tikus itu, tapi akhirnya si kucing hitam kewalahan juga. Dia tidak sanggup lagi menghabiskan tikus yang banyak itu. Si kucing hitam sudah sangat kenyang. Dan tikus-tikus terus berdatangan tak ada habisnya.
            “Aduh, banyak sekali tikus di rumah ini. Bisa habis padi yang baru dipanen itu dimakannya.” Keluh pak tani.
            “Kemana si kucing hitam. Kok kucing itu membiarkan tikus-tikus ini merajalela?” seru bu tani sambil mencari-cari keberadaan si kucing hitam. Ketika itu si kucing hitam sedang tertidur kekenyangan di bawah meja. Si kucing hitam telah memakan tiga ekor tikus, dan perutnya sudah penuh sekali. Karena kekenyangan, kucing hitam tertidur. Dia membiarkan tikus yang lain mencuri padi pak tani.
            “Dasar kucing pemalas,” bu tani geram dan memukul si kucing hitam yang tertidur. Karena kesakitan si kucing hitam terbangun dari tidurnya. Dia ketakutan melihat bu tani yang memukulnya dengan kayu
            “Percuma dipelihara. Kerjamu hanya tidur saja.” kata bu tani kembali memukul si kucing belang berulang-ulang.
            Ngeoooongg..ngeeeooongg… jerit si kucing belang. Karena kesakitan dia berlari meninggalkan bu tani.
            “Ya, pergi saja kau dari rumah ini. Percuma kau dipelihara kalau tidak bisa membasmi tikus. Awas kalau kau kembali lagi. Aku akan memukulnya lebih kuat lagi.” Ancam bu tani. Kayu yang dipegangnya, dilemparkannya pada si kucing hitam. Kaki si kucing belang kena. Dia berlari terpincang-pincang.
            Si kucing hitam teringat pada si kucing belang dan si kucing putih. Si kucing hitam menyesal telah membiarkan kedua temannya itu pergi dulu. Andai saja si kucing hitam tidak serakah. Kalau mereka bekerja sama tentu akan bisa mengimbangi tikus-tikus yang banyak itu.
            Si kucing hitam benar-benar menyesali keserakahannya. Dia berjanji akan mencari si kucing belang dan si kucing putih. Si kucing hitam akan meminta maaf pada kedua temannya itu. Setelah itu si kucing hitam akan mengajak si kucing belang dan si kucing putih kembali ke rumah pak tani. Si kucing hitam ingin menebus kesalahannya. Dia akan mengajak kedua temannya untuk bekerja sama membasmi tikus dari rumah pak tani. Dengan begitu mudah-mudahan pak tani dan bu tani tidak marah lagi.