Pendar Natal dalam Dada



Pendar Natal dalam Dada
Oleh: Elwin FL Tobing
            Pagi membeku dalam dekapan kabut. Angin diam. Sekitar tenggelam dalam kesunyian. Duma menarik selimut tebal hingga melewati kepala. Menyusupkan tubuhnya lebih dalam di lipatan selimut. Dingin sekali pagi ini. Di mana ini?
            Seketika Duma tersadar kalau dia berada di desa. Bukan di Jakarta.
            Sayup-sayup kokok ayam menyusup pendengaran. Disusul gerendel pintu yang berbunyi pelan. Uma (ibu) sudah bangun dan sedang menuju dapur. Perlahan tapi pasti, bunyi-bunyi semakin ramai mengisi pagi. Kokok ayam, gonggongan anjing hingga celoteh anak-anak yang bergegas menuju pancuran untuk mencuci muka sebelum berangkat ke sekolah. Pagi semakin berwarna ketika aroma gurih ikan arsik Uma merembesi selimut tempat Duma menggelungkan diri.
            Duma menggeliat. Tangannya menyingkap selimut, tapi cepat ditariknya kembali. Serangkum hawa dingin yang menerpa memaksa Duma kembali membelitkan selimut di tubuhnya. Teringat Bang Pontas, suaminya. Seandainya dia ada, Duma akan berbagi gigil ini dengannya. Tapi Bang Pontas terlalu sibuk dengan urusannya. Dia tak bisa meluangkan waktu untuk menemani Duma berlibur sambil merayakan natal di kampung. Bang Pontas terlalu sibuk mengumpulkan duit. Dan segala duit yang terkumpul itu, Duma juga tidak tahu mau dipakai buat apa. Mereka tidak punya anak. Lima belas tahun berumah tangga, mereka tetap berdua saja di rumah mereka yang tergolong megah.
***
            Desember yang lembab lima belas tahun yang silam.
            Duma pulang kampung dari perantauan. Kenangan indah masa kecil saat merayakan natal di kampung halaman membawanya menyeberangi lautan. Segala pesona Jakarta sang metropolitan tidak cukup kuat untuk menahan hasrat Duma. Dia tetap ingin merasakan natal di kampung kelahirannya yang teduh. Sudah tiga tahun dia menahan keinginan itu. Menabung uang dan kenangan untuk bekalnya pulang.
            Desember yang semarak, menyambut kepulangan Duma. Banyak pesta dan kemeriahan. Seolah jadi tradisi atau bulan baik. Selain acara natal yang sambung menyambung, pesta pernikahan juga banyak tergelar di bulan Desember. Ditambah baptisan anak dan acara adat lainnya. Duma ikut tenggelam dalam kemeriahan. Dengan riang dia mengikuti semua kegiatan. Menghadiri ibadah natal dan juga jadi parhobas (pelayan) di pesta-pesta. Hatinya mekar terlebih karena ada Tigor. Pemuda itu, kekasih Duma semasa SMA. Desember yang syahdu berpadu kenangan indah masa lalu, merimbunkan kembali pohon cinta di hati keduanya. Duma membiarkan saja, agar kian lengkap kebahagiannya selama berada di kampung halaman. Duma tidak terlalu memikirkan. Sebab begitu dia kembali ke perantauan, lalu berkutat dengan segala kesibukan, dia yakin semua itu akan menghilang. Perlahan cerita pun akan berputar arah. Lambat laun Tigor akan terlupakan. Ada Patar yang selalu menemaninya di Jakarta. Atau... bisa saja Duma bertemu orang berbeda yang menjadi tempat persinggahan hatinya berikutnya. Hidup tak bisa ditebak bukan? Demikian juga urusan cinta.
            “Udah, jadikan aja. Apalagi?”
            “Iya. Tambah satu pesta lagi tak apa-apalah.”
            “Buat apa lagi balik ke Jakarta kau Duma. Di sini aja. Kawani Tigor mengurus kebun kopinya.”
            “Seribu batang ada itu kopi si Tigor yang di Martimbang. Setahun lagi udah mulai panen. Udah cukup itu buat kalian.”
            “Udah berlebih pun. Sempat punya kopi seribu batang, apa nggak tenang pikiran awak menjalani hidup ini.”
            “Pas nya itu. Kawin aja klean.”
            Duma tertawa menanggapi celetukan-celetukan, saat orang-orang desa melihatnya bersama Tigor. Duma sumringah, hatinya merekah. Tapi bukan karena ingin semua celetukan itu jadi kenyataan. Bukan. Duma masih ingin sendiri dan memuaskan hati menikmati masa muda. Duma sumringah karena dia senang digoda jadi pengantin. Gadis mana yang tak ingin jadi pengantin? Duma juga kerap membayangkan dirinya menjalani indahnya semua prosesi pernikahan. Sanak famili yang berkumpul, teratak yang terpancang di halaman rumah dengan anak-anak yang berlarian di bawahnya. Pemain musik yang mengatur peralatan di teras depan. Wangi bumbu dari dapur. Kebaya pengantin, altar gereja, acara adat yang banyak diisi dengan kaum kerabat yang memberi petuah dalam pantun-pantun indah lalu manortor dengan riang, semua kerap bersiliweran di benak Duma. Membuatnya sering berhayal dan makin tersipu menerima godaan dari orang-orang kampung yang ramai-ramai menjodohkannya dengan Tigor.
            Duma terkejut dan nyaris pingsan, ketika suatu sore, orang tua Tigor datang membawa makanan. Bukan sembarang makanan. Tapi daging babi dalam panci itu membawa makna yang sangat serius. Duma dilamar.
            Duma tercengang begitu mendengar ucapan ayah Tigor yang meminta Duma jadi menantunya. Merinding seluruh bulu halus di tubuhnya. Mata Duma berkunang-kunang. Dadanya bertambur tak beraturan melihat tawa bahagia ibunya. Tiba-tiba saja ibu tampak berbeda. Wajahnya bercahaya. Tawanya berlepasan. Duma bingung harus bersikap bagaimana.
            “Bagaimana Duma. Kau setuju, Boru (putriku)?” Ayah menoleh pada Duma. Wajahnya seluruhnya senyum.
            “E..eeh...” Duma tergeragap. Hidungnya mendadak gatal, memancing bersin yang memaksa kepalanya mengayun, tapi bersinnya tertahan. Orang-orang menganggap anggukan Duma adalah tanda persetujuan. Mereka mendesah penuh kelegaan. Berbincang makin akrab dan banyak tertawa.
            Berita begitu cepat menyebar. Segala persiapan segera dimatangkan. Dua hari menjelang tahun baru, Duma sudah dibawa ke rumah Tigor. Pesta pernikahan mereka akan diadakan pada tanggal 8 Januari tahun berikutnya.
            Semua seperti mimpi bagi Duma. Di tengah segala persiapan pernikahannya, Duma merasa itu tak nyata. Tiket pesawat untuk pulang ke Jakarta masih terselip di dompetnya. Dia sengaja membeli tiket pulang pergi ketika mudik menjelang natal kemarin. Ruang kerjanya di sebuah showroom motor juga masih lekat dalam bayangan. Duma merasa kalau dia masih akan ke sana.
            Tapi ketika kerepotan jelang pernikahannya makin menjadi, Duma mulai sadar betul akan apa yang sedang dihadapinya. Dia harus segera menikah. Lalu tinggal di desa. Tak bisa lagi kembali ke Jakarta. Tak ada lagi kopaja yang membawanya ke tempat kerja. Tak ada lagi kemacetan, tak ada jalan-jalan ke mal. Segenap keriuhan Jakarta segera jadi kenangan.
Duma menangis.
Dia merindukan rutinitasnya yang penuh dinamika di ibukota. Dia ingin kembali ke sana.
            Mengapa dia menerima rencana pernikahan ini? Memangnya siapa Tigor? Dia hanya pemuda kampung yang lusuh. Mengapa aku membiarkan seribu batang kopi memutus petualanganku yang ceria di gemerlap metropolitan. Aku tertipu. Aku bodoh, Duma memaki dirinya sendiri. Dia menangis sendirian. Merasa terjebak dan tak kuasa untuk memberontak. Hati Duma berteriak menyuruhnya membatalkan semua kekonyolan ini. Tapi ayah dan ibu...mereka begitu bahagia dan bersemangat. Ibu berulangkali terdengar mengucap syukur. Beliau sangat senang menyambut Tigor sebagai calon menantu. Dia pemuda yang baik. Aktif di kumpulan pemuda gereja dan juga rajin bekerja.
            Ponsel Duma berkedip. Ada pesan masuk.
            Jd plg bsok hasian (sayang)? Biar abg jmput di bndara..
            Tubuh Duma bergetar, tangannya berkeringat. Pesan itu dari Patar, pacarnya di Jakarta.
            Pagi di hari perhelatan, terjadi kehebohan. Pengantin wanita menghilang. Duma tak ada di kamar. Semua ribut mencari ke sana ke mari. Menanya pada siapa saja yang terbersit di hati, tapi jejak Duma tetap tak terlacak. Pihak keluarga pria marah bukan kepalang. Sedangkan pihak keluarga Duma malu tak tertanggungkan. Pesta batal. Tidak ada yang menduga kalau saat itu Duma sedang berada di bus KBT yang membawanya ke Medan untuk selanjutnya terbang ke Jakarta.
            Tidak lama kemudian, Duma menikah dengan Pontas, seorang pengusaha bengkel mobil yang cukup berhasil di ibu kota.
Setahun menjalani pernikahan Duma berusaha tetap tenang ketika kandungannya belum berisi apa-apa. Tiga tahun, lima tahun, sepuluh tahun berlalu, Duma masih juga tak melahirkan anak. Tak ayal hatinya gemetar ketakutan. Lima belas tahun telah terlewat kini, anak yang dinanti tak juga hadir.
            “Kau harus minta maaf sama dia.” Kalimat itu yang kali ini memaksa Duma pulang ke desa.
***
            Duma menyibak selimut dan beranjak meninggalkan kamar. Tangannya bersilang mendekap dada. Dingin masih terasa, walau ternyata matahari sudah mulai mendaki langit sambil menebar cahayanya. Dari SD di pinggir desa sayup terdengar keriuhan, mungkin mereka sedang memantapkan latihan untuk acara natal. Satu dua orang desa terlihat melangkahkan kaki di jalan setapak menuju pesawahan diikuti anjing peliharaan yang setia. Dada Duma tersentak ketika melihat dia. Tigor nampak di sana. Bersama istri dan dua anaknya yang belum sekolah, berjalan di jalan setapak. Ngilu mendera hati Duma. Cemburu.
            “Anaknya lima. Yang paling besar sudah kelas dua esempe.” Celetuk Ibu yang sedang membersihkan kopi yang baru digiling di halaman rumah. Duma menahan napas. Matanya rabun menahan embun. Entah apa yang dia rasakan kini. Sepertinya ada sejumput rindu yang dia rasakan. Ingin rasanya dia berlari dan memeluk pria itu. Pria yang telah dia kecewakan lima belas tahun yang lalu.
***
Kebaktian perayaan natal berlangsung meriah namun hikmat. Gereja penuh. Orang-orang desa dan perantau yang pulang kampung mengisi semua bangku gereja. Anak-anak berulang kali berjalan kian kemari memamerkan baju barunya. Guru-guru sekolah minggu jadi sibuk menyuruh anak-anak itu agar diam di tempat duduknya. Duma tersenyum maklum. Dia juga pernah mengalami hal serupa. Baik ketika masih sekolah minggu juga saat dia jadi pengajar sekolah minggu waktu SMA.
Sintua (penatua gereja) Tigor (DALAM EDISI CETAK TERTULIS ‘TOHOM’) berdiri di altar gereja. Toga putih menjumbai yang dia pakai membuatnya tampak berwibawa. Duma tak kuasa menahan tetes air mata. Wajah pak tani itu tampak agung saat berdiri di altar memandu ibadah natal. Raut mukanya bercahaya. Suaranya mengalun tenang dan mendamaikan. Untuk kali pertama Duma merasakan penyesalan yang dalam. Dia benar-benar telah berbuat kesalahan ketika menolak pria itu bertahun silam.
Ketika Duma mendatangi rumah Tigor dua hari yang lalu, dan menyampaikan permohonan maaf atas perlakuan Duma lima belas tahun silam, Tigor tampak tenang dan sepenuhnya memaklumi. Mereka bersalaman dan saling memaafkan. Dengan tulus Tigor berdoa agar Duma segera mendapat momongan.
Ibadah natal selesai. Lalu penatua gereja mengajak semua jemaat saling bersalaman untuk mengucapkan selamat natal. Ajakan itu sebenarnya hanya penegasan. Sebab tanpa disuruh pun, jemaat telah saling mengembangkan senyum bahagia sambil bersalaman satu dengan yang lain.
Duma maju. Langkahnya gemetar menuju sintua Tigor yang masih menyalami rekan-rekannya sesama penatua gereja.
“Selamat natal ya, Ito.” Tangan Duma terulur, air matanya kembali turun. Tigor sedikit menundukkan badan menyambut tangan Duma. Wajahnya yang tenang sangat menyejukkan.
“Selamat natal juga, Ito.” Sambut Tigor penuh penyambutan. Sesaat tatap mereka bertemu, membuat pipi Duma bersemu.
“Semoga doa kita segera dikabulkan Tuhan,” sambung Tigor saat dua anaknya yang belum sekolah memeluk kaki Tigor dan meminta dibelikan kembang api. Duma mengangguk terharu. Tangannya mengusap kepala kedua anak Tigor.
“Semoga, Ito. Tolong bantu doa, ya.” Duma mengeluarkan dua lembar uang dua puluh ribu. “Ini, buat beli kembang api.”
Kedua anak Tigor menatap ayahnya. Ketika Tigor tersenyum dan menganggukkan kepala, kedua anak itu menerima uang dari tangan Duma sambil bersorak gembira.
“Terima kasih, Namboru (bibi).” Ucap keduanya sambil menggulung-gulung uang di tangan mungilnya. Duma mengangguk sambil kembali mengusap kepala kedua anak itu.
“Selamat natal, Duma!” seseorang meraih tangan Duma.
“Oh iya, sama-sama. Selamat natal, ya.” Duma menyambut tangan orang itu. Juga tangan-tangan lain yang terulur ramah. Natal yang indah. Duma merasa beban yang menghimpit dadanya selama bertahun-tahun pupus perlahan-lahan. Berganti dengan nyala harapan, serupa lilin natal yang berpendar di kehangatan dadanya.
Pernah dimuat di harian analisa Medan edisi 26 des’ 2012


Lembut Hati Nita



Lembut Hati Nita
Oleh: Elwin FL Tobing

            Syeeet....pret.


            “Aduh,” spontan Pak Anton meraba belakang kepalanya sambil berbalik.
            “Siapa yang kurang ajar, hah?” bentaknya marah. Bola matanya berkilat-kilat menahan geram.
        “Siapa, hayo ngaku.” Bentak Pak Anton lebih keras. Dia memungut karet gelang yang tadi menyambar belakang kepalanya, meletakkan buku soal-soal fisika di meja. Pandangannya kembali menyapu seisi kelas penuh selidik dengan wajah yang semakin memerah. Di papan tulis tampak rangkaian soal yang belum selesai.
            “Harap mengaku siapa yang melakukan, atau seisi kelas ini akan dihukum.”
        Tidak ada yang menyahut. Semua penghuni kelas menunduk. Ada yang pura-pura menulis entah menulis apa, ada yang saling tukar pandang, ada yang sok cuek, walau kegelisahan merayap jelas di wajah mereka.
            “Baik, kalau nggak ada yang mau mengaku, masalah ini akan bapak laporkan ke Kepsek.”
         “Saya tahu, Pak.” Semua mata melotot ke arah Nita. Cewek itu perlahan menurunkan tangan kanannya yang teracung. Terdengar gumanan yang tidak jelas dari beberapa tempat.
            “Ya, Nita. Siapa yang menjepret Bapak dengan karet gelang ini.” Pak Anton mengangkat karet gelang yang menggantung di jari telunjuknya.
            “Sandi, Pak.”
          “Bohong,” Sandi kontan berdiri dari bangkunya,”lo jangan nuduh sembarangan ya,” bentaknya garang.
            “Tadi saya lihat sendiri kamu melepas karet itu dari rambut dan menjepret Pak Anton,” jawab Nita tegas.
            “Diam, bukan gue, iya kan, Ko?” Sandi mengguncangkan bahu Joko teman sebangkunya. Joko salah tingkah dan jadi pucat.
            “Joko.” Pak Anton mendekat. “Benar Sandi yang melakukan?”
            “Eh oh, i..ieh ng...nggak, Pak.”
            “Jawab yang tegas.”
            “I iya, Pak.”
          “Sudah, Sandi, Joko, Nita ikut ke kantor,” perintah Pak Anton. Sandi melotot geram pada Nita. Tinjunya terkepal kuat lalu dihantamkannya ke dinding. Nita melangkah tenang. Bisik-bisik orang sekelas menghantar mereka ke kantor guru. Di sana mereka disidang langsung Pak Kepsek. Sandi ditegus keras di dikasih surat peringatan.
            “Kamu biang onar di sekolah ini,” tunjuk Pak Kepsek. “Sekali lagi kamu berani macam-macam, OUT. Ngerti?” sambungnya sambil menunjuk pintu.
            Sandi acuh tak acuh. Ekor matanya bergantian melirik orang-orang yang berada di ruangan itu, dan kegeraman membaca di wajahnya saat tatapannya membentur sorot mata Nita yang mencoba tetap tenang.
            “Kalau elo cowok, udah gue hajar,” sembur Sandi sekeluarnya dari ruang guru.
            “Anak baru nggak tau diri, sok jago. Pinter cari muka lo, ya.”
            Nita diam. Dia memang masih baru. Pindah dari Solo ke Jakarta ikut Oom-nya. Ada penyesalan di hati Nita. Kenapa secepat itu dia mendapat musuh. Kenapa tidak dibiarkan saja Sandi dengan ulahnya, walau jelas akan merugikan mereka semua, terutama merugikan Sandi sendiri yang semakin mabok dengan kelakuannya yang liar. Mengapa aku yang harus peduli, desah Nita. Seandainya Sandi mengerti bahwa itu semua demi kebaikan dia juga. Perbuatannya sudah keterlaluan. Menghina seorang guru yang telah berjerih lelah berbagi ilmu dengan mereka. Andai saja Sandi menyadari...ah, masihkah Sandi bisa sadar. Berhenti bolos, berantem, tawuran dan melecehkan guru-guru yang mengajarinya. Nita merasa aneh dengan sikapnya tadi. Seberani itu dia melaporkan perbuatan Sandi, padahal yang lain memilih dihukum sama-sama. Begitu berkuasakah seorang Sandi hingga sanggup membungkam orang sekelas?
            Sebenarnya Nita tak ingin masalah itu berbuntut panjang. Tapi Sandi ternyata semakin menunjukkan sikap kebencian. Semakin hari bara yang memisahkan mereka semakin memerah dan panas. Segala ketulusan dan keramahan yang selalu ditunjukkan Nita menguap tanpa arti..
            Nita semakin sedih, apalagi beberapa teman sekolahnya termakan hasutan Sandi. Atau mungkin Sandi mengancam mereka, Nita kurang tahu. Yang dia rasa, beberapa dari mereka jadi ikut-ikutan sinis, bila bertemu dengannya. Dituduh pintar cari muka di depan guru. Nita berusaha tabah dan tetap ramah. Dalam hati dia berharap suatu hari nanti segalanya akan beres.
***
            Gaung bel istirahat belum hilang ketika kelas II.2 dilanda kegemparan. Hampir semua anak merubung bangku Lala yang panik membongkar-bongkar isi tas.
            “Elo nggak salah naruh, La?” tanya seseorang.
            “Nggak. Gue ingat duitnya gue taruh di tas ini.”
            “Kapan?”
            “Begitu nyampe di kelas. Duit itu baru gue ambil di ATM depan.”
            “Ada yang liat nggak , lo naruh duit.”
            “Nggak tau. Biasanya juga nggak hilang kok. Aduh gimana dong.” Lala bingung dan putus asa. Duit buat merayakan ulang tahunnya amblas tidak berbekas.
            “Semua jangan ada yang keluar kelas,” seru Pak Alex wali kelas mereka yang kebetulan belum meninggalkan kelas.
            “Semua kembali duduk di bangku masing-masing.”
            Dengan perasaan was-was masing-masing kembali ke bangkunya.
            “Jay, Pipit, periksa satu persatu tas teman-temanmu,” lalu pada Lala, “Duitnya di taruh di dompet atau...”
            “Lala bungkus pakai tissu warna merah, Pak.”
            Semua tas telah tergeletak di atas meja. Di beberapa meja cowok hanya ada tumpukan buku tulis lusuh. Mereka tidak membawa tas. Pemeriksaan dimuali dari meja paling ujung. Semua tegang menahan nafas. Menanti dengan berdebar-debar seakan sumbu dinamit yang semakin pendek termakan api, dan...
            “Haaahhh?”
            Seruan tertahan serempak terdengar ketika tangan Pipit menarik sesuatu dari dalam tas di bangku baris ketiga. Lipatan duit limapuluh ribuan yang terbungkus tissu warna merah yang mulai lecek.
            “Hah! Ya Tuhan,” Nita berseru kaget. Tangannya membekap mulut, bola matanya melotot lebar.
            “Nita...?”
            “Nita...?”
            Semua menggumankan nama Nita. Tak percaya. Mereka bergantian menatap lipatan duit dan wajah Nita yang memucat seputih kertas. Tapi beberapa anak mulai memandang sinis kepadanya. Komentar-komentar perlahan bermunculan memaksa Nita menutup mata dan telinganya. Saat diinterogasi Pak Alex, Nita tidak mampu menjawab. Dia hanya mampu menggeleng-geleng dengan wajah pucat dan banjir air mata. Ada dugaan ini kerjaan Sandi. Tapi Sandi tidak masuk hari ini, bahkan sudah dua hari. Bagaimana bisa duit itu ada dalam tas Nita? Benarkan Nita pencuri?
***
            Siang kering kerontang. Asap knalpot bus-bus yang menghela sesaknya penumpang menebarkan serbuk kimia ke udara. Menyusup nakal membuat orang-orang yang berdiri di halte terbatuk-batuk sambil menutup mulut dan hidung.
            “Gimana, San. Impas kan?”
            Sandi menatap Joko yang santai mengunyah permen di pojok halte. Ya. Utang Joko telah lunas. Dia telah berhasil menyingkirkan Nita dari sekolah mereka. Anak bau kencur yang coba-coba bertingkah. Joko sukses menyelipkan duit Lala ke dalam tas Nita. Itu sebagai bayaran atas pengakuan Joko pada Pak Kepsek ketika Sandi menjepret Pak Anton tempo hari. Kenapa Joko ikut-ikutan mengiyakan tuduhan Nita. Tasi sudahlah. Joko sudah membayar utangnya.
            Sandi membuang pandang pada lalu-lintas yang berseliweran. Ruwet. Seruwet hidup yang dijalaninya. Dipandangnya seragam putih lusuh. Pelajar, batin Sandi pahit. Rasanya sebutan itu terlalu mulia untuk dirinya. Berandalan atau preman, itu mungkin lebih pas. Dia memandang gedung-gedung tinggi yang menjulang megah. Mengawasi karyawan berdasi yang menuruni tangga dengan anggun. Adakah nanti tempatku di sana? Ah. Menamatkan SMA saja rasanya mustahil.
            Kuli? Mata Sandi menatap sosok kuli-kuli jalanan yang tengah menggali saluran air dengan susah payah di dekat sebuah bangunan baru. Disanakah aku nanti? Sandi mengeluh putus asa.
            Ada sebuah perubahan dalam diri Sandi. Nita sudah enyah dari hadapannya, dan itulah yang dia harapkan. Tapi kepergian Nita ternyata menyisakan penyesalan pada dirinya. Andai Nita cewek bengal yang melawan semua perlakuan tidak adilnya, mungkin Sandi akan semakin menjadi-jadi. Seperti yang pernah dipamerkan pada Yos, cewek tomboi yang pernah memprotes kearoganannya. Di hadapan anak-anak Sandi tidak segan melabrak gadis itu hingga menangis dan menjerit-jerit seperti orang gila.
            Tapi Nita lain. Dia pasrah dan sepertinya tidak masalah baginya semua perlakuan Sandi yang merugikan. Juga lontaran kata-kata sinis dan pedas tidak pernah dia tanggapi. Besoknya dia sudah menyapa Sandi dengan ramah seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Sandi semakin benci. Pikirnya, gadis itu teramat lemah. Tidak punya kekuatan sedikitpun untuk membela diri. Sandi mendengus. Dia merasa Nita sangat mengharapkan maaf darinya. Huh, jangan harap, sumpahnya dalam hati. Sampai kiamatpun tidak ada kata maaf.
            Tapi sumpah tinggal sumpah. Ketika Nita berdiri di muka kelas dengan gemetar untuk mengumumkan kepindahannya tiga hari lalu, keangkuhan Sandi agak goyah. Ketegaran yang biasanya terpancar dari wajah Nita –dan itu sangat dibenci Sandi- hilang, berganti bayangan kelelahan yang dalam.
            “Saya minta maaf sama kamu, San,” ucap Nita setelah terlebih dahulu mohon maaf pada Lala.
            “Saya banyak salah sama kamu. Sebenarnya saya ingin berteman. Tapi saya memang nggak tau diri telah berani menyinggung perasaan kamu.”
            Nita berhenti untuk menghapus air matanya. “Sebelum saya meninggalkan sekolah ini saya mohon kamu maafin saya, San.”
            Sandi pura-pura cuek. Tatapannya dialihkan ke bangku belakang.
            “Maafin saya ya, San..” Sandi terkejut melihat Nita telah berdiri di sisi bangkunya. Tangan mungil milik Nita terulur persis di depan hidungnya.
            “Tolong, San, maafin saya ya. Saya nggak akan tenang sebelum kamu maafin,” pinta Nita. Tangan kirinya sibuk menghapus air mata. Semua menahan nafas melihat adegan tersebut. Perlahan Sandi mengulurkan tangan menyambut tangan Nita yang gemetar.
            “Makasih, San. Kamu baik sekali,” Nita tersenyum diantara linangan air mata. Ketika langkah Nita hilang di balik pintu, bukan ledakan tawa puas, tapi kehampaan dan penyesalan yang merasuk ngilu di dada Sandi. Sampai hari ini penyesalan itu masih membalut.
            Angin sore bertiup. Joko makin asyik dengan permen karetnya. Sandi meringis, lalu kembali menekur, merenungi langkah-langkah hidupnya yang suram, di halte yang kumuh itu.
            Tiba-tiba Sandi dikejutkan Joko.
            “Awas, San...”
            Disusul teriakan.
            “Itu dia anaknya. Hajar!”
            Lalu pukulan, tendangan dan tinju menghajar tubuh Sandi. Tidak ada celah untuk meloloskan diri. Sandi terpojok di tiang halte. Dia menjerit-jerit dengan kedua tangan liar menangkis hantaman bertubi-tubi di sekujur tubuh. Baju putihnya mulai terasa lengket dan bernoda merah. Mulut Sandi tidak henti-hentinya mengaduh dan mengerang.
            Tiba-tiba terdengar derum mobil berhenti, kaki-kaki yang berlompatan, suara sirene, lalu benturan di aspal yang panas, selebihnya Sandi tidak ingat apa-apa lagi.
***
            Hujan telah berhenti. Titik gerimis juga sebentar lagi nampaknya akan hilang seiring bias mentari yang menyibak mendung. Daun-daun menebarkan aroma segar. Pada kelopak bunga mawar, butiran air bening bergantung bagaikan kristal. Dua ekor burung gereja mengibas-ibaskan sayap sambil berlompatan menyongsong semilir angin sore.
            Di sebuah ruangan bercat putih Sandi mencoba menggeliat. Aouw, sakit. Dia mencoba membuka mata. Berat sekali. Tapi dipaksakannya
            “Dia sudah sadar, Dok.”
            Seorang dokter dan seorang suster tersenyum ramah pada Sandi.
            “Kamu sudah sehari nggak sadar,” kata dokter sambil memeriksa perban di lengan Sandi. “Untung teman kamu itu cepat telepon polisi kemarin. Kalau nggak kamu mungkin tak tertolong lagi. Buat apa sih tawuran-tawuran begitu. Rugi sendiri kan. Apalagi kalo lagi apes begitu, dikeroyok.”
            Joko? Berani juga tuh anak. Padahal biasanya kalau sudah terdesak dia akan ngacir tanpa nengok-nengok lagi.
            “Teman saya sekarang dimana, Pak?” tanya Sandi. Dia ingin berterima kasih pada sahabatnya itu.
            “Sebentar lagi mungkin kesini..Eh, itu dia.”
            “Hah?” Sandi terhenyak melihat siapa yang dimaksud dokter itu. Seorang gadis dengan bungkusan apel di tangan muncul di pintu.
            “Nita?”
            “Kamu sudah sadar, San?” sapa Nita lembut.
            Sandi tergagap. Perasaannya campur aduk. Mengapa harus Nita yang menolongnya, bukan Joko?
         “Saya melihat kamu dikeroyok. Cepat aku telepon polisi. Saya sudah takut kamu kenapa-napa. Syukurlah masih tertolong.”
            Wajah Sandi pias. Dia berusaha melarikan wajahnya dari tatapan Nita. Jadi gadis ini yang menyelamatkan nyawanya?
            “Ini benar temannya, kan?” Pak Dokter heran dengan sikap Sandi.
            “I...iya, Pak. Teman sekolah.” Jawab Sandi tersendat.
            Sepeninggal dokter keheningan mengukung keduanya.
            “Maafin saya, San. Kamu mungkin nggak mengharapkan saya disini. Saya akan pulang. Saya juga sudah lega kamu sudah sadar...”
            “Nita....” Sandi merasa terhempas. Apalagi yang harus dia sombongkan. Nyatanya selembar nyawanya telah diselamatkan oleh orang yang selama ini dianggapnya lemah. Masih berartikah keangkuhannya. Ah, bukan keangkuhan. Tapi kebodohan yang membutakannya selama ini.
            Sandi menarik nafas menata hatinya yang berkeping. Lalu dia menceritakan semua perbuatannya pada Nita. Jebakan kotor yang diaturnya dengan Joko. Wajah Nita sempat memerah. Tapi sejurus sudah teduh kembali. Nita juga punya dugaan seperti itu. Tapi tanpa bukti siapakah yang akan percaya. Syukurlah sekarang sudah jelas semuanya.
            “Kalau masih bisa, tolong maafin gue, Nit. Tapi gue nggak maksa. Gue sadar gue salah besar sama Nita. Bahkan kalo Nita memaki-maki atau ngegampar muka gue, gue iklas. Malah gue berterima-kasih.” Ucap Sandi melihat Nita terdiam mendengar pengakuannya. Nita mendesah. Perlahan mengulaskan senyum.
            “Terus terang saya menyesal dengan semua ini. Tapi sudahlah, San. Semua udah terjadi, syukurlah saya masih kuat menghadapinya. Sudahlah, kita lupain semuanya,” jawab Nita.
            “Makasih, Nit. Makasih banget. Gue juga minta Nita balik ke sekolah kita. Gue akan jelasin semua sama Pak Alex. Gue juga akan minta maaf di depan anak-anak pada Nita dan Lala.
            “Nggak perlu, San.”
            “Gue mohon, Nit. Kalo Nita udah balik gue baru merasa lega. Semua harus tau kalau Nita itu nggak salah apa-apa. Nama baik Nita harus kita pulihkan. Gue mohon Nita balik.” Pinta Sandi seraya menggenggam jemari Nita. Wajah Nita jengah. Dia perlahan menarik tangannya. Sandi tersadar, buru-buru dia melepaskan pegangannya, lalu menggumankan permohonan maaf.
            “Katanya Cuma teman.”
          Sandi dan Nita serempak menoleh. Pak dokter nampak tersenyum disusul Pak Alex dan teman-teman lain yang muncul di pintu kamar. Entah apa yang mereka pikir telah terjadi antara Sandi dan Nita hingga mereka tersenyum-senyum terus menghampiri keduanya
Dimuat di majalah aneka yess tahun 2000