Lembut Hati Nita
Oleh: Elwin FL Tobing
“Aduh,”
spontan Pak Anton meraba belakang kepalanya sambil berbalik.
“Siapa
yang kurang ajar, hah?” bentaknya marah. Bola matanya berkilat-kilat menahan
geram.
“Siapa,
hayo ngaku.” Bentak Pak Anton lebih keras. Dia memungut karet gelang yang tadi
menyambar belakang kepalanya, meletakkan buku soal-soal fisika di meja.
Pandangannya kembali menyapu seisi kelas penuh selidik dengan wajah yang
semakin memerah. Di papan tulis tampak rangkaian soal yang belum selesai.
“Harap
mengaku siapa yang melakukan, atau seisi kelas ini akan dihukum.”
Tidak
ada yang menyahut. Semua penghuni kelas menunduk. Ada yang pura-pura menulis
entah menulis apa, ada yang saling tukar pandang, ada yang sok cuek, walau
kegelisahan merayap jelas di wajah mereka.
“Baik,
kalau nggak ada yang mau mengaku, masalah ini akan bapak laporkan ke Kepsek.”
“Saya
tahu, Pak.” Semua mata melotot ke arah Nita. Cewek itu perlahan menurunkan
tangan kanannya yang teracung. Terdengar gumanan yang tidak jelas dari beberapa
tempat.
“Ya,
Nita. Siapa yang menjepret Bapak dengan karet gelang ini.” Pak Anton mengangkat
karet gelang yang menggantung di jari telunjuknya.
“Sandi,
Pak.”
“Bohong,”
Sandi kontan berdiri dari bangkunya,”lo jangan nuduh sembarangan ya,” bentaknya
garang.
“Tadi
saya lihat sendiri kamu melepas karet itu dari rambut dan menjepret Pak Anton,”
jawab Nita tegas.
“Diam,
bukan gue, iya kan, Ko?” Sandi mengguncangkan bahu Joko teman sebangkunya. Joko
salah tingkah dan jadi pucat.
“Joko.”
Pak Anton mendekat. “Benar Sandi yang melakukan?”
“Eh oh,
i..ieh ng...nggak, Pak.”
“Jawab
yang tegas.”
“I iya,
Pak.”
“Sudah,
Sandi, Joko, Nita ikut ke kantor,” perintah Pak Anton. Sandi melotot geram pada
Nita. Tinjunya terkepal kuat lalu dihantamkannya ke dinding. Nita melangkah
tenang. Bisik-bisik orang sekelas menghantar mereka ke kantor guru. Di sana
mereka disidang langsung Pak Kepsek. Sandi ditegus keras di dikasih surat
peringatan.
“Kamu
biang onar di sekolah ini,” tunjuk Pak Kepsek. “Sekali lagi kamu berani
macam-macam, OUT. Ngerti?” sambungnya sambil menunjuk pintu.
Sandi
acuh tak acuh. Ekor matanya bergantian melirik orang-orang yang berada di
ruangan itu, dan kegeraman membaca di wajahnya saat tatapannya membentur sorot
mata Nita yang mencoba tetap tenang.
“Kalau
elo cowok, udah gue hajar,” sembur Sandi sekeluarnya dari ruang guru.
“Anak
baru nggak tau diri, sok jago. Pinter cari muka lo, ya.”
Nita
diam. Dia memang masih baru. Pindah dari Solo ke Jakarta ikut Oom-nya. Ada
penyesalan di hati Nita. Kenapa secepat itu dia mendapat musuh. Kenapa tidak
dibiarkan saja Sandi dengan ulahnya, walau jelas akan merugikan mereka semua,
terutama merugikan Sandi sendiri yang semakin mabok dengan kelakuannya yang
liar. Mengapa aku yang harus peduli, desah Nita. Seandainya Sandi mengerti
bahwa itu semua demi kebaikan dia juga. Perbuatannya sudah keterlaluan.
Menghina seorang guru yang telah berjerih lelah berbagi ilmu dengan mereka.
Andai saja Sandi menyadari...ah, masihkah Sandi bisa sadar. Berhenti bolos,
berantem, tawuran dan melecehkan guru-guru yang mengajarinya. Nita merasa aneh
dengan sikapnya tadi. Seberani itu dia melaporkan perbuatan Sandi, padahal yang
lain memilih dihukum sama-sama. Begitu berkuasakah seorang Sandi hingga sanggup
membungkam orang sekelas?
Sebenarnya
Nita tak ingin masalah itu berbuntut panjang. Tapi Sandi ternyata semakin
menunjukkan sikap kebencian. Semakin hari bara yang memisahkan mereka semakin
memerah dan panas. Segala ketulusan dan keramahan yang selalu ditunjukkan Nita
menguap tanpa arti..
Nita
semakin sedih, apalagi beberapa teman sekolahnya termakan hasutan Sandi. Atau
mungkin Sandi mengancam mereka, Nita kurang tahu. Yang dia rasa, beberapa dari
mereka jadi ikut-ikutan sinis, bila bertemu dengannya. Dituduh pintar cari muka
di depan guru. Nita berusaha tabah dan tetap ramah. Dalam hati dia berharap
suatu hari nanti segalanya akan beres.
***
Gaung
bel istirahat belum hilang ketika kelas II.2 dilanda kegemparan. Hampir semua
anak merubung bangku Lala yang panik membongkar-bongkar isi tas.
“Elo
nggak salah naruh, La?” tanya seseorang.
“Nggak.
Gue ingat duitnya gue taruh di tas ini.”
“Kapan?”
“Begitu
nyampe di kelas. Duit itu baru gue ambil di ATM depan.”
“Ada
yang liat nggak , lo naruh duit.”
“Nggak
tau. Biasanya juga nggak hilang kok. Aduh gimana dong.” Lala bingung dan putus
asa. Duit buat merayakan ulang tahunnya amblas tidak berbekas.
“Semua
jangan ada yang keluar kelas,” seru Pak Alex wali kelas mereka yang kebetulan
belum meninggalkan kelas.
“Semua
kembali duduk di bangku masing-masing.”
Dengan
perasaan was-was masing-masing kembali ke bangkunya.
“Jay,
Pipit, periksa satu persatu tas teman-temanmu,” lalu pada Lala, “Duitnya di
taruh di dompet atau...”
“Lala
bungkus pakai tissu warna merah, Pak.”
Semua
tas telah tergeletak di atas meja. Di beberapa meja cowok hanya ada tumpukan
buku tulis lusuh. Mereka tidak membawa tas. Pemeriksaan dimuali dari meja
paling ujung. Semua tegang menahan nafas. Menanti dengan berdebar-debar seakan
sumbu dinamit yang semakin pendek termakan api, dan...
“Haaahhh?”
Seruan
tertahan serempak terdengar ketika tangan Pipit menarik sesuatu dari dalam tas
di bangku baris ketiga. Lipatan duit limapuluh ribuan yang terbungkus tissu
warna merah yang mulai lecek.
“Hah! Ya
Tuhan,” Nita berseru kaget. Tangannya membekap mulut, bola matanya melotot
lebar.
“Nita...?”
“Nita...?”
Semua
menggumankan nama Nita. Tak percaya. Mereka bergantian menatap lipatan duit dan
wajah Nita yang memucat seputih kertas. Tapi beberapa anak mulai memandang
sinis kepadanya. Komentar-komentar perlahan bermunculan memaksa Nita menutup mata dan
telinganya. Saat diinterogasi Pak Alex, Nita tidak mampu menjawab. Dia hanya
mampu menggeleng-geleng dengan wajah pucat dan banjir air mata. Ada dugaan ini
kerjaan Sandi. Tapi Sandi tidak masuk hari ini, bahkan sudah dua hari.
Bagaimana bisa duit itu ada dalam tas Nita? Benarkan Nita pencuri?
***
Siang
kering kerontang. Asap knalpot bus-bus yang menghela sesaknya penumpang
menebarkan serbuk kimia ke udara. Menyusup nakal membuat orang-orang yang
berdiri di halte terbatuk-batuk sambil menutup mulut dan hidung.
“Gimana,
San. Impas kan?”
Sandi
menatap Joko yang santai mengunyah permen di pojok halte. Ya. Utang Joko telah
lunas. Dia telah berhasil menyingkirkan Nita dari sekolah mereka. Anak bau
kencur yang coba-coba bertingkah. Joko sukses menyelipkan duit Lala ke dalam
tas Nita. Itu sebagai bayaran atas pengakuan Joko pada Pak Kepsek ketika Sandi
menjepret Pak Anton tempo hari. Kenapa Joko ikut-ikutan mengiyakan tuduhan
Nita. Tasi sudahlah. Joko sudah membayar utangnya.
Sandi
membuang pandang pada lalu-lintas yang berseliweran. Ruwet. Seruwet hidup yang
dijalaninya. Dipandangnya seragam putih lusuh. Pelajar, batin Sandi pahit.
Rasanya sebutan itu terlalu mulia untuk dirinya. Berandalan atau preman, itu
mungkin lebih pas. Dia memandang gedung-gedung tinggi yang menjulang megah.
Mengawasi karyawan berdasi yang menuruni tangga dengan anggun. Adakah nanti
tempatku di sana? Ah. Menamatkan SMA saja rasanya mustahil.
Kuli?
Mata Sandi menatap sosok kuli-kuli jalanan yang tengah menggali saluran air
dengan susah payah di dekat sebuah bangunan baru. Disanakah aku nanti? Sandi
mengeluh putus asa.
Ada
sebuah perubahan dalam diri Sandi. Nita sudah enyah dari hadapannya, dan itulah
yang dia harapkan. Tapi kepergian Nita ternyata menyisakan penyesalan pada
dirinya. Andai Nita cewek bengal yang melawan semua perlakuan tidak adilnya,
mungkin Sandi akan semakin menjadi-jadi. Seperti yang pernah dipamerkan pada
Yos, cewek tomboi yang pernah memprotes kearoganannya. Di hadapan anak-anak
Sandi tidak segan melabrak gadis itu hingga menangis dan menjerit-jerit seperti
orang gila.
Tapi
Nita lain. Dia pasrah dan sepertinya tidak masalah baginya semua perlakuan
Sandi yang merugikan. Juga lontaran kata-kata sinis dan pedas tidak pernah dia
tanggapi. Besoknya dia sudah menyapa Sandi dengan ramah seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Sandi semakin benci. Pikirnya, gadis itu teramat lemah. Tidak
punya kekuatan sedikitpun untuk membela diri. Sandi mendengus. Dia merasa Nita
sangat mengharapkan maaf darinya. Huh, jangan harap, sumpahnya dalam hati.
Sampai kiamatpun tidak ada kata maaf.
Tapi
sumpah tinggal sumpah. Ketika Nita berdiri di muka kelas dengan gemetar untuk
mengumumkan kepindahannya tiga hari lalu, keangkuhan Sandi agak goyah.
Ketegaran yang biasanya terpancar dari wajah Nita –dan itu sangat dibenci
Sandi- hilang, berganti bayangan kelelahan yang dalam.
“Saya
minta maaf sama kamu, San,” ucap Nita setelah terlebih dahulu mohon maaf pada
Lala.
“Saya
banyak salah sama kamu. Sebenarnya saya ingin berteman. Tapi saya memang nggak
tau diri telah berani menyinggung perasaan kamu.”
Nita
berhenti untuk menghapus air matanya. “Sebelum saya meninggalkan sekolah ini
saya mohon kamu maafin saya, San.”
Sandi
pura-pura cuek. Tatapannya dialihkan ke bangku belakang.
“Maafin
saya ya, San..” Sandi terkejut melihat Nita telah berdiri di sisi bangkunya.
Tangan mungil milik Nita terulur persis di depan hidungnya.
“Tolong,
San, maafin saya ya. Saya nggak akan tenang sebelum kamu maafin,” pinta Nita.
Tangan kirinya sibuk menghapus air mata. Semua menahan nafas melihat adegan
tersebut. Perlahan Sandi mengulurkan tangan menyambut tangan Nita yang gemetar.
“Makasih,
San. Kamu baik sekali,” Nita tersenyum diantara linangan air mata. Ketika
langkah Nita hilang di balik pintu, bukan ledakan tawa puas, tapi kehampaan dan
penyesalan yang merasuk ngilu di dada Sandi. Sampai hari ini penyesalan itu
masih membalut.
Angin
sore bertiup. Joko makin asyik dengan permen karetnya. Sandi meringis, lalu
kembali menekur, merenungi langkah-langkah hidupnya yang suram, di halte yang
kumuh itu.
Tiba-tiba
Sandi dikejutkan Joko.
“Awas,
San...”
Disusul
teriakan.
“Itu dia
anaknya. Hajar!”
Lalu
pukulan, tendangan dan tinju menghajar tubuh Sandi. Tidak ada celah untuk
meloloskan diri. Sandi terpojok di tiang halte. Dia menjerit-jerit dengan kedua
tangan liar menangkis hantaman bertubi-tubi di sekujur tubuh. Baju putihnya
mulai terasa lengket dan bernoda merah. Mulut Sandi tidak henti-hentinya
mengaduh dan mengerang.
Tiba-tiba
terdengar derum mobil berhenti, kaki-kaki yang berlompatan, suara sirene, lalu
benturan di aspal yang panas, selebihnya Sandi tidak ingat apa-apa lagi.
***
Hujan
telah berhenti. Titik gerimis juga sebentar lagi nampaknya akan hilang seiring
bias mentari yang menyibak mendung. Daun-daun menebarkan aroma segar. Pada
kelopak bunga mawar, butiran air bening bergantung bagaikan kristal. Dua ekor
burung gereja mengibas-ibaskan sayap sambil berlompatan menyongsong semilir
angin sore.
Di
sebuah ruangan bercat putih Sandi mencoba menggeliat. Aouw, sakit. Dia mencoba
membuka mata. Berat sekali. Tapi dipaksakannya
“Dia
sudah sadar, Dok.”
Seorang
dokter dan seorang suster tersenyum ramah pada Sandi.
“Kamu
sudah sehari nggak sadar,” kata dokter sambil memeriksa perban di lengan Sandi.
“Untung teman kamu itu cepat telepon polisi kemarin. Kalau nggak kamu mungkin
tak tertolong lagi. Buat apa sih tawuran-tawuran begitu. Rugi sendiri kan.
Apalagi kalo lagi apes begitu, dikeroyok.”
Joko?
Berani juga tuh anak. Padahal biasanya kalau sudah terdesak dia akan ngacir
tanpa nengok-nengok lagi.
“Teman
saya sekarang dimana, Pak?” tanya Sandi. Dia ingin berterima kasih pada
sahabatnya itu.
“Sebentar
lagi mungkin kesini..Eh, itu dia.”
“Hah?”
Sandi terhenyak melihat siapa yang dimaksud dokter itu. Seorang gadis dengan
bungkusan apel di tangan muncul di pintu.
“Nita?”
“Kamu
sudah sadar, San?” sapa Nita lembut.
Sandi
tergagap. Perasaannya campur aduk. Mengapa harus Nita yang menolongnya, bukan
Joko?
“Saya
melihat kamu dikeroyok. Cepat aku telepon polisi. Saya sudah takut kamu
kenapa-napa. Syukurlah masih tertolong.”
Wajah
Sandi pias. Dia berusaha melarikan wajahnya dari tatapan Nita. Jadi gadis ini
yang menyelamatkan nyawanya?
“Ini
benar temannya, kan?” Pak Dokter heran dengan sikap Sandi.
“I...iya,
Pak. Teman sekolah.” Jawab Sandi tersendat.
Sepeninggal
dokter keheningan mengukung keduanya.
“Maafin
saya, San. Kamu mungkin nggak mengharapkan saya disini. Saya akan pulang. Saya
juga sudah lega kamu sudah sadar...”
“Nita....”
Sandi merasa terhempas. Apalagi yang harus dia sombongkan. Nyatanya selembar
nyawanya telah diselamatkan oleh orang yang selama ini dianggapnya lemah. Masih
berartikah keangkuhannya. Ah, bukan keangkuhan. Tapi kebodohan yang
membutakannya selama ini.
Sandi
menarik nafas menata hatinya yang berkeping. Lalu dia menceritakan semua
perbuatannya pada Nita. Jebakan kotor yang diaturnya dengan Joko. Wajah Nita
sempat memerah. Tapi sejurus sudah teduh kembali. Nita juga punya dugaan
seperti itu. Tapi tanpa bukti siapakah yang akan percaya. Syukurlah sekarang
sudah jelas semuanya.
“Kalau
masih bisa, tolong maafin gue, Nit. Tapi gue nggak maksa. Gue sadar gue salah
besar sama Nita. Bahkan kalo Nita memaki-maki atau ngegampar muka gue, gue
iklas. Malah gue berterima-kasih.” Ucap Sandi melihat Nita terdiam mendengar
pengakuannya. Nita mendesah. Perlahan mengulaskan senyum.
“Terus
terang saya menyesal dengan semua ini. Tapi sudahlah, San. Semua udah terjadi,
syukurlah saya masih kuat menghadapinya. Sudahlah, kita lupain semuanya,” jawab
Nita.
“Makasih,
Nit. Makasih banget. Gue juga minta Nita balik ke sekolah kita. Gue akan
jelasin semua sama Pak Alex. Gue juga akan minta maaf di depan anak-anak pada
Nita dan Lala.
“Nggak
perlu, San.”
“Gue
mohon, Nit. Kalo Nita udah balik gue baru merasa lega. Semua harus tau kalau
Nita itu nggak salah apa-apa. Nama baik Nita harus kita pulihkan. Gue mohon
Nita balik.” Pinta Sandi seraya menggenggam jemari Nita. Wajah Nita jengah. Dia
perlahan menarik tangannya. Sandi tersadar, buru-buru dia melepaskan
pegangannya, lalu menggumankan permohonan maaf.
“Katanya
Cuma teman.”
Sandi
dan Nita serempak menoleh. Pak dokter nampak tersenyum disusul Pak Alex dan
teman-teman lain yang muncul di pintu kamar. Entah apa yang mereka pikir telah
terjadi antara Sandi dan Nita hingga mereka tersenyum-senyum terus menghampiri
keduanya
Dimuat
di majalah aneka yess tahun 2000