Kaca Spion


Kaca Spion
Oleh: Elwin FL Tobing

            Sepeda motor bebek itu terparkir manis di teras rumah. Rendi baru selesai mencucinya; kilap sepeda motor baru itu terpantul ke mana-mana. Rendi memandang hasil pekerjaannya dengan wajah puas. Senyum riang melengkung di bibirnya yang dibercaki busa kit shampo.
            Baru satu minggu sepeda motor itu menjadi milik Rendi. Ayahnya yang pelit, memutuskan memberi sepeda motor itu setelah kaki Rendi, entah kenapa, tiba-tiba keseleo dan membengkak sebesar kaki gajah. Menurut Oppungnya, Rendi tarhirim. Lalu Ibu menanyakan apa yang Rendi inginkan. Sambil tetap menampakkan wajah yang lara dan suara yang dilemas-lemaskan, Rendi meminta sepeda motor. Mendengar itu, Ayah langsung protes. Tarhirim kok sepeda motor? Kan mahal?
            “Ayah juga dulu pernah tarhirim. Tapi tarhirimnya cuma pistol-pistol air.” protes Ayah sangat nyata terlihat keberatan memenuhi permintaan Rendi. Mendengar alasan itu, Rendi semakin menampakkan wajah tersiksa.
            “Itu tahun berapa, Yah? Tahun ayah masih remaja kan pistol-pistol air juga sudah mahal?” bantah Ibu.
            “Tetap saja tidak semahal sepeda motor. Ayo Ren, minta yang lain saja. Ikat kepala naruto kek, atau kostum spiderman. Kan lagi tenar!”
            Busyet! Memangnya anak SD. Sudah sweet seventeen begini, buat apa ikat kepala naruto? Tak ada reaksi Rendi selain berlagak seolah telah berubah dongo. Ilernya sengaja dibiarkan menetes, matanya menatap kosong ke langit-langit rumah. Melihat itu, Ibu jadi kalang kabut.
            “Kalau Ayah tidak mau membelikan, aku juga masih sanggup.” Lalu Ibu membongkar semua perhiasan di lemarinya. Cincin, gelang, anting, dan kalung serta peniti emas. Ibu mengemasnya dalam satu bungkusan dan siap-siap pergi menjualnya.
            “Sudahlah, Bu. Tidak apa-apa Rendi tak punya sepeda motor. Mungkin Ayah lebih suka melihat Rendi sakit dari pada harus keluar uang. Salah Ibu juga, kenapa dulu milih Ayah jadi suami. Kan masih banyak laki-laki jaman ibu yang baik dan sayang sama anak,” ucap Rendi dengan suara mangambang, seolah berasal dari alam lain.
            Merasa terpojok, akhirnya Ayah menyanggupi untuk membeli sepeda motor. Jenisnya bebek 110 cc. Mereknya aneh. Maklum, bukan keluaran Jepang.
            Benar saja. Sejak dibelikan sepeda motor itu, kaki Rendi yang bengkak, cepat sekali mengempes. Apalagi setelah dia mengelus-eluskan kakinya yang sakit itu ke jari-jari sepeda motor. Kakinya merasa sejuk dan dingin. Ya iyalah! Kalau mau panas ke knalpotnyalah , coy, habis jalan jauh.
            Sore nanti Rendi berencana ‘jalan’ sama teman-teman. Rendi sudah pede, karena dia sudah punya sepeda motor sendiri. Selama ini dia sering tidak enak sama kawan yang membonceng dia.
            “Orang lain bonceng cewek, eh aku malah bonceng kau pula,” gerutu kawannya sering.
            “Aku takut dikira homo, Ren. Makanya nggak mau terlalu sering membonceng kau. Naik mopen aja ya” kata kawan yang lain. Terus terang, hari Rendi teriris mendengarnya. Pedih, seperti bumbu rujak terpercik ke mata.
            Syukurlah, lara hatinya akhirnya reda, berganti sorak-sorak bergembira karena sepeda motor sudah punya.
            Matahari masih mampir di balik gedung sekolah dekat rumah ketika Rendi melaju santai dengan sepeda motor barunya. Jalanan lumayan sepi. Beberapa cewek manis duduk-duduk di depan pagar rumahnya curi-curi pandang pada orang yang lewat. Hati Rendi bersiur syahdu. “Kalau mau pergi-pergi bilang Abang ya. Nanti Abang antar,” seru Rendi, tapi dalam hati.
            Sesampai di posko tujuan, Rendi disambut teman-temannya dengan tawa cekikikan. Mulanya Rendi tidak menyadari hawa ejekan yang membungkus tawa itu. Tapi komentar-komentar yang beredar membuat dia curiga.
            “Kau persis tenteku, Ren,” ketawa Tomas.
            “Lebih mirip oppungku mau mengambil uang pensiun,” sambar Sihar sambil geleng-geleng kepala. Lho? Apa yang salah? Rendi ikut tersenyum mendengar olok-olok temannya, sambil matanya berusaha mendeteksi kekurangan yang membuat temannya berucap demikian. Tapi sampai lama dia tidak menemukannya. Sepeda motornya baru dan bersih. Rendi juga tidak pakai rok kembang-kembang sehingga mirip tante-tante; juga tidak pakai seragam veteran yang membuatnya mirip oppung Sihar yang mantan pejuang.
            “Kenapa sih?” tanya Rendi akhirnya. Dia semakin grogi saja mendengar celaan teman-temannya yang semakin sadis dan tumpang tindih.
            “Ya ampun, nggak sadar juga! Tuh kaca spion!’ tunjuk Hardi semakin mengeraskan tawanya. Kaca spion? Kenapa? Kan sudah pas. Dua! Apa lagi?
            Rendi mengedarkan pandang dan baru menyadari sepeda motor teman-temannya tidak ada yang memakai kaca spion. Oh ada! Sepeda motor Andi. Tapi spion berbentuk segi empat itu kecil sekali, dan dipasang di bawah stang. Apa fungsinya?
            “Jadi cowok jangan lugu kali. Kaca spion tinggi-tinggi begitu kau biarkan. Gak sekalian aja cermin lemari kau pajang,” cela Tomas sambil mendorong kepala Rendi.
“Cabut aja kaca spionmu, Ren. Malu-maluin aja kau,” sembur yang lain
            “Penakut.”
            “Pengecut.”
            “Cecurut.”
            Lho!
Rendi jadi enggan gabung dengan teman-temannya. Setiap dia datang, selalu kaca spion sepeda motornya yang jadi bulan-bulanan. Mau mancabut, Rendi merasa rugi. Di tengah arus lalu lintas yang semakin serampangan dengan kecepatan kendaraan yang susah diperkirakan, kaca spion itu sungguh berguna. Dengan menatap sekilas ke sana, dia jadi tahu seperti apa bentuk dan posisi kendaraan yang ada di belakangnya. Angkot yang memburu penumpangkah, atau sepeda motor zig-zag yang dipacu kencang. Bukankah itu sangat membantu respon dirinya untuk menempatkan kendaraan agar tidak tersenggol. Jadi kenapa kaca spion yang sangat menolong itu harus dilepas.
Merek sepeda motornya pun ikut  jadi bahan olok-olok.
“Kayak merek setrikaan ya,” kata Tomas
“Bukan setrikaan. Blender.” Sihar meluruskan.
“Udahlah, kalau nggak tau merek nggak usah banyak komentar. Yang setrika-lah, blender-lah. Bodoh kalian semua,” lerai Hardi. “Kukasih tau ya. Itu merek rautan pensil. Jelas?”
Busyet dah! Tega amat.
Rendi jadi sempat malas tampil dengan sepeda motornya. Tak tahan juga kena olok-olok terus. Tapi ketika dealer menyita Jupiter MX Hardi karena 3 bulan tak bayar cicilan, Rendi sedikit berbangga hati. Tak apalah merek sepeda motornya mirip merek setrika kek, blender kek, rautan pensil kek, yang penting sudah lunas, man!
“Pinjam sepeda motormu, Ren!” pinta Sihar suatu siang.
Rendi heran. “Kau kan bawa sepeda motor?”
            “Nggak ada spionnya. Aku mau ke kota.”
            “Kenapa memangnya kalau ke kota?”
            “Banyak polisi bego.” 
            Lho! 
            Rendi hanya bisa menggeleng melihat Sihar memastikan kaca spion Rendi terpasang kokoh. Memasang helm dengan erat. Setelah itu, barulah dia berani melajukan sepeda motor itu ke arah kota. Sementara sepeda motornya yang tanpa kaca spion di titipkannya pada Rendi. Aneh ya!

0 Responses