Pariban dari Desa (3)


 
Pariban dari Desa
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 3. Bukan Dia yang Kupilih
            Kuping Ester benar-benar muak. Dia tidak tahan lagi mendengar lagu batak yang merinih-rintih dari kamar sebelah yang ditempati Tigor. Dia beranjak membuka pintu kamarnya dan bergegas mengetuk kamar Tigor. Tanpa menunggu ijin dari penghuni kamar, Ester menerobos masuk.
            “Hei! Matiin tuh lagu. Norak tau nggak. Sakit kuping dengarnya!” bentak Ester galak. Tigor yang sedang tengkurap sambil menulis sesuatu, terlonjak kaget. Di rumah hanya ada mereka berdua. Papa, Mama dan Ria sedang ke mal. Kalau tahu rumah kosong begini, mending tadi Ester ikut Maria nge-rujak ke rumah Lea.
            Tigor bangun dan berjalan ke arah compo dvd. Tapi dia tidak mematikan, hanya mengecilkan suara lagu yang mengalun.
            “Aku bilang kan matikan!”
            “Kalau aku tidak mau, kau mau apa?” tanpa diduga, Tigor bereaksi sama kerasnya dengan Ester. Gadis itu tertegun. Gentar melihat kilat tajam di mata Tigor.
            “Kau nggak tau sopan ya. Wajahmu saja yang cantik. Kelakuanmu ternyata lebih kasar dari preman,” tuduh Tigor dengan tatapan tajamnya yang semakin runcing. Sisa kekesalan Ester tertahan di tenggorokan. Kini dia ketakutan. Kalau Tigor hendak mencelakainya, dia akan jadi korban tanpa daya. Tidak mungkin dia mampu melawan kekuatan cowok kampung bertubuh kukuh itu.
Tanpa mampu berucap apapun lagi, Ester berbalik kembali ke kamar. Pintu dikuncinya dari dalam. Pendengarannya dikonsentrasikan ke arah kamar Tigor. Waspada terhadap tindakan lanjutan dari cowok itu. Tapi sampai lama kemudian tidak terdengar gerakan atau suara yang mengancam.
            Dada Ester masih saja bergetar. Dia tidak menyangka sama sekali. Tigor berani membangkang perintahnya. Tidak itu saja. Cowok kampung itu bahkan berhasil memaksa Ester tak berkutik. Siapa sih yang jadi tuan rumah?
            Ester berniat mengadukan sikap kurang ajar Tigor pada Papa, Mama dan Ria. Mereka harus cepat menyadari kalau pemuda yang mereka tampung di rumah itu; yang dikasih makan dan dibiayai sekolahnya, bukan anak baik-baik. Dia anak durhaka. Baru beberapa minggu saja dan belum jadi apa-apa, sudah berani melawan kehendak tuan rumah. Itu tidak boleh dibiarkan Keberadaan Tigor harus segera di tip-ex dari Kartu Keluarga.
            Tapi….. Papa…! Sejak Tigor menambah jumlah bilangan cowok di rumah,  Papa terlihat lebih riang. Papa sudah mulai berani berdebat untuk menonton sepak bola. Padahal sebelumnya, Papa selalu saja pasrah kalau Mama, atau Ester, atau pun juga Ria menukar chanel bola ke sinetron. Kehadiran Tigor juga membuat Papa lebih sering bercanda dan tertawa lepas. Tigor adalah sekutu Papa yang paling dekat saat ini.  
            Ester mendengus kesal. Setiap terngiang kata-kata Tigor tadi, hatinya kembali terbakar. Ingin sekali mengusir pendatang haram itu saat itu juga.
            Ketika Papa dan Mama sudah tiba kembali di rumah, Ester tidak jadi mengadu. Setelah berpikir ulang, dia merasa posisinya justru lemah. Sikapnya memang kasar saat menerobos ke kamar Tigor dan membentak-bentak paribannya itu. Bisa jadi Papa justru menyalahkannya kalau Tigor membeberkan kelakuan Ester yang kurang beradab itu.
***
            “Aku nginap di rumahmu ya, Mar.”
            Maria mendelik. “Malam ini?”
            Ester mengangguk.
            “Tapi ini kan bukan malam minggu. Juga bukan hari libur. Apa kamu diijinin mama kamu?”
            “Cari alasan apa kek ntar.” Keluh Ester dengan wajah nelangsa. Maria geleng-geleng. Kembali menyuapkan bakso ke mulutnya yang mulai kepedasan. Sementara mie  ayam di depan Ester belum terusik sama sekali. Sejak tadi Ester hanya berulang menyeruput teh botol. Sambil tak henti berkeluh kesah mirip ibu-ibu tak kebagian minyak tanah.
            “Masalah paribanmu itu ya?” tanggap Maria. Mendengar pertanyaan itu, Ester mau menangis. Lemas.
            “Sepertinya Papa mau menjodohkan aku sama dia, Mar. Gila kan.” Ratap Ester kembali menyeruput teh botol hingga tandas. Pipet yang menyedot angin berbunyi dengan berisik. Orang-orang di kantin melirik jijik.
            “Heh, norak tau. Minta lagi sana kalau masih kurang,” Maria melotot. Dengan gerakan mengambang Ester meraih fanta di depan Maria. Meneguknya langsung dari botol.
            “Biasa saja, dong! Nggak usah didramatisir kali. Cuma dijodohin ini.” Komentar Maria sebal.
            “Andai dengan Samuel, aku akan menyambutnya dengan sorak-sorak bergembira. Tapi Tigor, si orang hutan itu…”
            “Sssttttt……” Maria memberi isyarat ke arah pintu. Tigor muncul di sana bersama Anto dan Taufik.
            “Horas kawan-kawan!” sapa Tigor dengan logat batak yang masih sekental kecap Asahan.
            “Ya ya.., horas, horas…” sahut entah siapa. Wajah Ester memerah. Manusia gua ini…sudah tiga bulan di kota masih saja pakai sapaan primitif. Horas? Ih…
            “Gimana hasil ulangan kalian?” Tanya Madi dari kelas lain.
            “Matematika yang kemarin maksudmu?” Taufik memastikan. Madi mengangguk.
            “Dapat dua belas.”
            “Nilai kok dua belas. Apaan?”
            “Aku dapat empat, Anto lima, Tigor tiga. Semuanya dua belas?” jelas Taufik.
Madi tergelak. “Hancur kali kalian.”
“Soal-soalnya kurang menantang, Di. Jadinya malas ngerjainnya.” Celetuk Anto. Anak-anak yang mendengar mencibir geli.
“Lagipula matematika itu kebanyakan angka. Harusnya digabung juga sama gambar artis, biar diliatnya enak. Kalo angka saja mataku suka kabur.” Tigor berkomentar semakin ngaco. Tawa mereka meledak terbahak-bahak.
“Eh, Gor! Kalo pariban itu maksudnya gimana?” Taufik bertanya tiba-tiba seraya sudut matanya melirik Ester penuh gangguan.
“Pariban itu ya orang yang berpotensi besar jadi pasangan hidup kita. Iya kan, Gor?” Madi yang menjawab. Sementara Tigor ikut-ikutan melirik ke meja yang ditempati Ester dan Maria. Tatapannya bertemu dengan pandangan tidak suka Ester. Tigor manahan napas.
“Berarti Ester berpotensi besar jadi istrimu dong, Gor. Waow…beruntungnya dirimu, ces. Cantik juga calon istrimu!” sambut Taufik bernada iri. Tigor kembali menatap Ester. Dia jadi tidak enak hati melihat Ester meninggalkan kantin diikuti Maria. Maria kembali berbalik teringat mereka belum membayar makanan.
Saat tiba di kelas Maria mendapati Ester menangis.
“Hei! Kau kenapa?” Maria mendekat.
“Aku nggak mau jadi istri tarzan itu. Tigor sialan!” maki Ester kalap.
“Kalau nggak mau ya nggak usah. Nggak ada paksaan kok.
“Tapi dia paribanku, Mar!”
“Alah..! pariban nggak jelas juga. Bisa ditolak kok.”
“Aku takut kualat, Mar.”
“Apanya yang kualat?” Maria menatap aneh. “Sadar, bu. Ini bukan jaman Sisingamangaraja. Ini era emansipasi. Artinya, wanita berhak milih laki-laki yang dia inginkan jadi suami. Wanita juga bisa menceraikan suami yang udah nggak dia suka. Sadari itu!” tandas Maria provokatif.
Perlahan mendung menyisi dari wajah Ester. Air mata yang sempat menetes diusapnya sampai benar-benar kering. Kalimat tegas yang menghambur dari bibir mungil Maria rupanya begitu besar pengaruhnya. Gang buntu yang menjulang di hati Ester kini menjelma jalan tol bebas hambatan yang lebar dan panjang membebaskan pikirannya yang semrawut.
Dia melirik centil pada Maria. “Berarti aku bisa dong milih Samuel jadi suamiku.”
“Jelas bisa!”
“Asyiiik….. Yes!” Ester kegirangan.
“Kalau dia mau.” Cibir Maria lucu.

bersambung ke bagian 4. 
'Maaf, IQ-nya Sedengkul'

0 Responses