Pilihan
Hardi
Oleh:
Elwin FL
Tobing
Gerimis turun pagi itu. Semakin
melucuti niat Hardi yang sudah kehilangan mood
untuk pergi bekerja. Tempias rintik menerpa wajahnya. Hardi yang sedang
berdiri di pintu rumah bedeng sempit yang dia tempati bersama istri dan tiga
anaknya, undur sambil menepis rambut. Gerimis kian deras menggenangi pinggiran kota Tangerang. Gang
sempit di depan rumahnya kembali basah. Bau busuk meruap dari genangan kotor
tempat pembuangan sampah di ujung gang.
“Ayo, Bang Hardi. Bareng,” ajak Urip
yang menghuni bedeng sebelah. Dia siap menuju pabrik dengan potongan kardus
untuk tudung kepala. Mereka harus berjalan keluar gang sejauh dua puluh meter
untuk mencapai halte. Dari halte, banyak angkot yang akan mengangkut mereka ke
pabrik garmen, tempat mereka mengais rejeki.
“Duluan saja, Mas. Masih ada yang
ditunggu,” alasan Hardi setengah hati. Setelah Urip pergi, Hardi kembali masuk
rumah. Dia semakin kehilangan minat untuk bekerja.
“Kok belum berangkat, Bang?” tegur
Duma. Istrinya yang terlihat kurus itu menunjukkan wajah jengkel. Tangannya
sedikit menyentak ketika membenarkan posisi kepala balitanya yang miring dalam
kain gendongan.
Hardi hanya sekilas melirik pada
istrinya yang gusar menanti jawab. Dengan lesu Hardi melorotkan tubuh ke
lantai. Dingding tripek berderit ketika harus menahan punggung Hardi.
“Abang mau bolos lagi? Mau makan apa
kita, Bang? Bunuh saja kami dari pada harus sengsara menanggung lapar saban
hari. Sudah perusahaan bermasalah, Abang malas-malasan pula kerja. Mau dipecat?
Terus kalau dipecat, kita mau kemana? Bunuh diri sama-sama?” omel Duma dengan
suara serak. Nada pilu ikut mengalir bersama rentetan kata yang meluncur dari
bibirnya yang kering. Lagi-lagi Hardi hanya menoleh sekilas. Setelah itu dia
kembali menatap ke arah lain. Matanya menerawang, tampak sarat dengan aneka pertimbangan
yang membingungkan.
Ketika
masih lajang hingga tujuh tahun lalu, gaji bulanannya lumayan memanjakan. Dia
bisa pergi bersama teman untuk menyegarkan mata ke tempat-tempat yang indah.
Pantai Ancol, Taman Mini, Kebun binatang Ragunan hingga ke Pelabuhan Ratu.
Sekali waktu dia diajak teman satu kerja yang mudik ke Sukabumi, Yogyakarta , Sumenep. Bahkan ke Bali
ikut Wayan cuti. Ketika itu perusahaan garmen tempat kerjanya sedang banjir
order. Hardi dan teman-temannya sering lembur. Tambahan gaji pun kian subur.
Saat ada waktu libur, Hardi bisa lebih royal memanjakan diri dan memuaskan
hasrat hati.
Tujuh tahun lalu dia menikahi Duma,
teman satu kerjanya. Peraturan managemen yang tidak memperbolehkan suami istri
berada dalam satu perusahaan, memaksa Duma mengundurkan diri. Sejak itu, Hardi
merasa gajinya harus diirit. Terlebih setelah anak-anak mereka lahir. Sering
gajinya bertahan hanya sampai pertengahan bulan. Utang mulai tercipta. Tanggal
gajian menjadi hari yang paling memusingkan. Hardi dan istrinya lemas untuk
membagi uang yang tidak seberapa.
Nekat, Hardi mengikuti liukan teman
yang nakal. Barang perusahaan lewat satu-persatu. Dijual pada penadah yang
bertransaksi di tempat-tempat rahasia. Hardi selalu bekerja sendiri. Dia tidak
pernah melibatkan diri pada orang lain. Hardi tidak percaya pada teman
bagaimanapun dekatnya mereka berhubungan. Bagi Hardi, lebih aman bekerja
sendiri. Kalaupun tertangkap ya resiko ditanggung sendiri. Lagi pula, lebih
baik terungkap (kalau memang akan terungkap) oleh diri sendiri dari pada akibat
kecerobohan teman.
Sejak aktif berbisnis ilegal tanpa
setahu istri, hutang Hardi mulai tercicil. Teman-teman kerja sesama ‘pemain’
juga tidak ada yang tahu tangan panjang Hardi yang diam-diam rajin
menggerogoti.
Si tupai yang pandai melompat suatu
kali terjatuh juga. Tupai itu karyawan bagian tehnisi, bukan Hardi. Mereka tiga
orang, tertangkap tangan sedang menjual solar yang rutin didatangkan untuk
kebutuhan genset. Dalam interogasi polisi mereka mengaku telah setahun lebih
menjalankan kecurangan itu. Hardi yang sudah lemas digerogoti ketakutan,
beruntung tak ikut diciduk. Dia lolos karena ketiga tersangka yang sudah
dicecar pertanyaan gencar tak menyebutkan keterlibatannya. Hardi pemain
tunggal. Dan sangat hati-hati dalam menjalankan operasi.
Sejak itu, pengamanan pabrik
diperketat. Sebab hasil interogasi pada ketiga tehnisi itu ternyata menyeret
lagi sebelas karyawan lain. Termasuk dua orang supervisor dan tiga petugas
satpam. Mereka semua diserahkan ke polisi. Juga kehilangan pekerjaan tanpa
pesangon. Para satpam yang tersisa digenjot
agar lebih serius menjalankan tugas. Check body diberlakukan pada semua
jenjang. Dari mulai buruh kontrak hingga manager. Saat mau masuk kerja dan
sebelum meninggalkan tempat tugas.
Gerak Hardi jadi sempit. Satpam yang
rajin berkeliling, mematai semua tempat dengan tatapan dingin. Mereka tak
pernah lagi mau bercanda dengan karyawan lain. Tuntutan keras pihak managemen
yang tidak menginginkan kejadian serupa terulang kembali memaksa para satpam
menjaga jarak dengan kawan terakrab dalam lingkungan pabrik. Padahal kedekatan
dengan petugas yang membuat Hardi gampang meloloskan hasil curiannya selama
ini. Dengan memanfaatkan keseniorannya di lingkungan pabrik, para satpam,
terutama yang masih baru diangkat, segan pada Hardi. Hardi sering keluar masuk
tanpa melapor pada satpam yang bertugas. Tapi sekarang, semua satpam, yang baru
apalagi yang sudah lama, kompak memasang wajah tak terjangkau.
Kesialan berlanjut. Krisis tiba-tiba
menghantam keras. Order berkurang drastis, hingga pihak managemen melepaskan
semua karyawan kontrak. Hardi dan karyawan lain yang berstatus karyawan tetap
diinstruksikan untuk mengurangi jam kerja. Dalam seminggu, mereka hanya kerja
selama tiga hari. Empat hari lagi mereka diharuskan libur. Upah mereka dipotong
hingga setengah dari jumlah total. Karyawan, terutama yang sudah berkeluarga
dan punya anak seperti Hardi menjerit. Protes. Demo. Tanggapan yang diberikan
perusahaan lebih keras. Para pentolan aksi
segera disingkirkan. Hardi berkelit sekuat tenaga. Kukuh menyangkal
keterlibatannya. Keberuntungan masih bersamanya. Dia lolos dari tuduhan makar.
Tapi situasi pabrik sudah tak lagi
kondusif. Suasana kerja diwarnai rasa was-was dan ketegangan. Saling curiga
merebak. Emosi gampang meledak. Terlebih upah yang diterima hanya numpang
lewat, untuk seterusnya parkir di warung dan tangan tetangga yang memberi
utangan. Betapa membuat seluruh karyawan meradang diam-diam. Di belakang,
mereka terus menumpahkan caci-maki pada para petinggi pabrik. Mendenguskan
ancaman pada bagian personalia yang mengincar beberapa dari mereka yang di cap
bandel, untuk disingkirkan. Banyak karyawan yang mencoba peruntungan ke pabrik
lain. Satu dua orang diterima. Entahlah ditempat itu akankah nasib mereka lebih
bermutu. Hardi juga mencoba. Tapi berkas lamarannya ditutup setelah melihat
tahun lahirnya. Hardi sudah ketuaan.
Sebulan yang lalu seorang kenalan
baru mengajak Hardi agar ikut ‘kerjaan’ baru. Tapi detail kerja yang ditawarkan
membuat Hardi keringatan. Dia mengukur nyali. Sebab resiko yang bakal dihadapi
bisa berakibat kematian. Kalau tidak oleh amuk massa , mungkin akibat terjangan peluru
petugas.
“Alah..! Kerja di pabrik juga bisa
mati. Minimal cacat karena tangan atau bagian tubuh yang lain terbabat mesin.”
ucap si kenalan baru menertawakan kecemasan Hardi.
“Beri aku waktu berpikir…” pinta
Hardi berusaha mengecambahkan keberanian. Si teman baru mengangguk. Senyumnya lepas
mengirimkan pesan kalau tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dua hari yang lalu, Hardi berhasil
meredam gundah dan memaksa semua kengerian menyingkir dari pikiran. Anak
istrinya perlu makan. Dia akan menempuh resiko itu. Langkah Hardi lalu mengarah
ke tempat mangkal si teman baru.
Ketika matanya sibur beredar
mencari-cari, kehebohan mengguncang di sekitarnya. Seorang dikejar-kejar oleh
banyak orang kalap. Teriakan “copet” pecah berulang-ulang. Ketika si copet
tertangkap, seketika tubuhnya berlipat goyah menerima hantaman kepalan dari
segala jurusan. Batu dan potongan kayu ikut dihempaskan pada sosoknya yang
sudah rebah dan dibercaki darah di sekujur kepala. Hardi menahan langkah.
Darahnya dingin. Mata berkunang dan jari jemarinya gemetaran hebat. Seketika
nyali yang dihimpun dalam hati, buyar tanpa sisa. Dengan langkah sempoyongan
Hardi berbalik langkah.
“Cara seperti itu terlalu kasar. Ada yang lebih aman, tapi
hasilnya lumayan,” kata Syahril, teman satu pabrik, setelah mendengar cerita
ngeri yang dituturkan Hardi. Hardi dan Syahril beda bagian. Mereka mulai akrab
saat-saat demo beberapa waktu yang lalu. Sikap Syahril yang tidak begitu stres
dengan kondisi pabrik yang payah menimbulkan tanya di hati Hardi. Dari beberapa
perbincangan, Hardi bisa menduga kalau Syahril punya usaha sampingan.
“Maksumu?” Hardi begitu antusias
mengikuti arah pembicaraan. Syahril tersenyum misterius. Dia merogoh dompet.
Dari dalam dompet kumal itu dia mengeluarkan sebuah plastik bening. Isinya
beberapa pil.
“Jual narkoba?” tebak Hardi dengan
dada terguncang. Antara gairah dan kekhawatiran bergumul hebat.
“Aku kerja di pabrik ini cuma
formalitas saja. Gaji dari pabrik tak ada apa-apanya dibanding keuntungan
bisnis ini. Dan semakin lama peminat barang beginian semakin banyak. Kita tidak
usah takut kekurangan pasar seperti produk garmen,” Syahril mencibir ke arah bangunan pabrik.
Tapi sejak pembicaraan terakhir
mereka, Syahril menghilang. Ada
yang bilang dia sakit. Yang lain berkata dia cuti pulang kampung. Desas-desus
lain menghembuskan kabar Syahril berada di kantor polisi. Hardi frustrasi.
Semangatnya habis. Bahkan untuk sekedar melangkahkan kaki ke pabrik dia sudah
jijik. Pabrik hanya tahu mengekploitasi tenaganya selama belasan tahun tanpa
imbalan yang memadai.
“Kita pulang kampung,” cetus Hardi
spontan ketika Duma melintas di depannya. Entah tidak mendengar atau masih
memendam kesal, Duma berlalu tanpa menanggapi. Tapi wajah Hardi terlihat lebih
ringan. Solusi yang timbul tiba-tiba di pikirannya seperti pintu yang tiba-tiba
terbuka ketika pikirannya dihadang dinding kukuh persoalan hidup. Pulang
kampung… ya, seingat Hardi hidup di kampung tidak serumit di kota . Dari pada lebih lama hidup di kota besar dengan hati tak
pernah tenang. Lebih baik bertani dan beternak di desa. Hari-hari yang akan
dilalui mungkin tidak serumit sekarang. Mudah-mudahan.
Sitarealaman,
Mei 2009