Dendam Cinta



Dendam Cinta
Oleh: Elwin FL Tobing

            Lanjar tak memperlambah laju keretanya. Jopan yang mengira kawannya itu akan parkir ke lapo, seketika berteriak, “Hoi… mau ke mana? Minum dulu segelas.”  Sambil mengacungkan gelas tuaknya ke arah Lanjar. Tapi pemuda kurus itu hanya melelehkan senyum patah tanpa mengurangi kecepatan. Empat ekor anak anjing yang ribut menyalakinya juga tak digubris.
            Setelah memarkir keretanya di bawah pohon pepaya depan rumah, Lanjar melangkah gontai ke dalam rumah. Ibu tampak berbincang santai dengan Inanguda Dame di dapur. Melihat kemunculan Lanjar, Inanguda Dame serempak melempar senyum.
            “Beruntung kalilah nasibmu, Njar.” Kerling mata Inanguda Dame sumringah. Walau sudah tahu arah kalimat Inanguda Dame, tak urung mulut Lanjar mencetus tanya.
            “Beruntung kenapa, Inanguda?”
            Tebakan Lanjar benar, “Sebentar lagi Si Novi sarjana. Aku dengar namanya juga sudah masuk dalam pengangkatan PNS. Sungguh enak kalilah hidupmu nanti.”
            Wajah Lanjar mengeras. Diam-diam menggigit bibir dengan hati geram.
            “Sudahlah! Apa lagi yang kau tunggu. Segeralah lamar dia.” Sambung Inanguda Dame dengan kerling yang semakin mengganggu.
            “Tidak tahu maunya orang muda sekarang. Entah apa yang ditunggu-tunggu,” timpal Ibu dengan suara sarat harapan. Dada Lanjar sesak. Dia tidak kuasa menatap raut Ibu. Dengan hanya menggantungkan senyum tanpa makna melamur wajahnya, Lanjar meninggalkan dapur. Dua keponakannya sedang berebut remote televisi di ruang tengah. Lanjar malas sekali untuk melerai. Dia berbelok ke kamar dan menghempaskan tubuhnya di kasur tipis. Di layar hp, tak ada pesan atau panggilan masuk. Dia membuka folder pesan terkirim. Sudah lima jam sejak dia mengirimkan sms. Tapi belum ada balasan dari Novi. Lanjar menelan ludah yang terasa pekat. Dia mengirimkan sms susulan. Menunggu satu jam dengan sia-sia.
Lanjar resah menimbang harga diri. Kalau dia menelepon, akan sangat kentara kelemahannya. Novi tentu semakin jumawa. Merasa diri dewi yang bertahta di puncak langit.
            Entah sadar atau tidak, nomor Novi terpencet. Berdebar dada Lanjar menunggu hp di seberang sana diangkat oleh yang punya. Getaran di dadanya melemah seiring bunyi tulalit yang terdengar belakangan. Lanjar memencet ulang. Tapi belum lagi tersambung, dia sudah memutus. Rasanya, harga dirinya protes keras. Tidak pantas dia menghambakan diri begitu rupa.
            Dari arah dapur terdengar sayup suara Ibu. Kuping Lanjar mencermati monolog ibu. Cerita manis saat beliau dirawat di rumah sakit. Tentang Novi yang dengan sabar dan penuh kasih ikut menjaga Ibu selama di opname. Entah sudah berapa kali Ibu mengulang cerita itu. Entah siapa saja yang sudah mendengar kisah itu darinya. Dulu Lanjar bangga. Dadanya menbuncah kalau mendengar Ibu mengisahkan bakti pacar terkasihnya itu. Sekarang…..  Lanjar sendiri hampir tidak mempercayai cerita itu pernahkah terjadi?
            Tanpa mandi atau sekedar cuci muka untuk membuang keringat yang mengeras di wajahnya, Lanjar melajukan sepeda motor tuanya ke sembarang arah. Matanya menebar. Berharap menangkap bayangan Novi di satu titik pandangnya. Terkadang kupingnya seperti mendengar seseorang menyeru nama gadis itu. Atau suara gadis itu yang terbawa angin memanggil Lanjar dengan penuh damba. Tapi ternyata semua hanya permainan angin yang gaib. Sepanjang jalan yang telah dia jelajah, sosok Novi tak pernah nyata. Pikiran Lanjar kian kusut dan pengap.
            “Sekiranya ada yang lebih baik dari Adek, Adek ihklas.” Terngiang selarik kalimat yang menyabet hati Lanjar, dua hari yang lalu di teras rumah Novi. Lama dia tercengang. Menatap si gadis dengan hati retak. Tak ada gelagat lain dari Lanjar selama ini. Dia tetap mencinta Novi dengan kadar yang semakin mengkristal. Keraguan yang kerap timbul dulu, lunas terhapus ketika dia melihat Novi dengan sabar menyuapi Ibu di ranjang rumah sakit. Sejak itu, hati Lanjar kian mantap memilih Novi. Apalagi ketika tercetus ucapan Ibu yang mengaku bahwa kesembuhannya dipercepat oleh perawatan Novi. Hati pemuda mana yang tidak terharu mendengar ungkapan sesyahdu itu dari mulut Ibu tentang calon menantu?
            Sungguh menyentak ketika Lanjar menerima larik kalimat tajam tadi.
            Novi telah berubah. Sejak kuliahnya mendekati wisuda. Ketika namanya masuk data base pangangkatan PNS di tempatnya mengajar.
            “Apa karena aku hanya lulusan SMA?” rintih Lanjar pada Berta, teman Novi yang selama ini jadi tempat curhat Lanjar.
            “Aku nggak tau, Bang. Kelihatannya Novi juga sedang bingung.” Itu jawaban  Berta.
            Lanjar tidak kalah bingungnya. Novi semakin susah dijangkau. Sms menumpuk tak satu pun bersahut. Telepon berulang tak juga diangkat. Bila  Lanjar mendatangi ke rumah, beragam alasan  Novi untuk segera menyudahi pertemuan. Tidak lebih lima menit, sua mereka pun bubar. Lanjar merasa dia baru saja bertemu dengan seorang menteri perempuan yang angkuh. Bukan Novi, gadis yang kerap menceritakan mimpi-mimpi indahnya sambil menyandarkan kepala di bahu Lanjar, di waktu yang telah terlewat. Novi tak pernah lagi menyinggung hal-hal seperti itu. Pertemuan yang hanya lima menit penuh dengan cerita tentang kesibukannya mempersiapkan segala berkas yang diperlukan untuk jadi PNS. Juga cita-citanya yang melangit kalau sudah wisuda nanti.
            “Aku ingin ngambil S2. Nikah nanti-nanti saja, kalau sudah mapan.” Bebernya dengan dada tegak tanpa menoleh sama sekali pada Lanjar. Tatapannya diarahkan ke tempat yang jauh, tempat dimana cita-citanya tercantum.
            “Berapa tahun lagi rencanamu menikah?” tanya Lanjar hampa.
            “Lima atau enam tahun lagilah. Kalau hidup sudah mapan. Jadi hidup rumah tangga akan berjalan lancar.”
            Lanjar tersenyum pahit sekali. Dia menghitung usia. Lima tahun lagi umurnya sudah 40. Ah!
            Diam-diam melirik Novi. Coba mendeteksi seberapa jauh kebenaran kalimatnya tadi. Bukankah umur gadis itu juga tidak muda lagi. Sekarang sudah 28. Usia yang sudah matang bagi seorang perempuan untuk berumah tangga. Oh iya! Mapan. Bukankah itu tadi yang ingin diraihnya duluan? Dan apa ukuran kemapanan itu?
            Apapun itu, Lanjar merasa dia bukan orang yang bisa mewujudkannya bagi Novi. Beberapa bulan terakhir, standar gadis itu mencuat lebih tinggi. Sejak dia akan wisuda. Sejak namanya masuk data base pengangkatan PNS. Kesederhanaannya hilang. Dia sekarang begitu rajin menyambangi kota untuk berbelanja pakaian. Semakin cocok dengan makanan cepat saji ala luar negeri. Hp dengan layar lebar yang nyaman dipakai untuk facebook-an. Bisa jadi, seleranya terhadap laki-laki pun sudah beralih ke pria metropolitan.
            Lanjar berhenti di warung tenda penjual bandrek yang baru buka. Sore mulai remang. Sebagian pengendara yang melintas sudah menyalakan lampu kendaraannya. Lanjar duduk di bangku kedai. Memesan segelas bandrek susu. Matanya dipejam. Dia berusaha keras menyabar-nyabarkan hati yang geram.
            Lanjar membujuk hati agar ihklas mengakhiri cerita di hati. Berkali dia memohon ke arah langit mengharap cucuran ketabahan melimpahi dirinya. Tapi malah hunjaman perih yang kian bertubi mencederai. Mulut Lanjar serasa empedu ketika dia mendegut. Wajahnya pias. Hatinya menangis pilu. Sungguh sakit rasanya jadi orang yang tersingkir.
***
            Hp di saku Lanjar bergetar. Sebuah nomor tidak dikenal tertera di layar. Ragu-ragu dia mendekatkan hp itu ke telinganya, “Halow?”
            “Bang Lanjar?” sergap sebuah suara menderu panik di telinganya.
            “Iya! Ini siapa?”
            “Ini Berta, Bang! Novi sedang di rumah sakit, dia korban tabrak lari. Abang bisa ke sini.” Terburu-buru suara gadis itu. Panik seolah tengah dijepit oleh waktu yang sempit.
            “Aku masih kerja....” alasan Lanjar.
“Dia mungkin tak bisa bertahan, Bang! Aku bingung bagaimana cara memberitahu keluarganya. Tolong, Bang, segeralah datang.”
            Belum mati? Lanjar berdebar. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat.
“Bang, Bang Lanjar!”
“Iya iya… Aku ke sana…” hubungan terputus. Sunyi. Hanya gemericik air di sungai kecil itu memercik-mercik pendengaran. Lanjar kembali meneliti bemper mobil yang direntalnya. Tak ada lagi bekas darah. Dia juga yakin tidak ada orang yang sempat mencatat nomor polisinya. Walau begitu, gemuruh di dadanya semakin tak terkendali. Lanjar jadi ingin bunuh diri.
Siantar, Maret 2010

~dimuat di harian Medan Bisnis, 2mei2010
   
           
              

0 Responses