Angkot Tua Berwarna Cinta


Angkot Tua Berwarna Cinta
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 1. Siang Paling Sial
            Ninja merah itu bergoyang-goyang. Larinya tersentak-sentak. Sebentar melesat kencang. Tiba-tiba pelan. Lalu menyentak keras dan menderum sempoyongan. Beberapa pengemudi terpaksa menepi dan memaki. Tapi si pengendara ninja balas memaki dengan bahasa yang lebih kasar. Setelah itu, dia kembali menuding-nudingkan telunjuk kirinya ke gadis yang ada di boncengan. Sumpah serapah kasar terlontar keras dari mulutnya. Si gadis membalas dengan tak kalah kasar. Ninja berlari menghentak-hentak. Kedua penumpang di atasnya tak peduli. Mereka terus bertengkar hebat. Suara mereka yang berbalut emosi tinggi mencabik-cabik udara yang sedang dibakar terik.
Orang yang menyaksikan peristiwa itu ternganga keheranan. Seorang ibu setengah baya menjerit ngeri ketika sepeda motor besar itu hampir tertubruk truk sampah. Dua pria yang berdiri di depan kedai rokok menunjuk kepada pengendara ninja sambil meneriaki: gila! Para pengendara yang berpapasan dengan ninja mabuk itu berseru-seru kaget. Lalu memaki-maki. Ninja tak peduli. Larinya tetap tak beraturan..
Tiba-tiba ninja itu mengerem mendadak di tengah jalan. Pengemudi sedan di belakangnya terkejut dan membanting setir untuk menghindari tabrakan. Kendaraan lain yang menyusul di belakang berlaku serupa. Jerit klakson yang spontan di pencet karena kaget sambut menyambut memekakkan telinga. Para pengendara memaki-maki. Tapi pengendara ninja tak peduli.
“Turun!” bentak si pengendara keras sekali. Gadis di boncengan mendelik, tersinggung.
“Turun dari keretaku, cepat. Cewek macam kau tidak pantas naik kereta bagus. Noh, naik becak barang itu saja,” betul-betul penghinaan. Si gadis pun melompat ke aspal dengan wajah menyala marah. Si pengendara ninja menyeringai puas. Dengan kasar dia menggeber tunggangannya dan melesat meninggalkan si gadis di tengah siliweran kendaraan. Orang yang melihat tak henti berseru dan mengegeleng-geleng. Tak habis pikir melihat tingkah gila sepasang remaja itu.
Din Diiiiiiiinnn…klakson menjerit-jerit menyuruh si gadis ke tepi.
“Hei cewek gila! Minggir kau.”
“Kau pikir kau sudah cantik kali, pake mejeng di tengah jalan siang-siang. Longor...”
“Wah ‘pemain’ mungkin. Angkat saja,” seringai seorang pemuda berwajah mesum pada kawannya. Lalu taruna abu-abu mereka mendekat. Pemuda di belakang kemudi menyolek lengan gadis itu. “Ayo naik, Dek,” ajaknya genit sambil mengedipkan mata. Tak disangka gadis itu meradang.
“Kau pikir aku cewek apaan hah?’ tangan mungil si gadis melayang deras. Buru-buru pengemudi taruna itu melengos dan berlalu. Kawan si sampingnya tergelak-gelak. Si gadis berusaha mengejar sambil tak henti memaki-maki.
Seseorang entah siapa melempar gadis itu dengan botol aqua yang masih berisi setengah. Gadis itu meraung dan berbalik mencari orang yang melemparnya. Tapi timpukan segala macam benda lebih banyak menerpa tubuhnya. Kotak tissue, sandal jepit, minuman kotak, tupperware hingga potongan brownis bertubi-tubi menghantam si gadis. Wajah dan pakaiannya kotor belepotan sisa minuman kotak dan pecahan kue. Kejengkelan para pengendara kendaraan itu rupanya sudah tak tertahankan. Laju mereka jadi terhambat gara-gara keberadaan di gadis yang mutara-mutar tak tentu arah di tengah jalan.
Si gadis akhirnya tak tahan menerima lemparan. Sekilas dia melihat angkot yang melintasi rumahnya. Dia melompat ke dalam. Mengatupkan kedua tangan ke wajah dan menangis sesenggukan. Dia baru menyadari betapa terhina dirinya. Ditinggalkan di tengah jalan di siang yang membakar. Dimaki-maki dengan kasar dan direndahkan seolah dia gadis jalang yang kesasar. Dan Rizki, cowok kurang ajar itu. Apa yang telah dia lakukan? Meninggalkannya di tengah jalan setelah puas memuntahkan sumpah serapah yang menyakitkan. Si gadis makin sesenggukan di dalam angkot yang melaju pelan. Para penumpang saling pandang. Sopir beberapa kali menjenguk ke belakang. Entah apa yang dipikirkannya tentang penumpangnya yang acak-acakan itu. Angkot terus melaju. Membelok ke jalan kecil komplek perumahan. Gadis itu membuka wajahnya. Tampak air mata berlinang membasahi pipinya. Kedua tangan tak henti menyeka kiri kanan. Tapi cucuran air matanya tak juga berkurang.
“Pinggir.pinggiiiiirrr…” tiba-tiba gadis itu menjerit. Sopir angkot menghentak pedal rel tiba-tiba. Penumpang lain berseru kaget. Kepala berantukan satu dengan yang lain. Dengan kasar si gadis menyeruak lewat lutut-lutut yang nyaris bersentuhan dari masing-masing barisan bangku penumpang. Setiba di pintu dia melompat dan berlari menggapai pagar sebuah rumah. Jangankan bayar ongkos. Melirik pada sopir pun sama sekali tidak. Sopir dan penumpang angkot yang lain ternganga. Beberapa orang masih mengusap-usap kepala yang berdenyut. Sopir menarik napas lalu menghembuskannya dengan berat. Dua ribu rupiah melayang lagi. Padahal tadi sudah keluar uang untuk menambal ban yang melindas paku. Si sopir berusaha menekan kecewa dan amarah. Perlahan dia menjalankan kendaraannya. Para penumpang riuh mempercakapkan kejadian yang mereka alami barusan.
“Heh… ada hape.” Seseorang menunjuk ke bekas bangku yang ditinggalkan si gadis. “Mungkin punya gadis stress itu.”
“Kasih saja sama sopir. Biar dia yang mengembalikan,” saran yang lain.
“Tidak usah dikembalikan. Hitung ongkos saja,” suara lain menimpali diiringi tawa kecil.
Sementara si gadis telah membanting pintu kamarnya. Blam..!!
“Lho! Imah..ada apa?” Mama yang baru masuk dari pintu samping terkejut. Dia memburu putrinya ke kamar. Tapi Imah, nama gadis itu, mengunci pintu dari dalam.
“Imah, buka pintunya. Kenapa kau menangis? Ada apa, Nak?” Mama menggedor, “Imah, buka pintunya, Nak. Biarkan Mama masuk,”
“Rizki, Ma, hu u u   ….” Hanya itu balasan Imah dari dalam. Setelah itu hanya suara tangis yang terdengar menyayat-nyayat.
“Rizki kenapa? Bilang sama Mama, Sayang,” bujuk Mama penuh nada khawatir. Tapi hanya tangis Imah yang jadi jawaban. Pintu tak juga terbuka. Mama panik. Berbagai pikiran buruk menyerbu. Dugaan-dugaan jelek hadir tumpang tindih. Mencengkeram hatinya dengan ketakutan. Dia terus menggedor. .
“Sayang…ijinkan Mama masuk. Buka pintunya, Nak,”
“Imah ingin sendiri, Ma. Imah tidak akan buka pintu,” sahut Imah dengan suara tercekik-cekik. Terdengar derit ranjang. Lalu langkah Imah menapak tergesa. Sesuatu seperti direnggut dari dinding dekat pintu. Lalu suara kaca terdengar menghantam lantai. Pyaarrrr…
“Mampus kau, Brengsek,” teriak Imah menyusul gelegar kaca yang berantakan di kakinya. Disusul cepat dengan suara benda-benda lain menghantam dinding dan ranjang tidur. Imah mengamuk membabi buta di dalam kamar.
“Imah, Imah..! Aduh, kenapa kau. Sayang? Buka pintunya…” Mama panik. Dia mulai menangis mendengar jeritan histeris Imah dan gedubrakan aneka benda yang dilempar dan dibanting dengan liar.
Mama bergegas meraih ponsel dan menelepon suaminya, “Pa, Imah, Pa…”
“Imah kenapa?” suara berat bertanya dari seberang. Dengan tergesa, Mama menceritakan apa yang didengarnya dari dalam kamar putri tunggalnya.
“Anak itu memang tidak ada jeranya. Sudah dilarang pacaran dengan laki-laki liar model si Rizki, tapi tetap bandel. Akibatnya jadi begini, kan?”
“Pulanglah, Pa. Mama takut terjadi apa-apa.”
“Iya! Papa pulang segera. Pastikan mama masih mendengar tangis Imah, atau suara pecahan benda-benda di kamarnya.”
“Lho, kok?”
“Iya, Ma. Kalau kamar itu sunyi, takutnya Imah sudah bunuh diri,”
“Hah?” Mama shock. Tanpa memperdulikan hp-nya yang entah meluncur ke mana, Mama memburu ke kamar putrinya, “Imaaaaahhh…, jangan bunuh diri, Naaaakkk…!!” disusul suara meja dan kursi yang terjengkang sebagai korban tabrak lari Mama yang panik luar biasa.

bersambung ke Bagian 2
" HP Yang Hilang"



0 Responses