Angkot Tua Berwarna Cinta
Oleh:
Elwin FL
Tobing
Bagian 2. HP yang Hilang
Pagi yang kacau. Imah berkacak
pinggang. Isi kamarnya nampak berhamburan. Padahal baru kemarin sore Bi Darmi,
tukang cuci mereka, kerja keras di situ. Menyapu dan memunguti sisa pecahan
kaca dari frame yang berisi foto jelek Rizki. Mengumpulkan serpihan-serpihan
gitar pemberian Rizki yang hancur berkeping. Hamburan busa boneka
ikan....pokoknya semua benda pemberian Rizki menemui ajalnya secara tragis sore
itu.
Kali ini Imah kembali mengacak-acak
isi kamarnya untuk menemukan hp mungil yang terselip entah di mana. Keringat
menetes di jidatnya. Wajahnya mendengus kesal. Sudah semua sudut kamar dia
cari. Berkali-kali menyurukkan kepala ke kolong ranjang. Membuka lipatan baju
helai demi helai, tumpukan buku…..di mana hp jelek itu? Otak Imah berputar.
Menduga-duga. Menapak ulang setiap peristiwa. Astaga…! Ketinggalan di angkot,
pekik hati Imah tersengat. Kemungkinan besar memang di situ. Soalnya, seingat
Imah, dia masih menggenggam hp itu ketika melompat dari sepeda motor Rizki.
Mungkin dia tak sadar meletakkannya di bangku angkot ketika dia memerlukan
kedua tangannya untuk menyeka air matanya yang bercucuran.
Imah membuka pintu kamar dan
sempoyongan menuju telepon di ruang tengah.
“Selamat pagii, Tante. Mayanya ada?”
sapa Imah pada orang di seberang.
“Ini Imah ya? Sebentar ya Mah. Dia
lagi ke depan, beli sarapan,”
“Iya Tante. Tidak usah dimatikan,
biar saya tunggu saja,”
Terdengar suara kresek sebentar
ketika Mama Maya meletakkan hp putrinya. Imah menunggu dengan gelisah.
Pikirannya melayang pada hp miliknya. Perasaannya kuat menduga kalau hp itu
memang tercecer di dalam angkot. Imah berusaha mengingat ciri-ciri angkot yang
membawanya. Tapi dia hanya bisa mengingat kalau angkot itu sebuah angkot tua.
Jok nya keras karena busanya yang sudah tipis. Tapi berapa banyak angkot tua
yang melewati pemukiman mereka. Bahkan yang langganan mogok di jalan juga
banyak. Yang mana angkot yang pembawa kabur hp-nya?
“Hei kurus, ada apa telepon
pagi-pagi. Ke mana hp-mu, kok pakai nomor rumah? Kehabisan pulsa ya, kasihan
amat kau jadi orang. Hp keren tapi pulsa tidak punya,” cerocos suara bawel yang
tiba-tiba memberondong telinga Imah.
“Cerewet! Beli sarapan di mana sih?
Lama kali!” Imah balas menghardik. Gadis di seberang tergelak. “Penjualnya
ganteng, Mah. Jadi aku luangkan waktu sebentar untuk menatap-natap,” sahutnya
genit.
“Dasar kampungan! Selera murahan.
Masa tukang nasi gurih yang kamu taksir. Norak!”
“Ganteng, Mah. Rio
saja lewat. Mubazir kan
kalau dicuekin hehe…Eh, ada apa telepon pagi-pagi?”
“Aku tidak masuk hari ini, May.
Bilang sama Pur ya?”
“Kenapa tidak masuk. Mau ke bidan
ya?”
“Untuk apa ke bidan?”
“Periksa! Siapa tahu sudah jadi.”
“Eeh gila. Dasar otak mesum kau.”
Maya kembali tergelak-gelak keras,
memaksa Imah menjauhkan telinga dari gagang telepon. Habis gema tawa Maya sama
sekali tidak enak didengar. Persis lengkingan tawa nenek sihir yang mendapat
hadiah sapu terbang baru dari kakek sihir hi hi..
“Sudah ya May. Aku mau tiduran lagi.
Kepalaku pusing.” Imah bersiap meletakkan gagang telepon. Tapi jeritan Maya
mengurungkan niatnya.
“Hei tunggu! Kau belum jawab
pertanyaanku. Mana hp-mu? Benar habis pulsa? Ih, amit-a…”
“Hilang di angkot,” lalu Imah curhat
panjang kali lebar pada sobatnya itu. Tapi Maya bukannya prihatin. Dia malah
tak henti tertawa, walau sumbang. Apalagi ketika Imah menceritakan tentang
lemparan orang-orang saat dia diturunkan Rizki di tengah jalan. Tawa Maya makin
keras dan makin sumbang.
“Kau kok ketawa-ketawa sih? Kawan tertimpa malapetaka malah girang. Sudah
gilanya kau?” protes Imah.
“Alah! Kau kan
suka kena musibah begitu. Kalau tidak, mana mungkin kau masih pacaran sama
Rizki. Kau kan
sudah lama tahu dia itu psikopat. Cowok sok ganteng, kasar, egois…”
“Iya aku salah, aku ngaku. Aku terlalu memuja ketampanannya. Lagi pula
dia anak pejabat, May. Siapa yang tidak bangga jadi pacarnya,”
“Kau sendiri saja yang bangga. Kalau aku, tidak bakalan bangga
sedikitpun. Mendingan aku pacaran sama tukang nasi gurih. Dari pada jadian sama
cowok tampan dan anak pejabat kaya tapi hati berulat.”
“Memangnya nangka busuk bisa berulat. Sudah, ah.” kuping Imah mulai panas
mendengar celoteh teman akrabnya. Dia belum sanggup menerima tambahan sindiran
dan nasehat sekarang. Nasehat dari Papa dan Mama yang semalam saja masih
menumpuk.
“Sudah ya! Jangan lupa bilang sama Pur aku tidak masuk. Tapi tak usah kau
cerita semua. Bilang saja aku sakit. Awas kau!”
hari ini ada rapat redaksi bulletin kampus, dimana Imah duduk sebagai
anggota redaksi. Pur bisa mendiamkannya kalau dia mangkir lagi tanpa
pemberitahuan.
“Kau telepon sendiri kenapa?” tolak Maya.
“Hp-ku kan
hilang, O’on. Aku tidak tahu nomor dia. Memangnya kau ada simpan?”
Maya menggeleng. Tapi mana kelihatan dari rumah Imah?
“Ada
tidak?” tuntut Imah galak.
“Tidak ada. Ya ampun, galak amat sih,” Maya yang menyadari kekeliruannya
menjawab dengan suara, tidak lagi menggeleng-geleng.
“Baik. Instruksi dari komandan cukup sekian. Bubar!” tanpa menunggu
reaksi Maya, Imah langsung menutup telepon.
Imah beranjak ke teras depan. Matanya melayang ke arah jalan. Yang mana
ya angkot kemarin? Dia sibuk membatin. Berusaha keras mengumpulkan data tentang
angkot tua….tapi hanya itu yang bisa dia ingat. Angkot tua. Tak lebih. Wajah
sopirnya mana dia tahu? Ongkos saja nembak.
Imah menghempas napas. Mungkin dia
harus memasrahkan hp itu. Kecil kemungkinan bakal kembali. Jangankan hp. Sikat
giginya saja pernah tercecer, eh, diambil juga sama maling sikat gigi. Apalagi
hp.
Semua ini gara-gara Rizki keparat!
Cowok itu memang aneh! Gila! Masa
hanya gara-gara menemukan foto Koko di ponselnya, cowok itu mengamuk membabi
buta. Dia menuduh Imah selingkuh. Setelah Rizki memrotes foto itu, sebenarnya
Imah langsung menghapusnya. Bukan Imah yang sengaja menyimpannya. Tapi foto itu
hasil jepretan Koko sendiri dan tersimpan tak sengaja, ketika dia meminjam hp
Imah untuk sms seseorang. Tapi Rizki tetap meradang. Dia bahkan melontarkan
kata-kata keji yang menyakitkan hati.
“Jadi cewek jangan gampangan kali.
Jaga martabat lah!” lontar Rizki dengan tatap merendahkan. Kuping Imah langsung
matang mendengarnya.
“Apa maksudmu. Apa hubungannya foto
itu dengan martabatku rupanya?” sergah Imah emosi.
“Kau kan sudah punya aku. Buat apa kau
simpan-simpan lagi foto orang? Mau mengoleksi cowok ya? Binal amat?!” cibir
Rizki sambil membuang ludah ke samping. Tanpa dapat dicegah, pertengkaran hebat
meledak. Imah tidak terima dikatain binal. Memangnya dia berbuat apa? Melacur? Kan tidak?
Pertengkaran itu berlanjut hingga di
atas sepeda motor yang melaju tak beraturan. Masih untung mereka tidak menabrak
atau ditabrak. Dan puncaknya, Rizki memaksanya turun di tengah keramaian lalu
lintas. Lalu meninggalkannya begitu saja. Benar-benar penghinaan yang parah.
Rasa-rasanya, Imah tak bisa lagi memberi maaf pada cowok gila itu. Biarlah tak
usah jadi menantu pejabat. Mungkin dia harus mempertimbangkan pendapat Maya.
Mencari tukang nasi gurih untuk dijadikan pacar. Hidup sederhana, tak punya
apa-apa tapi kaya cinta, kata lirik lagu slank. Tiba-tiba bayangan Bang Tando,
tukang lontong bertubuh buntal yang jualan di Kandang Besar, melintas di
benaknya. Seketika Imah bergidik. Ih,
nggak deh!
Siang hari, Imah mengecek saldo
tabungannya di atm dekat rumah. Hm…krisis! Tak cukup untuk mengganti hp yang
hilang itu. Tapi kalau untuk beli hp yang sekedar telepon dan sms plus game
menyusun kotak-kotak, kayaknya bisa. Tapi, masa sih pakai hp model begitu? Basi
kali! Apa kata dunia kalau Imah yang fashionable
tiba-tiba muncul dengan hp yang bersuara
mirip sempritan tukang parkir? Oh, no!
Tak ada jalan lain. Dalam hal ini, Papa dan Mama harus menunjukkan
tanggung jawabnya sebagai orang tua yang sanggup memenuhi kebutuhan putrinya
yang cantik.
Saat Imah mengatur langkah mendekati
Mama yang sedang membantu Bi Darmi menjemur pakaian di halaman samping, sebuah
angkot berhenti di depan pagar. Sopirnya turun. Lalu melongok ke pintu depan
yang setengah terbuka. Dia tersenyum mengangguk ketika melihat sosok Imah
menguakkan pintu.
“Cari siapa ya?” Bi Darmi
menghampiri ke pintu pagar. Sopir itu mengangguk ramah pada Bi Darmi, lalu
mengalihkan tatapannya ke Imah....
“Adek itu kayaknya meninggalkan hp
ini di angkot saya.”
Imah hampir melompat saking
senangnya, “Iya, Bang. Dari pagi saya cari-cari hp itu, sampai saya tak kuliah.
Terima kasih ya, Bang,”
Sopir itu tersenyum menganggukkan
kepala sambil menyerahkan hp itu ke tangan Imah. Saat berbalik ingin pulang,
Mama mencegahnya. Sopir itu dipersilahkan masuk. Bi Darmi bergegas ke dapur
menyediakan minum. Sementara Imah mendekap hp-nya seolah takut lepas lagi. Hp
itu diciuminya berulang-ulang. Si hp tentu saja senang mendapat peluk cium dari
gadis cantik. Tapi dia diam saja. Namanya hp, mana bisa apa-apa, iya kan?