Nai Arta


Nai Arta
Oleh: Elwin FL Tobing
Nai Arta masih memberi makan babi peliharaannya. Sepasang hewan jinak itu dengan lahap mendecap-decapkan mulutnya ke palakka (tempat makan babi yang terbuat dari kayu). Perut babi betina tampak menggelembung berat. Wajah Nai Arta berbinar. Tangannya yang belepotan dedak kembali meraup campuran daun ubi rambat, dedak dan ampas yang sudah dihangatkan. Dengan menggunakan sendok yang terbuat dari tempurung kelapa, campuran itu dituangkannya ke palakka. Babi gemuk itu mendengus girang. Decapnya semakin bersemangat. Binar di wajah Nai Arta juga kian rekah.
Sambil menggaruk-garuk punggung hewan itu, mata Nai Arta seolah sudah melihat banyak babi mungil ikut bersantap di palakka. Mungkin delapan atau sembilan ekor. Mungil-mungil dan gemuk sehat. Mereka saling dorong, berebutan mencecap makanan yang masih berbuih hangat. Nai Arta akan semakin repot menyediakan makanan untuk kawanan itu. Dia mungkin terpaksa membeli daun ubi jalar dari Nai Risdon. Membeli dedak dari penggilingan padi Ama Ambolas, juga ampas. Tak apalah. Yang penting ternaknya bisa tumbuh sehat dengan tubuh yang gempal padat. Lagi pula, kopi sigarar utang yang tumbuh di samping rumah sudah mulai berbuah. Nai Arta akan memiliki uang untuk membeli daun ubi rambat, dedak dan mudah-mudahan cukup untuk ampas paling sedikit selama tiga bulan. Setelah anak-anak babi itu berumur tiga bulan, Nai Arta akan menjualnya. Tahun lalu dia menjual tujuh ekor anak babi berusia tiga bulan. Harganya 400 ribu per ekor. Dengan uang itu Nai Arta bisa melunasi tunggakan keperluan sekolah lima anaknya.
Ah! Tidak terbayangkan seandainya Nai Arta tidak memiliki ternak ini. Entah apa yang akan terjadi dengan anak-anaknya. Bisa jadi studi mereka berguguran di tengah jalan. Pada akhirnya mereka tetap jadi generasi susah seperti Nai Arta dan suaminya. Tinggal di rumah peninggalan yang sudah reyot, tanpa penerangan listrik.
Tapi Nai Arta tidak terlalu mengharap listrik. Perhatiannya lebih dicurahkan pada pendidikan anak-anaknya. Dia ingin mereka menjadi ‘orang’. Mungkin tidak semua. Tiga atau empat orang pun sudah membahagiakannya. Selama ini Nai Arta melihat putra sulungnya serta yang nomor tiga dan si bungsu memperlihatkan prestasi yang menonjol.
Si sulung selalu juara satu di kelasnya sejak SD hingga sekarang duduk di SMA kelas tiga. Begitu juga putra yang nomor tiga. Walau bukan juara pertama, tapi dia selalu masuk lima besar. Prestasi yang lebih jitu ditunjukkan putri bungsu. Masih kelas satu SD. Tapi dia sudah lancar membaca dan perkalian satu sampai sepuluh. Sebuah kemampuan yang langka dimiliki oleh anak seumurannya di desa Sitarealaman. Banyak orang tua yang memuji kepintaran putri bungsu itu.
Buncah dada Nai Arta setiap prestasi anak-anaknya mendapat pujian dari tetangga. Semangatnya semakin berlipat. Kurang panjang rasanya hari. Dia ingin lebih lama lagi di ladang memperluas lahan ubi jalar, atau berkutat di kebun kopi. Nai Arta tidak ingin kurangnya biaya mengganggu konsntrasi anak-anaknya. Mereka harus fokus pada pelajaran. Jangan sampai anak-anaknya meresahkan wajah masam guru karena bayaran yang belum lunas.
Nai Arta mendorong potongan seng bekas di atas kandang agar hangat matahari pagi menerpa pasangan babi yang sedang menanti kelahiran anak-anaknya itu. Kembali mata Nai Arta melirik perut betina yang mengembang. Menerka isinya. Mungkin sepuluh ekor, harap Nai Arta sambil melepas senyum puas. Seusai menyiram kandang hingga bersih dari kotoran dan sisa makanan babi, Nai Arta bergegas ke rumah.
Di kamar, selimut tipis dan tikar dua lapis yang setiap malam menjadi perlengkapan tidur mereka terserak tak beraturan. Rupanya suaminya sudah bangun. Setelah membereskan tempat tidur, Nai Arta makan pagi. Nasi hangat beraroma wangi, sayur daun ubi tumbuk dan ikan kepala batu yang dibakar. Rampung makan dan mempersiapkan perbekalan, Nai Arta membawa gegas langkahnya menuju ladang. Si Hitam, anjing peliharaan mereka menjadi pengawal setia. Terdengar sumpah serapah suaminya entah pada siapa ketika Nai Arta melewati lapo tuak Nai Ganda. Nai Arta mengabaikan. Dia terus melangkah.
Sinar matahari leluasa membakar siang. Nai Arta melepaskan saong-saongnya (kain penutup kepala). Saong-saong dari kain sarung itu dibentangkannya melintang di atas tubuh Ama Arta. Sekitar dua jam yang lalu, suaminya itu menyusul ke ladang. Setelah bosan memancing di lubuk dekat dangau tanpa mendapat ikan seekor pun, Ama Arta menelusupkan tubuhnya di antara rindang kopi dan tidur. Saong-saong yang ditangkupkan Nai Arta di atas tubuhnya menambah deras gemuruh dengkur laki-laki berangasan itu.
Ama Arta baru terbangun setelah Nai Arta rampung memetik kopi. Kodok sawah mulai ramai memperdengarkan suara, mengabarkan petang yang semakin memburam. Tapi pekerjaan Nai Arta belumlah purna. Dia masih harus mengumpulkan reranting kering dari pinggir hutan. Kayu bakar di rumah tinggal serpihan. Kalau tidak membawa pulang kayu bakar sore ini mereka sekeluarga tak akan bisa memasak. Sempat terlintas pikiran untuk meminta suaminya. Tapi cepat diurungkan. Setelah siuman dari tidur mendengkur, suaminya kembali sibuk menata pancing. Tak bisa digugat kalau Ama Arta hendak menunaikan hobbinya itu.
Dengan menenteng parang yang rompal di bagian depan, Nai Arta meniti pinggir hutan. Dengan sigap matanya mendeteksi tempat jatuhan ranting-ranting masak. Parang rompalnya bekerja. Memilah ranting yang bagus sebagai kayu bakar dan membersihkannya dari sisa daun kering atau tungkul menjuntai. Serangga-serangga berlarian ketika Nai Arta mengacak-acak habitatnya.
Semburat merah sudah berubah kelam ketika Nai Arta beranjak dari dangau. Kepalanya menjinjing seikat kayu bakar. Di bahunya tersampir tas dari kain berisi kopi yang tadi dipetiknya. Sebagian lagi terpaksa ditinggalkan karena terlalu berat. Besok pagi-pagi sekali akan dia suruh anaknya untuk mengambilkan kopi yang tertinggal di dangau itu.
Jalan yang terjal memaksa kakinya melangkah hati-hati. Dia tidak ingin kejadian dua bulan yang lalu terulang. Jejaknya meleset hingga dia terpeleset. Kayu bakar yang dijinjing di kepala jatuh berdebam menimpa lehernya. Tas kainnya lepas dan kopi didalamnya tumpah berserakan. Tiga kali dia mendatangi tempat praktek urut Oppu Saudur untuk mengembalikan jaringan otot dan tulang di pundaknya yang salah jalur.
Derit jangkrik bertempik ketika langkah Nai Arta menjejak di pinggir desa. Sepotong bulan muda menyembul dari lereng gunung Dolok Martimbang. Ketika lewat dari depan lapo tuak Nai Ganda, terdengar celoteh suaminya dengan suara yang mulai serak. Entah sejak kapan dia tiba di sana. Entah sudah berapa gelas tuak yang telah melintas tenggorokannya. Nai Arta tak terlalu memikirkan. Dia ingin cepat sampai di rumah. Kepala dan pundaknya sudah kesemutan menghela muatan yang terasa kian berat.
Redup lampu teplok mengerdip dari dalam rumah. Nai Arta melihat sekilas Arta dan si bungsu Saurma duduk di bawah cahaya lampu menghadap buku. Ah, dua putri Nai Arta ini memang teramat ngotot belajar. Bahkan kalau ikut ke ladang pun tak pernah lupa menyelipkan buku pelajaran. Di sela-sela istirahat sambil makan ubi rebus, buku itu dibuka-buka dan ditelaah. Tak heran prestasi keduanya selalu cemerlang. Desah lelah Nai Arta pun seketika lenyap. Kekuatan baru selalu muncul setiap melihat anak-anaknya yang gigih belajar untuk mewujudkan impian.
“Babi sudah makan, Ingot?”
“Sudah, Mak,” sahut anak keduanya yang sedang sibuk mencacah daun ubi jalar di belakang rumah berlampukan sinar bulan.
“Jadi untuk apa lagi kau cacah itu?”
“Untuk besok pagi, Mak. Takutnya tidak sempat. Besok aku piket di sekolah,” kata siswa kelas satu SMAN Tarutung itu.
“Kalau sudah siap, panggil adik-adikmu makan ya,” Tiur dan Sorta, anak ke empat dan ke lima Nai Arta selalu harus dipanggil pulang dari menonton tipi di kedai Nai Jamot. Setelah selesai mencuci piring dan mengangkat air dari pancur di pinggir desa yang menjadi tugasnya, kedua bocah centil itu selalu menyempatkan menonton tipi. Lalu pada saat makan malam, mereka riuh menceritakan isi layar kaca yang sempat di tontonnya. Terkadang sampai berdiri dari tikar pandan, alas mereka makan, hanya untuk memperagakan adegan yang cukup menarik hati bocah itu. Nai Arta menyimpul senyum. Betapa hatinya merekah hangat berada di tengah anak-anaknya yang beragam tingkah polah itu.
Malam benar-benar padam. Lapo tuak Nai Ganda senyap dari genjrengan gitar dan raungan lagu para parmitu. Anak-anak Nai Arta telah lelap mengembara bersama mimpi. Mata Nai Arta juga telah berat. Setelah menyelesaikan tambalan robek di rok SD Tiur, Nai Arta ingin tidur. Rok yang sudah kembali utuh itu disampirkannya di dinding papan. Sesaat dia menjenguk ke luar. Belum terlihat tanda-tanda suaminya pulang ke rumah.
Tapi belum lagi kesadaran Nai Arta hilang dalam dengkur, terdengar derit pintu depan. Suaminya pulang.
“Babi yang di belakang hampir beranak lagi ya?” kata suaminya seraya merebahkan tubuh di sisi Nai Arta. Napasnya yang berbau tuak pekat seketika mencemari udara sekitar. “Nanti hasil penjualannya mau saya pakai untuk kredit sepeda motor,”
Menyentak terbelalak mata Nai Arta.
“Uang itu untuk biaya Arta mendaftar kuliah nanti,” protesnya panik.
“Beli sepeda motor saja dulu. Nanti dicari lagi untuk biaya kuliah. Lagi pula kan masih lama dia mendaftar,”
Dicari dari mana lagi? Anak-anak pinahan itu satu-satunya harapan Nai Arta. Hasil kopi yang tak seberapa bidang hanya cukup untuk makan sehari-hari. Baru pada saat libur sekolah nanti, Nai Arta berencana mengerahkan anak-anaknya untuk memperluas kebun itu.
Nai Arta meraih lampu teplok di dinding dan mendekatkannya ke kalender bergambar pemandangan gunung bersalju. Menghitung jarak ke bulan enam, bulan lulusnya Arta dari SMA. Kurang dari delapan bulan lagi. Tidak mungkin pinahannya sudah beranak lagi di rentang waktu itu. Nai Arta mengeluh. Berbalik ingin menyela maksud suaminya. Tapi Ama Arta sudah gugur dalam dengkur. Nai Arta tak cukup nyali untuk membangunkan. Akhirnya dia hanya bisa duduk termenung. Menatap wajah anak-anaknya yang lelap berserak di ruang tengah. Ketika tatapannya menjangkau Arta, Nai Arta merasakan dadanya megap. Hingga kokok ayam yang nekat menyelinap di gigil subuh, mata Nai Arta tak lagi bisa terkatup.
Siantar, Juni 2010
~dimuat di harian Medan Bisnis, 18juli’2010


0 Responses