Air
Mata Aisyah
Oleh:
Elwin FL
Tobing
Tidak biasanya Aisyah jadi pendiam.
Gadis cilik berusia sembilan tahun itu biasanya selalu ceria, lincah dan banyak
bicara.
“Kalau tidak kuat tidak usah
dipaksa, Sah.” Demikian Pak Burhan mendengar saran istrinya suatu siang. Tak
terdengar jawaban Aisyah. Gadis kecil itu memang terlalu bersemangat ikut puasa
sehari penuh. Walau ibunya telah menerangkan bahwa anak kecil tak apa-apa puasa
setengah hari, tapi Aisyah tak bergeming. Bahkan Aisyah selalu ikut membantu
ibunya memasak untuk sahur. Dengan wajah yang ceria dan penuh semangat Aisyah
cekatan menjalankan petunjuk ibunya. Sepertinya bukan beratnya puasa yang
meredupkan keceriaan gadis cilik itu.
Apa karena ibunya belum membelikan baju lebaran.
Bu Burhan memang belum bisa membelikan baju lebaran untuk putri sulungnya
itu. Uang simpanan yang rencananya untuk membeli baju sudah terpakai biaya
berobat Fandi, adik Aisyah yang demam dan batuk-batuk selama satu minggu ini.
Untung saja panas badan Fandi sudah berkurang. Kalau tidak, entah dari mana
lagi mereka mencari uang. Penghasilan Pak Burhan dari menarik becak selama ini
lebih sering cukup dari pada lebih. Tepatnya, dicukup-cukupkan Bu Burhan.
Pantas Aisyah cemberut saja. Bisa
jadi anak itu iri melihat kawan-kawannya yang bangga menceritakan baju lebaran
yang dibeli orang tua masing-masing. Pak Burhan mendengus. Dasar anak-anak.
Tidak mau mengerti kesulitan orang tua, gerutunya dalam hati.
Setelah mereguk sisa teh manisnya, Pak
Burhan beranjak menuju beca dayungnya.
“Bu, aku berangkat ya!” pamitnya
pada sang istri.
Pak Burhan mengayuh becaknya
menyusuri lorong-lorong kota
untuk mencari penumpang. Beberapa kawan seprofesinya tampak bersandar lunglai
di atas becak yang diparkirkan di pinggir jalan. Maklum! Hawa puasa dan kurang
tidur membuat mereka gampang lemas.
Lain dengan Pak Burhan yang tidak
puasa.
Dari dulu bapak muda itu memang jarang puasa di bulan Ramadhan. Entah
tidak kuat atau tidak niat kurang tahu juga. Mungkin agar dia bisa tahan mengayuh
becak ke sana
ke mari di tengah panas terik. Sementara disaat yang sama rekan-rekannya yang
lain jadi lebih lamban dan malas akibat deraan haus dan lapar. Tidak heran
kalau selama masa puasa penghasilan Pak Burhan lebih banyak dari biasanya. Paling-paling
saingan dia hanya Pak Madjid.
Orangtua setengah baya itu memang tangguh. Puasanya tidak pernah bolong.
Tapi staminanya juga tidak jadi kendor. Senyum dan sapa ramah tak pernah lepas
dari wajahnya yang digarisi keriput.
“Pak Madjid kok bisa tetap kuat
walau puasa, Pak?” pernah Pak Burhan bertanya. Dia penasaran dengan ketahanan
lelaki tua itu.
“Semua kan tergantung niat, juga pengenalan diri, Pak
Burhan.” Kata Pak Madjid diiringi senyum. “Kalau kita sudah berniat bulat untuk
menjalani ibadah puasa, insya Allah semua lancar,”
Pak Burhan nyengir. Bukan itu
jawaban yang ditunggunya. Dia mengharapkan jawaban semisal: “Aku makan telur
ayam setengah masak setiap sahur,” atau, :”Aku rajin minum bandrek campur telur
bebek”. Itu lebih masuk akal bagi Pak Burhan.
“Lalu pengenalan diri yang Bapak
bilang tadi maksudnya apa? Jelas dong setiap kita kenal diri kita. Bagaimana
sih bapak ini,” kata Pak Burhan lagi setengah berolok-olok.
Pak Madjid menggeleng. “Tidak semua
orang mengenal dirinya sendiri,” ujarnya prihatin. “Kalau tiap orang kenal
dirinya yang banyak dilumuri dosa, tentu kedatangan bulan Ramadhan ini akan
jadi kebahagiaan besar bagi mereka. Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah
dan ampunan. Allah menjanjikan pengampunan bagi setiap dosa yang pernah kita
perbuat, tak perduli sebesar dan seberat apapun. Tiba fajar satu Syawal, maka
orang yang sungguh menjalankan puasa akan lahir fitri kembali. Bersih dan suci
tanpa noda dosa. Bukankah itu berkah yang tiada ternilai Pak Burhan?”
Pak Burhan mengangguk-angguk sekedar
untuk menghargai. Entahlah! Bagi dia, urusan dosa tak begitu terpikirkan.
Energinya habis tercurah untuk mendayung becak dan mencari tempak yang ‘berisi’
di tengah persaingan yang semakin sengit. Pak Burhan bahkan tidak yakin apa dia
mengerti apa itu dosa dan akibat apa yang bisa ditimbulkannya. Karena dia tidak
mengerti apa itu dosa, buat apa repot-repot menyiksa diri berpuasa agar si dosa
lepas dari dirinya? Belum cukupkah Ramadhan ini menambah kesusahan hidupnya dengan
naiknya harga-harga kebutuhan rumah tangga. Bahkan Aisyah telah merajuk karena
belum memiliki baju lebaran.
Pembicaraan itu terputus karena
seorang gadis meminta jasa becak Pak Madjid. Dengan ramah Pak Madjid
menyanggupi dan berlalu dengan becaknya di belokan jalan. Pembicaraan itu pun
menguap dari kepala Pak Burhan. Matanya segera sibuk berputar ke sana ke mari mencari
penumpang.
“Aisyah tidak mau sekolah, Pak!”
lapor Bu Burhan pagi itu. Pak Burhan yang sedang sarapan nasi goreng mendongakkan
wajah.
“Ada apa lagi anak itu. Aneh-aneh saja
kelakuannya.” Omel Pak Burhan kesal.
“Katanya dia malu diejek
kawan-kawannya.”
“Diejek kenapa? Karena belum punya
baju lebaran?” Pak Burhan semakin gusar. Dia bangkit menuju dapur. Aisyah duduk
di sudut dapur dengan wajah ditekuk dan jari mungilnya meremas-remas baju yang
dipakainya. Pak Burhan mendengus menahan marah.
“Kenapa tidak mau sekolah, Sah?”
Gadis kecil itu memajukan bibir
mungilnya. Wajahnya tambah dalam menekuk, merajuk.
“Isah malu, Yah.” Ucapnya lirih takut-takut melirik ayahnya.
“Malu kenapa. Karena belum punya
baju lebaran?”
Aisyah menggeleng kuat-kuat.
“Jadi karena apa? Ayo sana pergi, sudah siang.
Bapak juga harus segera narik.” Bentak Pak Burhan dengan kegusaran menjulang.
“Isah malu diejek kawan-kawan, Yah.
Mereka sering lihat Ayah makan di kedai. Ayah nggak puasa, padahal Ayah kan sudah besar.” Ucap Aisyah
serak. Wajah polosnya terlihat menahan tangis.
“Kata mereka kalau Ayah meninggal akan masuk neraka. Akan terbakar, akan disiksa
setan. Bapak akan kesakitan terus menerus di neraka. Isah tidak mau. Isah
kasihan kalau Ayah disiksa di neraka,” tangis Aisyah tiba-tiba pecah. Pak Burhan
tercekat. Sejenak dia batuk-batuk salah tingkah.
“Nggak apa-apa Isah nggak dibelikan baju baru, Yah, asal Ayah mau puasa.
Isah sayang sama ayah, Isah nggak mau Ayah ke neraka”
Pak Burhan jadi risih. Sok tahu kali anak-anak kecil itu, rutuknya dalam
hati.
“Kenapa Ayah tidak mau puasa, Yah? Ayah orang lain puasanya semua,” tanya
Aisyah dengan tatapan duka.
Pak Burhan tergagap. Hatinya retak melihat tangis dan air mata yang
mengucur deras di mata putrinya. Dada Pak Burhan sesak mendengar jerit hati
gadis kecilnya. Ternyata bukan baju lebaran yang diidamkan Aisyah. Putri kecil
itu hanya tidak ingin ayahnya terbakar di neraka. Ternyata kelakuan ayahnya
sendiri yang merampas keceriaan dan kelincahan gadis cilik itu.
Dengan berusaha menyembunyikan isaknya Aisyah bangkit mengganti baju
dengan seragam sekolah SD. Tangisnya tak jua berhenti. Pasti hati polosnya
begitu terluka melihat ayahnya yang hanya diam menanggapi kecemasannya.
Masih dengan cucuran air mata, Aisyah meraih tangan Pak Burhan dan
menciumnya takjim, “Isah pergi sekolah Yah. Isah sayang Ayah,” lalu dia
melangkahkan kaki kecilnya, membawa serta sedu-sedannya ke sekolah. Pak Burhan
gugup melihat bahu putrinya tak henti diguncang tangis. ‘Isah sayang ayah’.
Kata-kata serak putrinya itu terngiang-ngiang di telinganya, merembes ke hati,
melumerkan sesuatu yang mengeras di sana.
“Isaa..ah,” panggil Pak Burhan menghentikan langkah Aisyah yang sudah
sampai di ujung gang. Dengan rasa sayang yang tiba-tiba meluap Pak Burhan
mendekati Aisyah. Tersenyum padanya. Menghapus air mata dari pipi bersih
putrinya. Lalu tubuh Aisyah dipeluknya penuh rasa haru.
Ketika Pak Burhan merasakan tangan anaknya balas memeluk dirinya dengan
erat, hatinya semakin hancur. Air mata Pak Burhan meluruh tumpah bersama
penyesalan yang mencabik-cabik hati.
Dimuat di harian analisa, 2sept’2009