Aliran dalam Cerpen

Obrolan Pagi dengan Gerson Poyk

Oleh : Fanny J. Poyk



Seperti biasa, jika bapak ke rumahku, dia kusodorkan beragam pertanyaan tentang apa saja, mulai dari sastra, kehidupan sehari-hari, politik hingga bisnis kecil-kecilan. Tapi karena kami selalu sepaham, maka obrolan tentang sastralah yang selalu menjadi topik utama dari setiap percakapan. Pagi ini, tape perekam sudah kusodorkan di hadapannya.

Sambil mempersiapkan sarapan pagi untuknya, tape itu kutaruh tepat di sisi kanan wajahnya. Sebagai jurnalis, tape itu sudah menjadi ‘teman setia’ yang banyak membantu pekerjaanku. Dia menjadi saksi sejarah di kala aku mewawancarai tokoh-tokoh penting dari dunia pendidikan, seniman, artis, tukang sayur, tukang becak, pengamen dan anak jalanan. Dia juga menjadi alat ampuh tatkala aku memperoleh proyek untuk menulis biografi, kisah inspiratif, novel pesanan dan aha…yang terakhir sebagai ghost writers. Dan pagi ini, tape mungilku yang tak pernah kenal lelah itu kugunakan untuk mewawancarai bapakku tentang aliran-aliran dalam cerpen. Mungkin ini kurang ilmiah dan kurang mendalam, masih sebatas kulitnya saja, tapi kuharap obrolan ini bisa menjadi sedikit masukan yang berguna bagi siapa saja yang mau membaca dan memahaminya. Inilah hasilnya…


Cerpen Naturalisme/Realisme bercampur Sains

Dalam membuat sebuah cerpen menurut bapak (mengambil dari pendapat Mohtar Lubis) ada peristiwa sambung-menyambung (everyday). Seorang pengarang cerpen bisa saja secara tiba-tiba didatangi/dipengaruhi sensasi absurd pada klimaks cerpen yang dibuatnya. Setelah itu dia akan membuat antiklimaks dari karyanya, dan itu merupakan penyelesaian dari penemuan yang sensasional dalam kisah yang dikarangnya. Misalnya, dalam kisah itu, si tokoh bertemu dengan pelacur tiga jaman yang hidupnya tergantung pada dunia pelacuran, tokoh itu merasa iba ketika melihat mantan pelacur itu memberi minum seorang bayi asuhannya dengan susu botol bersama seekor kucing secara bergantian. Klimaksnya ia menasehati si mantan pelacur dengan mengatakan bahwa tindakannya itu tidak baik, karena bisa membahayakan si bayi sebab pada lendir kucing yang menempel di tempat untuk menyedot susu, itu banyak mengandung bakteri. Sensasi absurd dari kisah yang dibuatnya adalah tatkala si tokoh memberi mantan pelacur itu beberapa lembar ratusan ribu rupiah sebelum ia pulang dan berkata, “Ambilah uang ini untuk membeli susu bayi itu, belikan juga ia botol susu yang baru, jangan memberi minum bayi bergantian dengan kucing itu, karena bisa saja si bayi terserang disentri atau penyakit lainnya!” Itulah antiklimaks dari cerpen dengan gaya naturalis. Namun banyak kisah yang bisa dibuat dengan memakai gaya ini asal penulisannya logis dan masuk di akal. “Kita jangan menulis matahari pagi muncul di sebelah barat, itu tidak logis. Itu naturalisme yang salah! Naturalis juga bisa dicampur dengan sains, seperti penyakit disentri dan sebagainya. Yang pasti, si pengarang tahu kalau manusia minum bersama binatang tidak sehat, karena dalam tubuh binatang bisa saja terkandung enzim-enzim yang bisa berkembang biak menjadi penyakit.” jelas bapak.

Cerpen Simbolis

Cerpen yang bersifat simbolisme menurut bapak, ada makna kenyataan hidup sehari-hari, setelah itu baru terdapat makna simbolik, makna yang berisikan lukisan tentang kenyataan hidup secara simbolis, bukan kenyataan sesungguhnya, akan tetapi hanya khayali semata. Pada kisah simbolis bisa saja ada rantai pengalaman jurnalistik, akan tetapi dapat pula disambung dengan rantai khayalan yang menggunakan sistim dialektika; di mana ada these, antithese, sinthese. These, misalnya seorang suami mempertahankan pendapatnya berdasarkan pengalaman dan penelitian. Si suami bilang ke isterinya, “Kamu jangan keras kepala pada saya. Kemudian antithesenya, si isteri melawan dan mengatakan these suaminya salah. maka akhirnya mereka bertengkar, pertengkaran ini terus menerus terjadi, kadang mereka berdamai, kadang bertengkar lagi. Mulai dari these, berubah menjadi antithese dan selanjutnya menjadi synthese kembali, begitu seterusnya. Jadi, hubungan these, anthitese, synthtese itu terus-menerus tak ada akhirnya. Keadaan ini lambat laun menjadi sebuah kehidupan yang simbolis.”

Seperti yang sudah disebutkan di atas, cerpen simbolis bisa kait mengait antara pengalaman jurnalistik ditambah dengan khalayan. Hubungan ini akan menjadi sebuah simbol, seperti orang membuat kalung ada kait mengkait dari bahan yang pertama, kedua dan seterusnya, hingga membentuk sebuah rantai. Namun demikian, cerpen simbolis bisa juga memakai gaya naturalisme dan makna atau peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya tetap dipakai.

Akan tetapi, jika dalam cerpen simbolis lebih banyak memasukkan unsur jurnalisme, di mana di dalamnya lebih menggambarkan tempat-tempat kejadian, maka cerpen itu bukan lagi cerpen simbolis, namun lebih ke peristiwa jurnalistik, yang terdiri dari unsure 5 W dan 1 H. Kesimpulannya, cerpen simbolik itu berisi kisah/peristiwa yang memiliki rantai peristiwa yang sambung-menyambung. Namun, apabila kisah jurnalisitik itu dikombinasikan dengan imajinasi dan berbagai hal lainnya yang ada di benak si pengarang, maka kisah itu pada akhirnya akan menjadi sebuah simbol seperti halnya simbol gelang atau kalung yang bisa menambah daya pikat seorang wanita. “Contohnya seperti karya NH Dini, ia menyebutkan nama kota hanya dengan kata S saja, namun cerita itu berjalan, dari S ke sini, naik kapal ini atau kapal itu. Dan itu rantai peristiwa. Tapi kalau tempat digambarkan terlalu banyak, maka cerpen itu hanya akan menjadi sebuah laporan jurnalistik.” Terang bapak.

Penekanan pada Konflik

Cerpen simbolis tidak perlu melukiskan tempat terlalu detail, misalnya, Bali, Jakarta, Singapura, Amerika atau di mana pun, yang lebih ditekankan adalah konfliknya. Misalnya synthese berubah kembali menjadi these, lalu muncul antithese dan kembali lagi ke synthese, begitu seterusnya. “Di sini saya tekankan, konflik-konfilk dalam cerpen itu terus-menerus seperti sambungan sebuah kalung. Kehidupan seseorang bisa digambarkan dalam sebuah rantai dialektika yang ada dalam ketiga unsur tadi.”

Sastra Ide


Cerpen dalam sastra Ide merupakan cerpen yang hanya berisi ide-ide saja. Si pengarang hanya menuliskan ide-idenya. Namun demikian, pada cerpen ini unsur filsafat banyak terdapat di dalamnya. Cerpen seperti ini tidak perlu jalan cerita, tidak perlu struktur cerita, cerita seenaknya mengalir dari pemikiran si pengarang yang ada cuma stream of conciousness (alur kesadaran). Jadi si penulis berfilsafat terus, dari alinea satu ke alinea lainnya terus menerus berisi pemikirannya, penggambaran tokoh tidak begitu penting. Pengarang sastra ide yang cukup terkenal bernama James Joyce, pada karya-karyanya ia ngoceh apa saja sesuka hatinya.

Teater Ide

Sebagai tambahan, jika ada cerpen dengan aliran sastra ide, maka ada pula teater ide. Pada teater ide permainan watak tokoh-tokohnya tidak begitu penting. Isinya bisa beragam ide, misalnya tentang bagaimana mengatasi pengangguran, lalu dia maki-maki pemerintah dan sebagainya. Bermain-main dengan kata pada intinya hanya permainan ide di filsafat saja. Dalam karyanya pengarang bisa terus berceloteh semaunya. Contohnya, “saya tidak minta untuk dilahirkan, kenapa saya ada di sini?” Penulis teater ide yang terkenal adalah Albert Camus. Bisa dibilang penulis teater ide ini sangat tergila-gila pada ide. Namun demikian, seorang pengarang prosa lirik pun kerap menggunakan sastra ide, dia berfilsafat saja di karya-karyanya. Sastra ide juga perlahan-lahan akan berubah menjadi ekspresionisme apabila karyanya diekspresikan.

Sejarah Pemikiran Sastra

Dalam sejarah pemikrian sastra, ada beberapa masa, salah satunya masa klasik, pada masa itu seorang pengarang terobsesi dengan segala hal yang indah, seperti kagum pada keindahan patung-patung Yunani, hal ini sangat rasional, sehingga akhirnya terbentuk menjadi rasional klasik. Setelah orang bosan dengan rasionalisme klasik, datanglah masa romantisme (agama perasaan), bosan dengan romatisme datang lagi aliran realisme. Setelah itu muncul realisme bercampur dengan naturalisme, kemudian ekspresionisme dan selanjutnya ke sastra absurd. Keadaan itu terus berputar seperti roda. “Semua masa itu bagus, ini adalah perjalanan jiwa zaman di mana seperti sekarang, di Indonesia tiba-tiba timbul konfigurasi agama, yang didahulukan agama. Contoh lain, di Jepang, konfigurasi agama hilang, yang muncul industri dan perdagangan, jadi masa yang ada berpindah-pindah. Begitu juga dalam kesenian, klasik, romantik, idealisme, sastra ide, ekspresionisme (menghambur-hamburkan perasaan), lalu pindah ke sastra absurd, dan begitu seterusnya. Seorang pengarang bagusnya menguasai kelima-limanya. Kalau kita lagi senang dengan idealisme atau sastra ide, kita akan menulis tentang filsafat melulu. Sedangkan jika kita kita menulis tentang naturalisme, kita akan memasukkan ilmu alam, ilmu jiwa, sosiologi masuk, dll. Dan begitu seterusnya.” Jelas bapak.

Etos, Pathos, Logos

Bapak menambahkan, untuk menjadi pengarang, penulis, maupun intelektual, bagusnya satu tahun membaca tiga ratus buku, namun jika buku itu sulit untuk dipahami, dalam setahun harus dibaca tiga ratus kali agar hafal dan selalu ingat. “Seorang anggota DPR itu, apakah dia sudah mengenal John Locke, Descartes, Kant, Mao Tze Tung, Gandhi, dll? Kalau sudah itu bagus, sebab kalau mau menjadi pemimpin mereka harus tahu semua pemikiran tokoh-tokoh itu. Kalau tidak, mereka musti memiliki staf ahli yang siap memberi masukan ilmu. Tapi yang penting, pada para pemimpin di negeri ini paling tidak harus memiliki logos, pathos dan ethos (akal, perasaan/iba jika rakyat menderita dia harus menderita, sengsaramu adalah sengsaraku). Tuhan itu Pathos. Kita tidak mengenal Tuhan sebagai Noumenon akan tetapi Dia menjadi Fenoumenon, sehingga kita bahwa tahu Tuhan itu memiliki Pathos yang tinggi. Sedangkan ethos atau watak kerja harus ada dalam diri seorang pemimpin, pemimpin harus memiliki watak kerja yang baik. Ketiga unsur itulah yang harus dipegang. Jika tidak, maka akan memble semua.

Mudah-mudahan tulisan ini cukup bermanfaat dan ada gunanya...

0 Responses