Anakkonhi Do Hamoraon Di au?



                Melihat apa yang terjadi di huta nami terhadap anak-anak, hati saya terenyuh. MEREKA KEHILANGAN KASIH SAYANG KETIKA BERTUMBUH BESAR. Bukan karena mereka jadi yatim piatu. Bukan! Mangolu dope bapak dohot umakna, dan masih sehat, kuat bekerja. Tapi anak-anak yang masih SD dan SMP itu menderita busung kasih (ai aha muse do istilahkon?)
            Nahudokkon disi, saat anak-anak itu mulai menapaki bangku SD kelas satu, mereka telah diserahi tanggung jawab untuk ambil bagian dalam pekerjaan rumah. Sebelum berangkat ke sekolah, mereka disuruh mencuci piring terlebih dahulu, atau menyapu halaman, manapu jabu, manjomur abit, mangalele manuk na msuk tu jabu.....
            Ops...jangan salah paham dulu. Pasti sebagian pembaca langsung menukas, “Bah, ai aha huroa sala ni. Haru i denggan ma da songoni. Mulai gelleng nga marsiajar karejo. Jadi haduan molo dung muli dang muruhan ni simatuana be....” hahaha....mangararati komentari.
            Gue, eh, bereng ma ne, nga sollop hata jakarta, otapan nama na manotton ftv on bah. Sotung hona bura iba, pateal-tealhon ninna halak. Tauduti majo muse...Saya setuju kalau anak, sejak kecil diajari bekerja dan bertanggung-jawab. Yang menjadi keprihatinan saya adalah, bahwa pekerjaan yang diberikan  pada anak, entah itu masih SD dan SMP (ima namanussi piring, manapu jabu dohot mangalelei manuk nakkin), selanjutnya menjadi penugasan yang wajib dikerjakan. Kelalaian dalam menyelesaikan pekerjaan itu berakibat sanksi. Tugas harus diselesaikan atau dibentak/ dimaki bahkan kena gotil dan pastap2.
            Layakkah seorang anak yang melalaikan pekerjaan di rumah yang menjadi tugasnya mendapat sanksi bentak, cubit dan tamparan?
            Saya sedih bahwa anak-anak di huta nami seolah jadi karyawan dan orang tua adalah mandor/ pengawas yang tegas. Kewajiban si anak adalah menyelesaikan tugasnya dan kewajiban orang tua adalah memastikan pekerjaan anak selesai pada waktu yang telah ditentukan. Mirip karyawan dengan mandor bukan?
Ketika si orang tua menyuruh anaknya, jarang sekali dengan kata-kata lembut berbalut kasih sayang.
            “Alap jo miak siri.” Seru si ayah pada anaknya yang bernama Sri. Kalau si Siri agak berlama-lama, darah militer bapaknya langsung naik.
            “Heh, bagudung... dibege ho do hata?”
            Saya perhatikan, sepertinya orang tua benar-benar jadi orang tua ketika anaknya baru lahir hingga anak itu berumur empat atau lima tahun. Di umur selanjutnya, ke-orang tua-an orang tua mulai menetapkan syarat, yaitu si anak mau disuruh. Songon na mirdong hamu mangalapati hatai? Maksud saya, orang tua benar-benar mencurahkan kasih sayang dan perhatian layaknya orang tua ketika anaknya masih 0 - 4/5 tahun. Selanjutnya, orang tua menuntut anaknya untuk melakukan apa yang ditugaskan, agar orang tua tetap memperhatikan si anak sepenuhnya. Attar songoni ma maksudhu.
            Banyak anak yang enggan melihat orang tuanya. Anak-anak menghindar dari orang tua, karena mereka serba salah kalau di dekat orang tua. Anak-anak itu takut melakukan kesalahan. Kesalahan berarti sanksi. Sanksinya bisa kemarahan lewat kata-kata kasar bahkan pukulan. Akibatnya jarak tercipta antara anak dan orang tua. Semakin besar anak tersebut, semakin lebar jarak yang memisahkannya dengan orang tuanya..ai tutu do nuaeng nahusurati on? Nga mambal ra deba ate...
            Hoaaaam...... nga mondok au poang. Manang andigan ma muse huuduti bah. Modom majo au......
           
           

1 Response
  1. kasihan banget , jadi sedih membacanya ;(