Pengemis Tua


Pengemis Tua
Oleh: Elwin FL Tobing

            Si Pengemis Tua membiarkan sisa gerimis menyerap di baju kumalnya. Dia duduk di los pasar  yang telah kosong. Pasar itu sepi, hanya tukang martabak yang terlihat berjualan di dekat jalan. Pengemis tua itu merogoh sebuah plastik hitam dari balik jaket kumal berdaki tebal yang membungkus tubuh baunya. Seekor kucing segera saja melompat ke pangkuan pengemis itu.
            “He..he…, tahu saja kau makanan. Dasar kucing malas, tikus berlewatan kau diam saja!” sambut Si Pengemis, menyambut dengan akrab kucing yang sama kumalnya dengan dirinya.
            “Kalau kau agak bersih sedikit saja, pasti banyak kucing jantan yang mau sama kau. Sebenarnya kau cantik, tapi bau ha ha ha…!”  Si Pengemis terpingkal-pingkal sendiri. Air ludahnya bermuncratan menyaingi rintik hujan. Si kucing tak peduli dengan celaan si pengemis. Hewan kurus itu dengan rakus melahap setangkup nasi lembab yang diserakkan si pengemis di lantai yang kotor.. Pengemis tua terseyum gemas.   
            Sudah lama si pengemis menjadikan los pasar yang kosong di sore hari itu jadi tempat tinggalnya. Dia selalu berpindah dari los yang satu ke los yang lain sekehendak hati. Berlagak jadi penguasa tunggal.Walau saat subuh tak jarang para pemilik los yang mau berjualan menyiram tubuh si pengemis yang masih pulas dengan air kotor disertai usiran kasar. Dengan tergeragap pengemis itu akan bangun dan menyingkir cepat-cepat ke atas jembatan penyeberangan dan melanjutkan tidurnya. Setelah hari beranjak siang dia akan menyeret kaki rentanya menyusuri hiruk-pikuk kota, menadahkan tangan berharap sedekah.
            Kian hari kota kian pelit. Si pengemis tua merasa semakin sedikit orang yang mau berbagi uang receh dengannya. Rupanya seiring perkembangan kota yang semakin mewah dan semarak, terbentuk pula sifat kian kikir dari para penghuninya. Mereka semakin angkuh dan acuh pada sekeliling. Ah, si tua pengemis itu tidak tahu kalau pemerintah telah mengeluarkan himbauan agar jangan sembarangan memberikan sumbangan. Pengemis yang tidak punya televisi di los pasar tempatnya menginap itu tentu tak pernah menyaksikan iklan layanan masyarakat tentang seorang yang berpura-pura pincang dan mengemis di keramaian lampu merah. Iklan yang seolah mengumumkan kalau para pengemis cacat di jalanan itu hanyalah penipu yang berpura-pura. Pura-pura cacat, pura-pura menggendong anak balita padahal bukan anaknya.
Si pengemis tua jelas tidak cacat. Dia hanya orang tua yang dikalahkan kerentaan jasmani. Sebelumnya cukup lama dia mengabdi sebagai juru parkir di sebuah toko roti. Suatu hari seseorang mengaku kehilangan helm di area yang dijaganya. Pemilik toko roti menyalahkan matanya yang sudah rabun dan menyarankan agar si pengemis itu berhenti enjaga parkir di depan tokonya. Sejak hari itu si pengemis menambah jumlah pengangguran di negeri ini. Istrinya telah meninggal dua tahun lalu dan tak ada anak yang lahir dalam pernikahan mereka. Sanak saudara, seperti lazimnya sikap yang berlaku, menjauh dari si pengemis yang miskin. Mereka memilih lebih merapatkan silaturahmi dengan kerabat yang terpandang dan berlimpah harta. Hidup semakin kasar. Hubungan darah pun bisa terlupa bagi orang tak berpunya. Jadilah si pengemis tua tersaruk-saruk mengkais-kais tong sampah, mengumpulkan sisa-sisa makanan yang berserakan dan kotor. Remah-remah itu lalu dikumpulkannya dalam kantong plastik hitam. Nanti sore akan dinikmatinya bersama kucing kurus yang selalu setia menemaninya di los pasar; hewan jinak yang setiap malam tertidur melingkar di sebelahnya. Pengemis itu selalu memperlakukan si kucing sebagai teman layaknya manusia. Menanya kabar, dan mengajaknya berbicara. Pengemis itu selalu menceritakan pengembaraannya sepanjang hari menjelajahi kota. Dia tidak peduli walau si kucing hanya bisa mengeong, atau bahkan tidak bereaksi sedikitpun saat si pengemis terbahak-bahak saat menceritakan kisah lucu yang ditemuinya di jalanan kota. Atau saat si pengemis dengan suara serak mengisahkan perlakuan kasar preman pasar yang mendorongnya keras karena jalannya yang lambat. Si kucing lagi-lagi hanya bisa mengeong atau sama sekali tidak bereaksi apa-apa. Mata sayunya menatap si pengemis dengan tatapan lapar. Si pengemis lalu mendekap kucing itu ke dadanya yang ringkih. Terkenang istrinya yang telah berpulang, hati si tua itu semakin redam.
“Maaf ya, Bu, aku memperlakukan kucing ini seolah memperlakukan engkau. Sebenarnya aku selalu ingin bersamamu, bercerita padamu. Tapi engkau telah meninggal. Aku akan sendirian andai kucing ini tak brsamaku,” lirih si pengemis sambil menengadahkan kepalanya yang belepotan uban ke langit yang mengelam hitam. Berharap siluet istrinya terlukis di awan. Tapi istrinya mungkin sudah pergi teramat jauh, hingga tak menyisakan secuil bayang pun di kemuraman langit. Pengemis itu mendesah dalam sepi. Dia  kembali menatap kucing yang meringkuk di dadanya. Si pengemis menggariskan senyum parau. 
            Setiba di los pasar sore itu, Si Pengemis terperanjat ketika si kucing hitam mendatanginya diikuti empat ekor kucing mungil.
            “Hei, kau melahirkan hah? Ha ha ha.., apa kubilang, kau cantik banyak kucing yang mau sama kau ha ha ha..!” Si Pengemis tergelak-gelak sambil mengangkat satu demi satu anak kucing itu. Dia menggoyang-goyangkannya, mengajak menari anak-anak kucing yang lucu itu. Si Pengemis Tua terlihat sangat gembira. Badannya bergoyang doyong ke kiri ke kanan sambil mengayun-ayunkan anak kucing itu satu persatu. Tawa dan komentar riang tak berkeputusan meluncur dari bibirnya yang hitam. Penjual martabak mengawasinya dengan wajah jijik.
            “Ayo makan, ayo..!” Pengemis Tua cepat-cepat membuka plastik dan menyodorkannya semua pada kucing-kucing itu.
            “Ayo, kalian habiskan saja, “ dia meraih anak-anak kucing itu dan mendekatkan mulutnya pada gumpalan nasi becek di dalam plastik. Pengemis itu juga menepuk-nepuk perut si induk kucing, “kau pasti sangat capek ya sudah melahirkan begitu banyak anak. Makanlah, biar tenagamu cepat kembali.”
            Sejak kelahiran anak kucing itu si pengemis semakin rajin mencari sisa-sisa nasi di tong-tong sampah dan di pinggir-pinggir jalan. Wajah keriputnya penuh bersinar. Siul-siul kecil kerap diterbangkan angin dari sepasang bibirnya yang hitam pucat. Si pengemis terpaksa lebih mengandalkan tong sampah dari pada belas kasihan orang. Akhir-akhir ini dia merasa orang-orang semakin pelit dan sinis melihat dirinya. Lamat-lamat dia mendengar kalau pemerintah telah mengeluarkan himbauan agar menyumbang di tempat yang tepat. Masyarakat penyumbang diarahkan ke panti-panti asuhan dan panti jompo atau yayasan  social lainnya. Tidak diperkenankan memberi pada pengemis yang berserakan di trotoar.
            Sedikitnya jumlah makanan yang bisa didapatnya membuat si pengemis jarang kebagian. Dia selalu tidak tahan mendengar rengek kelaparan kucing-kucing itu. Hatinya remuk kalau anak kucing itu menatap sayu padanya sambil mengeong lirih. Ngeongan kucing itu selalu diartikan si pengemis sebagai erangan kelaparan. Maka si pengemis kembali menyusuri malam, berharap masih bisa menemukan remah-remah. Langkah kakinya semakin gemetar. Perutnya bertalu minta diisi. Tapi si pengemis mengabaikannya.
Si pengemis mengeluh putus asa. Belum ada sisa-sisa makanan yang tersimpan di kantong plastic hitamnya. Dia melangkah semakin jauh. Menekan sekuat tenaga sayatan perih di perutnya. Sekali dua kali dia tersandung. Bias lampu tak cukup jelas menunjukkan jalan bagi si pengemis.
            Subuh menjelang. Pedagang sayur yang baru tiba mencak-mencak. Kesabarannya menguap melihat si pengemis yang seolah tuli. Dengan kasar pedagang sayur itu meraih ember hitam berisi air kotor milik pedagang ikan mas, dan menyiramkannya ke kepala si pengemis. Kucing-kucing disekitarnya serentak berhamburan. Tapi si pengemis tetap pulas. Pedagang sayur mulai curiga.
“Coba di periksa. Jangan-jangan sudah lewat,” seru pedagang ikan mas pemilik ember hitam itu. Pedagang sayur tertegun sejenak. Wajah geramnya lindap. Matanya berkeliling memanggil pedagang lain untuk sama-sama melihat keadaan si pengemis.
“Sudah meninggal,” simpul pedagang nenas sambil melepaskan nadi pengemis itu. Kemeja penuh robekan yang dipake pengemis tersingkap memperlihatkan perutnya yang cekung. Ruas-ruas rusuknya bertonjolan keras.
Tanah semakin terang. Mayat si pengemis sudah dievakuasi petugas polisi. Kucing dan anak-anaknya melangkah kebingungan. Tubuh mereka penuh bencak lumpur bekas  sepakan lalu lalang pengunjung pasar.. Anak kucing yang berbulu kuning malah tampak menyeret kakinya yang pincang karena terlindas roda sorong. Pasar semakin padat. Kucing-kucing semakin sering terinjak dan kena tendang. Tak ada yang peduli. Ngeongan kesakitan mereka menguap ditelan keriuhan.

           

0 Responses