Angkot Tua Berwarna Cinta (5)


 
Angkot Tua Berwarna Cinta
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 5. Ow…Ow… Kau Ketahuan
Berawal dari keenganan Imah ditemani saat pulang kuliah. Maya heran. Masa betah menunggu angkot sendirian. Sudah begitu, Imah tidak mau menyetop angkot selama Maya masih di dekatnya. Aneh kan? Aneh dong! Iya tidak? Iya bilang…
Maka, kemarin Maya pura-pura pulang dibonceng Rio. Setelah sampai di Aspol, mereka memutar kembali, dan diam-diam mengintai Imah dari balik lapak penjual koran. Imah dengan sumringah menyetop sebuah angkot tua. Lalu dengan pedenya duduk di depan, di samping pak sopir yang sedang bekerja. Maya menyuruh Rio membuntuti angkot itu. Sambil menutup wajah mereka rapat-rapat dengan helm, Rio memepet angkot dan, astaga astagi ada buaya makan indomi…! Maya melihat Imah bercanda dengan si sopir. Pakai pukul-pukulan dan cubit-cubitan segala, tidak ada malunya. Serentak pikiran Maya melayang pada iklan-iklan dukun di koran dan majalah. Pasti si sopir itu telah mengguna-gunai Imah. Sobat Maya yang kurus itu pasti kena pelet. Cuma Maya belum bisa memastikan, yang dipakai pelet ayam atau pelet ikan, hi hi .
Dan pagi ini Maya siap sudah dengan dakwaan.
Maya mengepalkan tangan ketika melihat angkot tua itu menepi di halte depan kampus. Sambil mengkertakkan gigi, Maya menghampiri Imah yang membuka pintu depan dengan wajah kasmaran. Maya melihat Imah melambai sebelum angkot itu beranjak pelan meninggalkan halte.
Imah kaget melihat Maya berdiri di depannya dengan wajah menuduh. Imah coba menguasai diri. Menciptakan senyum di bibir dan meraih lengan Maya.
“Tumben menunggu aku. Ayo masuk.”
“Akrab kali kau sama sopir itu. Pacarmu?” Maya tembak langsung. Wajah Imah  berkelit. Kaget sekali mendapat pertanyaan telak begitu.
“Itu Bang Anto,” lirih Imah berusaha melarikan tatap dari mata Maya.
“Okey! Aku ingat kau pernah menyinggung nama itu. Jadi dia pacar barumu?” kejar Maya.
Imah menggeleng, “Kami cuma teman,” suara Imah tak meyakinkan. Membuat Maya semakin geregetan.
“Teman?” Maya pitam. “Tiap hari naik dan pulang kuliah dengan angkot yang sama. Duduk di depan sambil bercanda-canda. Masa sih cuma teman?”
“Benar, May. Kami belum pacaran..”
“Tapi akan pacaran, begitu?”
Imah tidak menjawab. 
“Kau kenapa sih, Mah? Macam tak ada cowok lain saja. Masa sama sopir? 
“Bang Anto…..orangnya baik kok, May,”
“Tapi dia cuma sopir, Mah. Kau mahasiswi. Mikir dong! Pakai ininya nih,” Maya mengetuk-ngetuk jidat Imah.
“Bang Anto yang dulu mulangkan hp-ku.” Imah masih melanjutkan pembelaan diri. “Dia laki-laki jujur.”
Maya menyipitkan mata. Hanya gara-gara itu?
“Bang Anto ramah sama penumpang.”
Mata Maya berkedip-kedip. Apa istimewanya sopir ramah sama penumpang? Namanya cari muatan.
Imah melirik Maya, memohon pengertian. Tapi wajah Maya kian garang. Imah jadi kecut. Dengan lunglai dia menyeret langkahnya ke bangku taman. Maya duduk di dekatnya sambil berulang menggaruk-garuk kepala. Beberapa mahasiswa yang diam-diam naksir Maya, kontan ilfil melihat cara gadis itu menggaruk kepala. Kok mirip monye….t..
Malam hari di ruang makan.
“Mama lebih ihklas kamu sama Rizki dari pada sopir angkot itu, Mah. Walau Rizki kasar dan kurang sopan, tapi setidaknya dia mahasiswa,” Mama ngomel-ngomel di depan Imah yang diam menunduk sambil memain-mainkan kuping si Molli.
“Sia-sia rasanya kami menyekolahkanmu tinggi-tinggi. Kalau untuk jadi istri sopir angkot, untuk apa jadi sarjana?” suara Mama meninggi. Imah kian resah dan tidak betah. Tapi dia tidak berani beranjak, takut Mama makin murka. Imah bertahan dan menyandera si Molly yang sejak tadi berontak ingin lepas. Kucing itu mulai tidak nyaman dengan perlakuan Imah. Sebab tangan Imah tidak lagi sekedar memilin-milin kupingnya. Tapi juga mencabuti kumis, menyentil-nyentil hidung dan meniup kuping Molli kuat-kuat. Kucing itu jadi pelampiasan dendam Imah pada Maya. Pasti si mulut ember itu yang membocorkan kalau Imah ber-TTM sama angkot driver. 
“Sekali lagi kamu naik angkot itu, maka Mama akan menghentikan kuliahmu. Lebih baik kamu dikurung di rumah dari pada kelak menimbulkan aib bagi keluarga,” Imah menatap ke arah Papa mencari perlindungan begitu mendengar ancaman Mama. Tapi sorot mata Papa menunjukkan beliau menyetujui hukuman itu. Imah lemas. Tangannya ikut terurai dari tubuh molli. Serta-merta kucing itu melompat menyelamatkan diri.
* * *
Banyak lagi foto gadis cantik terhampar di sekeliling Rizki. Tapi sejak tadi, Rizki hanya memegangi foto Imah, sambil menatapnya dengan pandangan lain.
            “Kau licin sekali, kayak belut sawah. Tapi cantik dan menggoda,” Rizki mengedipkan sebelah matanya ke arah foto.
            “Tadinya aku berpikir, kau akan datang mencariku setelah aku mencuekimu. Kau akan memohon aku kembali sambil berjanji akan menuruti semua keinginanku. Tapi sampai sekarang kau tak pernah memberi kabar. Kau sungguh berbeda dengan gadis-gadis lain yang selama ini mengejar-ngejar aku. Mereka yang pasrah aku perlakuan sesukaku, asal aku tetap membagi cinta pada mereka. Aku tertantang untuk menaklukkanmu hingga kau berlutut dan meratap di kakiku, Mah.”
            Rizki mencium foto Imah. Kecipak mulutnya terdengar keras. Tanpa merapikan foto-foto lain yang berserakan, Rizki bergegas mandi. Selesai mandi, dia mematut diri di depan cermin kamar yang lebar sambil menghias diri. Setelah dandanannya dirasa sempurna, dia menggeber ninja merahnya keluar garasi dan menghilang di tikungan.
            Imah hampir lelap di kamarnya ketika Bi Darmi mengetok-ngetok.
            “Imah, ada temannya datang,” panggil Bi Darmi dari depan pintu kamar.
            “Siapa, Bi?” 
            “Rizki,”
            Hah? Tidak salah?
            “Siapa, Bi? Rizki?”
            “Iya. Dia menunggu di teras,”
            Jantung Imah berdebam. Mau apa si keparat itu ke rumahnya? Mau menuntut balas atas perlakuannya terhadap Ulfi? Mau mengancam mengadu ke polisi? Mau menantang berkelahi? Atau…mau menyambung tali silaturahmi? Ah…
            “Papa Mama mana, Bi?” Imah mulai disergap rasa takut kalau menghadapi Rizki sendirian.
            “Belum pulang,”
            Aliran darah ditubuh Imah kian deras. Keringat dingin menitik.
            “Rizki sama siapa?”
            “Sendirian saja, Mah. Sudah temui saja. Ayo Bibi temani,” kata Bi Darmi. Suaranya terdengar tegas dan berani. Tapi Imah masih ragu. Sibuk menerka maksud kedatangan Rizki. Niat jahatkah? Niat baik…. Ah, pasti maksud jelek. Tapi..kalau berniat buruk, kenapa dia berani datang sendirian. Apa dia tahu kalau Papa dan Mama tak ada di rumah? Mudah-mudahan dia cuma mau meminta maaf, setelah itu pulang. Dia berani mendatangi rumah ini setelah peristiwa kemarin, menunjukkan sikap gentle dia. Tak apa-apa kalau aku mencari tahu sebentar.
            Setelah merapikan rambutnya di cermin kamar, Imah melangkah ke teras. Lapangan basket di samping rumah sedang ramai orang. Jadi Imah merasa tidak perlu takut kalau tiba-tiba Rizki macam-macam. Tinggal berteriak, dan pemuda-pemuda sekompleknya akan datang menolong.
            “Selamat sore, Mah. Apa kabar,” sapa Rizki begitu melihat Imah muncul dari balik pintu depan. Imah hanya mengangguk pelan menanggapi sapaan itu. Tak urung jantung Imah berdebar melihat penampilan Rizki sore itu. Ganteng sekali. Diam-diam Imah memejam sebentar, untuk mengingatkan hatinya agar tidak gampang tergoda.
            “Aku mau minta maaf, Mah. Aku telah banyak salah sama kau,” lirih suara Rizki. Sebentar dia menghela napas, seolah ingin meringankan hatinya yang diganduli penyesalan. “Aku telah salah memperlakukan kamu. Aku juga keliru menilai kamu. Maafkan kecemburuanku yang berlebihan ya, Mah. Asal kau tahu, itu semua karena aku sangat menyayangimu dan takut kau menyimpan cowok lain di hatimu selain aku”
            Ada kelegaan di hati Imah. Ketakutannya teryata tak jadi nyata. Rizki hanya ingin meminta maaf. Bi Darmi pun pelan-pelan beranjak dari balik pintu sambil mengendurkan pegangan pada gagang sapu.
            Perlahan Imah menghela napas. Dia mulai mau balas menatap ke arah Rizki. Merasa dapat angin, Rizki kembali berbicara mengumbar penyesalan hatinya.
            “Peristiwa di tengah jalan itu, ah….aku tak habis pikir mengapa aku bisa setega itu, Mah. Berhari-hari aku merenung, dari mana datangnya setan yang menghasut hatiku hingga sedemikian kejam memperlakukanmu. Tapi saat itu, aku rasanya tidak sadar dengan apa yang kulakukan. Rasanya masa depanku telah hancur, begitu melihat foto Koko yang kau simpan..”
            “Aku tidak menyimpan foto itu. Kan sudah kubilang dia sendiri yang…”
            “Oh iya, maaf maaf. Kau benar, Mah. Aku yang terlalu cemburu. Semua itu karena cinta. Aku terlalu mencintaimu dan tak ingin kehilanganmu,” rintih Rizki dengan wajah memelas.
            Ketegangan di wajah Imah hilang sudah. Berganti dengan rasa lain…rasa tersanjung. Ah, ternyata Rizki tidak sejahat dugaannya. Cowok itu cukup tahu diri dan tidak gengsi untuk meminta maaf. 
 
 bersambung ke Bagian 6. 
"Cowok Tampan Berhati Setan"
           

0 Responses