Angkot Tua Berwarna Cinta (7)


 
Angkot Tua Berwarna Cinta
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 7. Merana Karena Cinta
             Wajah Papa mengeras. Bola matanya menyorot penuh amarah. Imah hanya bisa menunduk, takut.
            “Berani kau berbohong sekarang ya. Sama Mama kau permisi pergi sama Maya. Nyatanya kau sama pemuda sombong dan cabul itu.” Papa meradang.
            “Kau jadi mahasiswi kok bodoh sekali, tidak tahu bergaul. Kalau tidak pemuda bejat, sopir angkot yang kau kawani.”
            “Sudahlah, Pa,” Mama coba meredakan emosi suaminya, “Imah masih trauma. Tidak usah dimarahi dulu.”
            “Anak ini sudah keterlaluan. Berani membohongi orang tua. Coba kalau Rizki berhasil memperkosanya, mau jadi apa lagi kau, hah?”
            Air mata Imah kembali mengalir deras. Dia merasa rentan, tak punya tempat berlindung. Setelah Imah menceritakan kejadian yang hampir menghancurkan hidupnya, orang tuanya bukannya serta merta memeluk menawarkan perlindungan. Malah melontarkan amarah dan menyalahkan Imah habis-habisan. Terutama Papa. Dia tampak kecewa sekali. Terlihat tak bisa menerima kebohongan yang dilakukan putri tunggalnya. Papa tak putus melontarkan geram. Beruntung Bang Anto sudah pergi. Kalau tidak, dia tentu akan sakit hati karena turut jadi sasaran kejengkelan papa.
            Papa tidak hanya memaki dan mengutuki Rizki yang telah jadi tahanan polisi Parapat. Tapi Papa juga menuduh Bang Anto telah menjampi-jampi hingga Imah selalu ingat padanya. Buktinya, saat ingin dijemput, Imah menghubungi sopir itu.
            Keesokan harinya, ketika Bang Anto datang untuk menjenguk keadaan Imah, Papa dan Mama mengajaknya bicara.
            “Kami mengucapkan terima kasih atas pertolongan dan perhatianmu pada putri kami. Kami pikir sudah cukup. Biar kami saja yang mengurus mulai sekarang. Kau tidak perlu datang-datang lagi, nanti pekerjaanmu terganggu,” tegas Papa sambil menatap lurus-lurus ke mata Bang Anto. Sopir muda itu tertegun. Dia merasakan aroma penolakan yang kuat. Bahkan pengusiran secara tersirat.
            “Saya minta maaf kalau kedatangan saya mengganggu.”
“Jelas mengganggu. Kau telah membuat hati kami tidak tenang. Was-was. Entah bagaimana ceritanya Imah bisa dekat sama kau. Begitu banyak kawan mahasiswa, eh kok malah bergaul sama….” Mama tak meneruskan kalimatnya. Tapi lirikannya yang meremehkan telah cukup jelas bagi Bang Anto. Bagi orang tua Imah, dia bukan penolong. Tapi pengganggu dan ancaman yang harus disingkirkan sedini mungkin.
“Baiklah. Saya mengerti. Saya minta maaf karena telah menghadirkan kekhawatiran pada Bapak dan Ibu. Permisi, Pak, Bu, Imah,” Bang Anto beranjak dari kursi yang mendadak terasa berduri-duri. Imah memburu ketika Bang Anto hampir menjalankan angkotnya.
            “Imah, mau apa lagi kau?” larang Papa. Tapi Imah tak peduli. Terus berlari.
            “Bang, maafkan Papa ya. Maafkan Mama juga. Aku..aku…”
            Bang Anto memaksakan senyum, “Tidak apa-apa, Mah. Aku memahami sekali kenapa Papa Mamamu bersikap keras begitu. Semua itu untuk kebaikan keluargamu, terutama kebaikanmu juga. Imah kembali saja, nanti Papa Mamamu tambah marah,”
            “Bang, maaf…” Imah meraih dan mencium punggung tangan Bang Anto. Ingin sekali sopir muda itu merengkuh wajah Imah yang penuh air mata. Tapi dia menahan diri. Kalau niat itu dia wujudkan, akibatnya semakin parah bagi dirinya juga Imah. Akhirnya Bang Anto hanya mengangguk dan tersenyum setulus mungkin. Setelah itu dia memasukkan gigi satu dan menekan pedal gas perlahan. Imah mengikuti laju angkot, berlari-lari di samping angkot yang semakin cepat, hingga gelegar bentakan papanya menghentikan langkah kaki Imah.
            Imah tidak berdaya melawan aturan Papa. Setiap hari berangkat kuliah Mama disuruh mengawal. Menunggu hingga jam kuliah selesai. Setelah itu Mama segera mengajaknya pulang. Dengan membonceng Imah di belakang mio gres yang baru dibeli Papa. Sepeda motor itu langsung dijemput ke dealer pada hari Bang Anto diusir saat kedatangannya yang kedua. Betapa malunya Imah. Dia tidak kuasa menjawab pertanyaan teman-temannya yang bertanya sembari mengolok-olok. Mahasiswi semester lima diantar dan dijemput Mama kuliah? Ini jaman apa sih? Masa RA. Kartini saja sepertinya tidak sekolot ini.
Imah merasa lebih layu dari boneka. Dia sama sekali tidak selera melakukan apa pun. Tak nafsu makan. Tidur pun tidak bisa cepat. Pikirannya masih melayang kemana-mana ketika jarum waktu sudah menjelajahi subuh
            Ketahanan tubuh Imah akhirnya buyar. Pagi itu dia merasa kepalanya sangat berat. Pandangannya berkunang-kunang. Mama urung menuntun mio keluar rumah. Melihat wajah Imah yang pucat dan dahi serta lehernya yang panas. Mama menyarankan Imah libur kuliah.
            “Makanya jangan malas makan. Macam anak balita saja, makan pun harus dipaksa-paksa,” omel Mama. Imah diam. Tatapannya menembus tirai jendela. Berharap angkot Sinar Siantar tua itu lewat di sana. Lalu Bang Anto melambai padanya sambil membunyikan klakson. Hati Imah tentu akan terhibur. Sayang, angkot yang ditunggu tak melintas saat itu. Kalaupun melintas, belum tentu membunyikan klakson dan melambai. Memangnya Bang Anto tahu Imah menunggunya? Tidak ada sms apalagi telepon. Imah juga tak bisa dia mengabarkan kerinduan hatinya. Tak juga bisa menerima kabar andai Bang Anto mengiriminya pesan. Papa sudah menyita hp Imah.
Imah berpaling, tak ingin Mama melihat matanya yang berkaca.
            Imah balik ke kamar. Merebahkan tubuhnya yang semakin kurus di atas kasur. Dan penggalan kisah yang tercatat bersama Bang Anto terbuka lembar demi lembar. Tak beraturan. Sebab terkadang kisah yang sudah terbaca, kembali lagi menyapa. Pertemuan pertama saat Bang Anto mengembalikan hp-nya sering melintas. Bibir Imah cemberut mengingat dua orang ibu yang bergantian mempromosikan putrinya pada Bang Anto. Dan yang paling menggetarkan adalah ketika Bang Anto menembus kabut subuh dengan angkot tuanya untuk menjemput Imah ke Parapat. Betapa Imah merasa terlindung saat meringkuk dalam dekapan Bang Anto. Dia merasa aman dan disayang.
            Imah tak sanggup menahan air mata terkenang ucapan kasar Papa dan Mama di kali kedua Bang Anto datang menjenguk Imah. Sopir muda itu sempat terbengong cukup lama ketika mendapat serangan kata-kata keras dan menyalahkan. Saat itu, betapa Imah ingin ganti memeluk Bang Anto. Agar terlindung dari ucapan-ucapan Papa Mama yang tajam. Tapi Imah hanya bisa menatap iba tanpa sanggup berbuat apa-apa. Dia sangat takut melihat Papa yang melotot penuh ancaman pada Bang Anto. Sekarang Imah menyesali ketidak berdayaannya. Cowok ramah yang rela berangkat tengah malam dari Siantar ke Parapat untuk menjemputnya itu, diusir oleh Papa Mama seperti gelandangan. Bukannya mendapat ucapan terima kasih dan jamuan untuk menghargai; seorang penolong malah dihadiahi tuduhan keji; sama sekali tak tahu balas budi. Imah sedih sekali. Imah merasa kehilangan sekali.
            Mama cemas melihat perilaku Imah. Kadang tersenyum sendiri; mengeleng-geleng sambil berguman tak jelas. Tak lama dia tampak mengusap air matanya yang tiba-tiba menderas. Dia tidak mau makan. Dipaksa pun tetap ogah. .Papa yang awalnya mencibir, mengira Imah hanya pura-pura, kali ini mulai gagap. Hendak memaksakan kehendak Papa agak ciut. Mau membujuk, Papa tidak terbiasa berkata lembut. Jadinya, Papa sering mati langkah, tak tahu harus bagaimana menghadapi Imah.
            Imah sendiri tidak peduli. Dia seperti punya dunia sendiri. Walau Papa, Mama, Bi Darmi, Maya merubung di dekatnya, Imah berlaku seolah mereka tidak ada. Pertanyaan mereka disahuti dengan jawaban melantur. Bujukan dan nasehat ditanggapi dengan reaksi beragam. Kadang Imah mendelik, tersenyum aneh. Tapi lebih sering tidak peduli.
            “Panggil saja, Pa..! Kasihan Imah” bujuk Mama tak tahan melihat keadaan Imah yang semakin kacau.
            “Panggil siapa?” ego Papa belum habis rupanya. Dia masih pura-pura tidak mengerti arah kata istrinya.
            “Ya nama yang sering digumankan Imah. Anto, sopir angkot itu,” rintih Mama nelangsa.
            “Mama mau anakmu berjodoh dengan sopir angkot?”
            “Papa mau Imah gila?”
            “Siapa yang bilang dia gila?”
            “Papa sendiri melihat dia masih waras?”
            Papa tidak menjawab.

bersambung ke bagian 8
'Kejutan'

0 Responses