Magang



Magang
Oleh: Elwin FL Tobing

            Ani menjauh dari antrian. Sementara rekan-rekan kerjanya yang lain ramai berjejer sambil memperbincangkan shu yang akan dibagikan. Wajah para karyawati department store itu penuh senyum. Saling melempar canda. Sorot mata menyiratkan ketidaksabaran. Ingin segera tiba di meja pembagian. Shu yang diberikan di pertengahan bulan, lumayan untuk memperpanjang napas hingga gajian.
            Tapi Ani menjauh dari antrian. Dia tidak terdaftar sebagai penerima shu. Ani karyawan magang. Shu yang merupakan sisa hasil usaha koperasi karyawan itu hanya untuk anggota koperasi. Sementara yang bisa menjadi anggota koperasi adalah mereka yang sudah berstatus karyawan tetap. Sementara Ani hanya karyawan magang.
            Sebagai karyawan magang Ani minim dukungan fasilitas dari perusahaan. Disamping tak kebagian shu, dia juga tak dikasih baju seragam. Tak mendapat cuti tahunan atau cuti-cuti yang lain, semisal cuti menikah selama tiga hari, cuti melahirkan selama tiga bulan yang sudah dinikmati para karyawan tetap. Ani juga tidak mendapat jaminan kesehatan dan kesejahteraan. Seandainya dia sakit, maka dia yang menanggung semua biaya pengobatan. Andaikata rumahnya rubuh dilanggar banjir, dia tak bisa mengharapkan perusahaan mengeluarkan dana social untuk membantunya.    
Ani tidak sendiri. Karyawan magang di department store itu ada tujuh orang. Mereka bisa dikenali dari warna baju yang dikenakan. Ani dan keenam temannya memakai  kemeja putih dan rok hitam. Sementara mereka yang berstatus karyawan tetap, memakai baju seragam berwarna orange dengan logo dan nama perusahaan yang dibordir di dada kiri.
Ani ingin sekali jadi karyawan tetap. Menjadi karyawan tetap membuatnya tenang. Setidaknya dia tidak terus-terus cemas oleh ancaman pemberhentian. Selama ini sudah empat kali Ani diberhentikan perusahaan. Dengan alasan efisiensi karyawan magang dirumahkan sementara. Nanti akan dipanggil lagi kalau perusahaan membutuhkan.
Status magang yang tersandang membuat perusahaan begitu gampang mendepak Ani dan teman magangnya yang lain. Tak ada imbalan apa-apa saat mereka keluar. Tak ada pesangon atau balas jasa apa pun. Mereka dilepas seolah budak yang dibebaskan. Tidak ada kepastian kapan akan dipanggil kembali. Begitu juga dengan jumlah yang akan dipanggil tak selalu sama dengan jumlah yang pernah dilepas. Sering juga terjadi karyawan yang dilepas ada yang tak dipanggil lagi, entah karena alasan apa, Ani kurang mengerti.
Ani capek jadi karyawan magang. Sudah tiga tahun dia menjalani status yang tak mengenakkan itu. Sebenarnya tidak genap tiga tahun. Sebab selama ini Ani menandatangi kontrak kerja dengan durasi yang tidak jelas. Kadang per satu bulan. Kadang per tiga bulan. Sehabis durasi kontrak, maka akan ada evaluasi. Kalau perusahaan masih membutuhkan tenaganya, Ani dipanggil lagi dan diharuskan membuat surat lamaran baru. Perusahaan akan memproses lamaran seperti perlakuan pada karyawan yang baru masuk. Ani akan disodori perjanjian kerja yang mencakup persetujuan durasi kontrak kerja. Kesediaan diberhentikan sewaktu-waktu tanpa tuntutan apa pun. Kesediaan tidak mendapat fasilitas dari perusahaan  seperti thr, jamsostek termasuk shu yang sekarang sedang diantri kawan-kawannya.
Kalau perusahaan belum membutuhkan, Ani dibiarkan menunggu tanpa kepastian. Begitu terus dia di ombang-ambing selama rentang waktu tiga tahun ini.
Biasanya perusahaan cepat memanggil Ani ketika department store akan menghadapi session ramai. Yaitu bulan-bulan saat libur sekolah dan hari raya keagamaan seperti natal dan lebaran. Saat seperti itu pengunjung akan meningkat signifikan. Semakin membludak ketika mendekati hari h.
Semua elemen perusahaan menjadi sangat sibuk. Ani dan kawan-kawannya akan menjalani aktifitas yang padat. Sebagai anak magang Ani selalu jadi bulan-bulanan seniornya. Porsi kerja Ani meningkat berlipat-lipat. Sementara seniornya masih sempat cekikikan dengan pengunjung genit yang menggoda mereka, Ani harus pontang-panting melayani pembeli. Lembur hingga jam dua belas malam harus dilakoninya. Toko sesak oleh pengunjung. Ani megap melayani permintaan dan pertanyaan customer yang berlomba minta didahulukan. Keringat membercak tak tertahan. Tubuhnya remuk didera kelelahan.
Saat-saat seperti itu benar-benar menyiksa. Jam kerja yang panjang, pekerjaan yang tak habis-habisnya, membuat fisik Ani drop. Dia demam. Berniat istirahat di rumah. Tapi tidak bisa. Sebab dering panggilan maupun sms dari seniornya maupun dari staff area akan mencarinya. Mengancam akan memecat hari itu juga kalau Ani tidak masuk kerja. Senior dan staff yang sadis itu tidak menerima apa pun sebagai dalih. Semua alasan dianggapnya pengecoh belaka untuk menutupi kemalasan bekerja.
Mau tidak mau Ani memaksa diri. Dia masih butuh pekerjaan. Perlu uang untuk membantu ekonomi keluarga. Juga untuk menghindarkan dirinya dari tetangga yang usil. Mereka yang sibuk mencibir ke sana ke mari kalau melihat ada lulusan sekolah seperti Ani yang pengangguran. Dan bukankah dengan status bekerja membuat gadis seperti dirinya lebih mudah mendapatkan pacar? Andai saja Ani sudah jadi karyawan tetap tentu dia akan semakin percaya diri tampil di antara laki-laki.
Tapi betapa susahnya untuk menjadi karyawan tetap di department store tempat Ani bekerja. Walaupun Ani sudah berusaha bekerja sebaik-baiknya. Banyak menyumbang kelebihan jam kerja sebagai tanda loyalitas pada perusahaan, tapi tetap saja statusnya masih seperti sediakala.
“Pintar-pintar kau mengambil hati Pak Amin.” Saran Minah. Ani seangkatan dengan Minah. Tapi nasib Minah lebih baik. Minah sudah diangkat jadi karyawan tetap setahun belakangan ini.
“Pintar-pintar gimana maksudmu?” Ani membayangkan Pak Amin, manager mereka.
“Pokoknya kau pintar-pintarlah di dekatnya. Jangan jual mahal.” Minah mengedip sambil memercikkan senyum jahil. Dada ani berdesir. Dia tidak sanggup kalau harus bergenit-genit untuk mendapatkan posisi. Ani hanya gadis dari pinggiran kota. Ayah dan ibunya begitu kaku menerapkan norma dalam keluarga. Adat kesopanan sudah begitu kuat membentuk karakter Ani. Kalau harus mengubah perilaku jadi gadis penggoda, dia perlu berusaha keras dan butuh waktu yang lama.
***
Ani menahan senyum. Berusaha tampak wajar menanggapi berita yang sampai ke telinganya.
“Berarti minggu ini saja sudah dua orang yang mengundurkan diri. Heni dan Ita.” Yanti melirik Ani. “Kalau banyak yang keluar berarti kau bakal dipertahankan An. Bisa-bisa kau juga di angkat jadi karyawan tetap.”
“Paling sebentar lagi aku di-cut. Mana ada pengangkatan sekarang-sekarang ini.” Balas Ani memancing.
“Kalau kau di-cut habis lah karyawan sini. Yang ada sekarang saja sudah minim kali. Counter sering kosong kalau ada yang off.”
“Kak Yati juga katanya mau keluar ya kak?” harap di dada Ani menggegap.
“Iya! Bulan depan pas tutup buku. Dia kan mau dibawa suaminya ke Pekanbaru.”
Tak perlu menunggu lama. Jam dua belas siang Ani mendengar namannya dipanggil lewat audio promotion dan disuruh ke ruang sdm. Yanti tersenyum lebar sambil mengangkat jempol. Wajah Ani pucat. Debar di dadanya riuh bertalu-talu. Inikah buah dari kesabaran yang disemainya selama tiga tahun ini. Telapak tangan Ani seketika berkeringat. Kakinya seolah melayang menuju ruang sdm.
“Silahkan duduk, An.” Ibu sdm menunjuk kursi di depan Ani.
Ani tersenyum isyarat terima kasih. Lalu duduk meringkuk. Telapak tangannya semakin basah. Punggungnya juga. Diam-diam Ani menyusun rencana, sebuah syukuran kecil-kecilan bersama orang-orang terdekatnya. Merayakan pengangkatannya jadi karyawan tetap.
Tak hanya telapak tangan dan punggung Ani yang basah. Tapi matanya juga. Sekuat daya Ani menahan, tapi perih itu teramat sembilu.
“Perusahaan sedang kesulitan. Tiga bulan terakhir target kita tak tercapai. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa…….”
Ani patah. Sebelum ibu sdm mengakhiri kalimatnya, Ani sudah meraih kertas bermaterai berisi pernyataan berakhirnya masa kerja Ani sebagai karyawan magang. Menanda tanganinya secepat yang Ani bisa.
“Terima kasih. Saya permisi.”



    

0 Responses