Pariban
dari Desa
Oleh: Elwin FL
Tobing
Bagian 2. Pariban Dari Desa
“Itu paribanmu! Kok tidak disalam?” Papa
memberi isyarat pada si pemuda untuk bangkit. Tersenyum kaku atau mungkin
canggung, pemuda itu berdiri dan mendekati Ester. Mengulurkan tangannya,
“Horas, Pariban!” sapanya dengan logat batak yang biasa didengar Ester di
sekitar Amplas atau di seputar loket-loket bus tujuan Tarutung.
“Ho..ho..ras…” ragu-ragu Ester
menerima genggaman pariban yang belum bisa diidentifikasinya itu. Auw! Ester
memekik kecil. Telapak tangan pemuda itu pasti terbuat dari parutan kelapa.
Kasar kali. Ester kesakitan. Memaki dalam hati.
“Duduk boru! Di sebelah namboru saja duduknya.” Suruh Papa. Padahal Ester
sudah ingin buru-buru minggat dari lokasi yang merusak mood-nya habis-habisan
itu. Menyesal telah berdandan. Kalau cuma pemuda gunung itu yang melihat, untuk
apa?
“Ester banyak PR, Pa! Ester ke
kam….”
“Sebentar lagi. Temani dulu namboru
sama paribanmu ngobrol-ngobrol.”
“Sepertinya Ester tidak jelas
mengenal namborunya ini ya?” kata si ibu dusun menangkap kegelisahan Ester.
Gadis itu tersenyum kikuk. Dia memang tidak mengenal. Papa kemudian
mengenalkan.
“Namboru ini putri dari abangnya kakek. Mereka tinggal
di desa Ri Nabidang. Agak
jauh dari kampung kakek di Sitarealaman. Makanya kita jarang ketemu kalau
pulang kampung. Dari Sitarealaman kampung namboru ini masuk jauh lagi ke dalam
kira-kira lima
enam kilometer.
Ester merinding. Busyet! Di hutan
mana kampung namboru ini? Desa Sitarealaman, tempat tinggal kakek dan nenek
dari ayah, saja sudah sunyi mencekam. Kalau masuk lagi ke dalam sejauh lima kilometer…… Di benak
Ester membayang kampung primitif dengan rumah-rumah di atas pohon dan
penghuninya yang hidup liar di rimba belantara. Takut-takut Ester melirik
namboru dan putranya. Membayangkan pemuda itu memakai pakaian dari kulit macan,
menggenggam tombak, sambil berkelebatan di hutan berburu mangsa. Manusia
kannibal. Hiii…!!
“… Pa…PR Ester…” Ester tidak tahan
lagi berada di situ.
“Iya sudah. Kerjakan PR-mu. Besok
kalian masih bisa ngobrol-ngobrol.”
Setelah mengangguk cepat pada
namboru dari hutan itu, tanpa mengacuhkan pariban dari hutan, Ester cepat-cepat
menghilang ke kamar. Sampai di dalam dia menghempaskan punggungnya ke kasur.
Menghela napas berulang-ulang untuk meredakan debar tak beraturan di dadanya.
Terbayang wajah pemuda itu. Rupa yang kasar, tatapan tajam serupa mata harimau
kesurupann.
Malamnya, Ester mimpi buruk. Dia
jadi tawanan namboru dan paribannya itu di sebuah hutan penuh gua berlumut.
Tubuh Ester diikat dengan belitan kuat memakai akar pohon. Manusia-manusia
kannibal menari-nari sambil mencerau dengan suara ganjil sambil mengitari api unggun yang berkobar
panas. Masing-masing memegang tombak atau pedang tajam yang ditikam-tikamkan ke
udara. Satu-persatu burung pemakan bangkai mendekat lalu hinggap di dahan pohon
meranggas, dekat tubuh Ester yang terbelenggu kuat.
“Bawa tawanan kemari,” perintah
namboru. Rupanya dia kepala suku di situ. Dua manusia hutan bertubuh raksasa
menyeret Ester. Dia dibawa ke tengah-tengah lingkaran. Diikat pada sebuah
tonggak kayu dengan tangan terangkat
ke atas. Melihat itu tarian para manusia kannibal semakin liar tak terkendali.
Ceracauan dari mulut mereka semakin bergemuruh mengancam.
“Kita adakan sayembara,” suara
Kepala Suku menggelegar. Cukup kuat untuk mengatasi sorak-sorai di sekitarnya.
“Barang siapa yang bisa melemparkan tombak persis mengenai leher tawanan dari
jarak tiga puluh meter, dia boleh lebih dulu memakan bagian yang paling
disukainya dari tubuh tawanan.”
Gemuruh merobek langit dari mulut
para kannibal. Mereka melompat-lompat. Mengacung-acungkan tombak ke arah Ester
yang menggigil ketakutan. Mereka beranjak mengambil jarak sejauh tiga puluh
meter. Kannibal pertama maju sambil menenteng tombak dengan ujung berkilat
tajam. Mengambil ancang-ancang. Para kannibal
lain riuh bersorak-sorak. Kannibal pertama itu mengayun tangan kanan berisi
tombak jauh ke belakang. Wajahnya terlihat. Ester terkesiap. Dia anak namboru
itu. Dengan disertai lolongan keras dan hentakan kuat, anak namboru kannibal
itu melontarkan tombak ke arah tubuh Ester yang terikat tak berdaya. Dia hanya
bisa menjerit kalap, “TIIIIDAAAAAK…..!”
Ria terlonjak bangun sambil
mengucek-ucek telinga kanannya yang jadi sasaran telak jeritan kakaknya. Dengan
gemas dia memencet hidung Ester yang masih larut dalam mimpi sial. Karena sesak
napas, Ester terlonjak bangun. Dadanya turun naik menahan debar. Keringat
membercak di wajahnya.
“Kira-kira dong kalau teriak. Udah
malam nih,” protes Ria. Matanya melirik ke jam mungil di dinding. Pukul dua
lewat empat puluh.
“Uuuhh! Untung cuma mimpi..” Ester
masih ngos-ngosan. Mengusap-usap dada, menyukuri kenyataan. Untung ayunan
runcing tombak ke lehernya hanya mimpi belaka.
***
“Benar-benar sial,” rutuk Ester
sambil menghempaskan tubuh di samping Maria yang sudah datang lebih awal. Kelas
mulai ramai. Di meja Riana sudah ada tiga anak yang menyalin contekan PR
matematika.
“Kenapa kau? Ribut sama adekmu?”
ulik Maria menanggapi kalem.
“Ada cowok di rumahku. Dari kampung. Kata Papa,
dia mau melanjutkan sekolah di sini.” Curhat Ester dengan wajah terlihat resah.
“Masalahnya?”
Ester menarik napas, “Aku nggak suka
sama dia,” dia melontarkan napas yang menggelembungkan dadanya.
“Kok?”
“Ya nggak suka aja. Sejak pertama
melihatnya aku sudah takut. Saking takutnya sampai terbawa mimpi buruk. Tadinya
aku pikir yang datang bertamu itu namboru Samuel sama Samuel. Aku sudah senang.
Aku naksir sama paribanku yang ganteng itu. Tiba-tiba yang nampak malah ibu
berpenampilan kampung dengan anaknya yang berpotongan preman. Aku nggak ngerti
dengan maunya papa. Dia yang meminta putra namboru dari kampung itu untuk melanjutkan
sekolah di sini. Mending kalau anaknya bagus. Minimal gantengan dikitlah. Ini,
sudah seram, pas dilihat rapornya semester lalu, ai mak, hancur! Siapa yang
nggak resah berdekatan dengan dia. Potongan preman terminal begitu dibawa-bawa
ke rumah,” Ester berkeluh-kesah dengan suara yang menghiba-hiba persis tki yang
gagal berangkat ke luar negeri.
“Papamu kok baik kali sama mereka?”
tanya Maria ingin tahu.
“Menurut Papa, ayah namboru itu
banyak membantu biaya sekolah Papa dulu. Jadi Papa mau membalas dengan
menyekolahkan salah satu keturunan donaturnya itu.” Cerita Ester.
“Tapi kan nggak harus dibawa kemari. Biar saja
paribanmu itu…”
“Namanya Tigor,” potong Ester yang
tidak suka dengan sebutan Maria.
“Tigor? Ugh! Dari namanya saja sudah
bisa ditebak bagaimana orangnya. Heran ya. Nama jaman Sisingamangaraja masih
saja dipake,” Maria ikut-ikutan mencela. Lalu melanjutkan maksud omongannya
tadi, “Tapi bisa saja dia tetap sekolah di kampung. Biayanya biar papamu kirim
dari sini. Iya kan?”
Ester mengeluh. “Aku juga sudah
bilang begitu ke Papa waktu sarapan tadi. Tapi katanya Tigor sengaja dipanggil
untuk menemani Papa. Aku jadi nggak enak mendesak Papa. Mungkin karena di
antara dua anaknya tidak ada yang cowok, makanya dia rindu kehadiran anak cowok
di rumah. Tau deh,” ucap Ester dengan kepasrahan yang terpaksa.
“Jadi si Tigor itu mau sekolah di
SMA mana?” tanya Maria lirih.
“SMA sini.”
“Kelas berapa?”
“Tiga.”
“Berarti nggak ada kemungkinan satu
kelas sama kita dong.”
Ester tidak menjawab. Bel tanda
masuk berbunyi nyaring. Malas-malasan Ester mempersiapkan buku. Mata pelajaran
pertama adalah matematika. Otak Ester terasa kian pengap saja. Kok tidak ada ya
mata pelajaran ‘curhat’. Itu kan
penting.
bersambung ke bagian 3.
' Bukan Dia yang Kupilih'
crta bgs,,, gmna klo mau trhubung di fb ne bg tobing,,
add me
@syamss yung onsu filliangg
crta bgs,,, gmna klo mau trhubung di fb ne bg tobing,,
add me
@syamss yung onsu filliangg
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)