Pariban
dari Desa
Oleh: Elwin FL
Tobing
Bagian 4. Maaf, IQ-nya Sedengkul.
Ester pulang dibonceng Tigor. Papa yang melihatnya
dari beranda, menatap mereka dengan wajah sumringah. Senyum menghias wajah Papa.
Ester tidak suka melihatnya. Terlihat jelas betapa Papa begitu senang kalau Ester
dan Tigor berdekatan. Semakin nyata keinginan Papa yang ingin mempersatukan
mereka kelak.
“Kok kalian langsung pulang? Keliling-keliling dulu sebentar, makan bakso
atau ke mal jalan-jalan.” Sambut Papa.
“Ester minta langsung pulang, Tulang.
Padahal tadi aku mengajaknya ke tempat kawan, tapi dia nggak mau,”
Ih, si Naga Bonar norak ini! Siapa juga yang rela jalan sama kau, Ester
mendelik tajam. Dia juga mengirim tatap tak suka pada Papa. Ester ingin
memperjelas penolakannya. Mencoba menjodohkannya dengan si pemuda hutan itu
hanya buang-buang pikiran dan tenaga. Ester tidak akan pernah menyetujuinya.
Kalau terus dipaksa, dia memilih minggat ke Magelang. Ke asrama Samuel sang
pujaan.
“Boncengan yah?” Ria memainkan bola matanya, menggoda. Dia membuntuti
kakaknya masuk ke kamar. “Pegangan di pinggang Bang Tigor, enak nggak?”
Mata Ester mendelik, “Jangan rese ya! Siapa yang pegangan?”
“Jaddi…?” bola mata Ria mengerling jenaka, “pelukan? Aaaaahhh….”
Ester langsung menghela Ria keluar kamar. Didorongnya tubuh mungil
adiknya yang berkicau melontarkan
kalimat-kalimat centil yang menyebalkan. Setelah itu, pintu dikunci rapat. Lalu
Ester meraih hp-nya yang berdering memanggil-manggil.
“HUAAHAHAHA…….”
Ester menggelinjang mendengar tawa horror itu. Serta-merta dia menjauhkan
telinga. Setelah tawa itu mereda, dia balik menyalak galak.
“Heh, nenek sihir. Kenapa kau gentayangan siang-siang, hah?”
“Karena melihat pemandangan paling ganjil. Ester dan Tigor berboncengan.
Mesra dan norak, hahahaha….” Ternyata Maria.
“Heh, dengar, dengar!” Ester membentak, “tadi terpaksa, tau! Mobilku di bengkel. Aku pulang
numpang mobil Tabita. Tapi di tengah jalan, mamanya telepon nyuruh Bita datang
ke tempat seminar mamanya. Kebetulan Tigor lewat, jadi aku numpang. Soalnya Bita
buru-buru, nggak sempat ngantar aku dulu.”
“Oo..gitu…”
“Ya emang begitu!”
“Yee…kok ketus gitu jawabnya.”
“Ketawamu itu, menyebalkan. Belum tahu masalah, sudah haha-haha kayak
kesurupan kuntilanak.”
“Maap deh. Tapi….”
“Tapi apa?”
“Kejadian itu…. Kayak di sinetron-sinetron ya?” Maria menganalisa.
“Apaan sih? Sinetron kok dihubung-hubungkan sama Tigor. Nggak pantas!”
tolak Ester penuh hinaan.
“Yeee…sinis amat. Pariban sendiri juga. Calon suami…”
“MAAARRIIIAAAAAAAAAA…….”
“AAPPAAAAAAAA…….”
“Kau jangan ikut-ikutan norak, ya!”
“Kau yang sensitive kali. Aku kan
cuma teringat adegan sinetron. Angkutan terkendala, eh kebetulan si cowok
lewat. Ceweknya numpang. Mereka makin akrab lalu jadian. Akhirnya mereka
menikah dan hidup bahagia selamanya.”
“Norak. Nggak masuk akal.” Ester uring-uringan
“Kata siapa? Kita lihat aja nanti. Paling juga lulus SMA, Tigor melamar
kau. Lalu kalian menikah dan hidup sederhana di desa.”
“He, gila. Norak menjijikkan. Noraaaaaaak….” Lalu Ester memutus hubungan.
Masih sempat lolong tawa horror Maria lolos dari speaker hp. Menyebalkan.
Pintu diketuk dari luar.
“Siapa?”
“Disuruh Papa menemani bang Tigor mengambil Kartu Keluarga ke Kelurahan.”
kata Ria dari balik pintu. Suaranya mendesah manja yang dibuat-buat.
Ester menggigit bibir menahan semburan geram.
“Suruh pergi sendiri. Manja kali harus ditemani.”
“Bang Tigor kan belum tahu jalan ke sana. Nanti dia nyasar, hayo
siapa yang kehilangan. Kakak kan?”
desah menjengkelkan itu semakin menjadi-jadi.
“Jangan ngaco kau ya! Kau saja yang menemani. Aku nggak mau. Capek. Mau
tidur.”
“Paaaaaa….Kak Ester nggak mauuuuuu….”
“Iiih.” Ester bergegas membuka pintu. “Anak kecil tahunya ngadu.” Dia
hendak meremas hidung Ria. Tapi adik
centil itu gesit berkelit.
“Kenapa nggak mau?” Papa terlanjur mendengar pengaduan Ria.
“Ka..mwap” sebelum meneruskan ucapan, tangan Ester keburu membekap mulut
adiknya.
“Iya, Pa. Sebentar.” Ester menyerah. Takut kalau Papa
sampai marah. Setelah menolakkan tubuh Ria disertai mimik mengancam, Ester
masuk kamar untuk menukar seragam sekolah dengan kaos biasa.
“Sebentar ya, Bang Tigor. Kak Ester lagi dandan.”
Wajah Ester memerah mendengar teriakan Ria yang sengaja dikeras-keraskan.
Motor melaju ke Kelurahan. Tigor memacu dengan tubuh kaku. Ester apalagi.
Dia ketat menjaga jarak. Tak ingin sedikitpun ada bagian tubuhnya yang
menyentuh Tigor.
“Aku nggak akan pernah menuruti keinginan Papa. Lebih baik mati muda dari
pada harus dijodohkan sama kau.” Ketus Ester sambil menahan tubuhnya agar tidak
pernah terdorong ke depan.
“Kau harusnya tahu diri. Kau sudah disekolahkan keluarga kami. Itu kan sudah lebih dari
cukup. Jangan lagi kau berharap yang lain. Terlebih mengharapkan aku jadi
istrimu nanti. Itu tidak akan pernah terjadi.”
Helm yang dipakai Tigor berayun-ayun mengikuti anggukan kepalanya.
Pertanda dia memahami perkataan gadis itu.
“Kau kan
orang desa. Cocoknya sama cewek desa juga. Biar klop.” Ester kian gencar
menekan. Memperlihatkan sejelas-jelasnya ketidaksudiannya dijodohkan dengan
Tigor.
Sekeluarnya dari kantor kelurahan ponsel Ester bergetar. Dia melihat
nomor baru tertera di layar. Agak ragu, dia menyapa si penelepon.
“Lupa ya?” suara seorang laki-laki yang masih asing di telinga Ester.
“Ini siapa?” Ester menyentak judes.
“Adduh, galaknya pariban cantikku.”
“Nggak usah gombal ya. Nggak perlu sok akrab. Nggak penting. Ini siapa?”
Ester sudah berniat memutus hubungan ketika tiba-tiba si penelepon berkata,
“Ini Samuel. Maaf ya udah mengganggu.”
Seketika Ester membelalakkan mata seraya mendekap mulutnya yang spontan menganga.
Setelah berhasil mengembalikan
hatinya yang sempat terpelanting, Ester tertawa ramah.
“Ini benar Bang Samuel? Kok suaranya beda?” renyah suara Ester. Tawanya
berderai penuh penyambutan.
“Nggak berubah kok. Kau aja yang berubah. Makin galak.”
“Sorry ya, Bang. Aku pikir tadi orang iseng. Tau sendiri kan, sekarang banyak
penipuan lewat hp. Aku takut kena. Makanya aku tegas kalau ada orang yang
telpon pake nomor yang nggak ada ku-save. Lagian suara Abang berubah lho. Lebih
berat dari yang kemarin kayaknya.”
“Udah makin tua, Es. Suara juga jadi tambah berwibawa hehe.. tinggal
merrid-nya nih yang belum.” Samuel tergelak. Ester merasakan dadanya berdebar.
“Ya udah merrid! Tinggal merrid ini….”
“Makanya telepon pariban.” Samuel kian genit. Debar Ester makin menjadi.
“Tenang aja. Mau minta kado apa juga nanti aku kasih…hatsyiii, hatsyiiiii…”
saking groginya, Ester sampai bersin-bersin.
“Sakit ya, Iban?”
“Iya nih. Kemarin kena gerimis..”
Tigor mendesis. Gerimis? Matanya menatap cuaca yang cerah. Akhir-akhir
ini seingatnya tak ada turun hujan. Gerimis juga. Siapa gerangan lawan bicara
Ester, sampai nada suara paribannya itu berubah jadi lembut mendayu. Selarik
cemburu melintas di hati Tigor. Ditekannya kuat-kuat. Bukankah sudah jelas?
Ester tak sudi jadi istrinya. Tigor harus membuang jauh-jauh hasrat itu. Walau
sejak pertama bertemu dia sudah terpesona dengan kecantikan paribannya, tapi
tak bijak rasanya kalau dia meneruskan mimpi. Restu dari tulangnya, yaitu papa Ester, memang sudah terlihat. Malah Tulang terus berusaha mendekatkan
mereka. Tapi Nantulang, yaitu mama
Ester, sejauh ini tak terlihat mendukung maksud suaminya. Terlebih Ester.
Semakin hari penolakannya kian berkobar. Kalau bukan karena papanya, mungkin
sudah sejak lama Ester mengusirnya pergi.
“…Oh, si Tigor..” Ester
memberitahukan namanya pada si penelepon.
“Nggak tau tuh! Papa yang minta dia tinggal di rumah. Padahal orangnya
nggak ada apa-apanya. Udah jelek, di sekolah juga bodoh….”
Tigor sesak napas. Wajahnya merah padam. Sungguh Ester tak punya
perasaan. Menghinanya terang-terangan. Menyebarkan kekurangnya pada orang yang
tidak dikenal. Darah Tigor bergejolak. Dia menstarter motor dengan kasar. Menyentak-nyentakkan gas hingga mesin menderum
keras memekakkan telinga.
“Hei…ribut kali kau!” seseorang membentak dari dalam kantor lurah.
Sementara Ester buru-buru menjauh. Sebentar dia mendekapkan tangan pada
ponselnya. Lalu menoleh pada Tigor.
“Hei orang gila. Kau pulang sendiri sana.
Aku naik mopen. Sinting.”
Setelah itu dia kembali melanjutkan pembicaraan dengan Samuel.
bersambung ke bagian 5
' Kunjungan Ibu'