Pariban dari Desa (5)


 
Pariban dari Desa
Oleh: Elwin FL Tobing
Bagian 5. Kunjungan Ibu
            Terik membakar siang. Debu beterbangan terkibas roda kendaraan Penumpang dalam mopen sibuk mengipas-ngipas. Tapi lelehan keringat tetap mengalir. Udara dalam mopen kian sesak karena ada seorang penumpang yang merokok. Dari celana yang dipakainya ketahuan kalau dia masih sekolah. Sedangkan bagian atas tubuhnya berbalut kaos oblong bertuliskan SALIB KASIH. Rambutnya acak-acakan. Matanya tajam, menyimpan kemarahan. Penumpang mopen yang kebanyakan ibu-ibu dan gadis pekerja kantor memilih diam, tak cukup nyali untuk menegor si pemuda tanggung yang merokok di dalam angkot.
            Di depan sebuah bengkel yang tak terawat, si pemuda melompat turun.
            “Sudah siap, Bang?” dia mendatangi seorang pria kurus yang belepotan oli.
            “Eh, kau Gor. Ya sudahlah. Masa cuma servis dan ganti oli saja seharian haha… Itu keretamu. Ambil saja..”
            Pemuda tanggung yang ternyata Tigor tak segera mengambil keretanya yang tadi dia titipkan untuk di servis dan ganti oli. Tigor malah memperhatikan Bang Saut dan dua anggotanya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Tigor berpikir sejenak. Setelah itu dia menuju kedai di depan bengkel. Memesan tiga botol coca cola dingin. Minuman itu diserahkannya pada Bang Saut dan anggotanya.
            “Minum dulu, Bang.”
            Bang Saut tertawa tanpa suara, “Masih sekolah saja uangmu sudah banyak. Apalagi kalau kau sudah kerja nanti.”
            Tigor juga tertawa. “Panas kali, Bang. Haus.” Sahutnya sambil mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya.
            Tak lama kemudian seorang gadis terlihat mendorong kereta matic ke arah bengkel. Roda belakangnya meleyot.
            “Tambal bang..” gadis itu mencagakkan keretanya di depan Tigor.
            “Bentar ya dek. Habis ini ya.” Bang Saut menyahut ramah.
            “Aku saja yang nempel Bang.” Tiba-tiba Tigor mengajukan diri. Bang Saut menatapnya heran.
            “Tenang, Bang. Aku sudah sering memperhatikan Abang menambal ban. Tenang saja.” Kata Tigor berusaha meyakinkan Bang Saut. Pemilik bengkel bertubuh kurus itu tak segera menyetujui. Sebentar dia melihat sekeliling. Dua anggotanya masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dan dia sendiri baru saja membuka karburator kereta di depannya. Masih agak lama untuk menuntaskannya.
            “Percaya sama saya, Bang. Pasti beres, tenang saja.” Tigor bangkit menghampiri kereta matic itu.
            “Gimana, Bang. Dia bisa nggak?” gadis itu khawatir.
            “Nggak apa-apa. Abang akan awasi agar dia kerjakan dengan benar.” Kata Bang Saut pasrah. Tigor tersenyum sambil mengacungkan jempol. Si gadis yang terus mengawasinya dihadiahi sebuah kedipan. Serta-merta gadis itu mengalihkan tatap. Jengah.
            Keraguan Bang Saut sirna melihat kecekatan Tigor. Semua urutan kerja cara menambal ban yang benar ternyata telah dihapalnya luar kepala. Tigor terlihat trampil melepas ban dalam. Mencari bagian yang bocor. Lalu menambalnya dengan rapi. Setelah itu dia memasukkan kembali ban dalam kereta itu pada tempatnya semula. Mengisi angin hingga ban itu kembali mengembang keras dan siap menahan beban sambil berlari di jalanan.
            “Udah bisa nih Bang?” Si gadis masih terlihat ragu ketika Tigor menyerahkan kereta itu.
            “Udah mantap itu dek.” Bang Saut yang menyahut senang.
            “Berapa, Bang?”
            “Tanya abang itulah.” Bang Saut mengarahkan mata gadis itu kepada Tigor.
            “Ya Abanglah. Masa aku. Yang punya bengkel kan Abang.” Elak Tigor yang sedang mencuci tangan di bak berair keruh di samping bengkel.
            “Ya sudah. Seperti biasa Dek, anam ribu”
            Gadis itu menyerahkan uang sepuluh ribu yang baru. Bang Saut memberi kembalian empat ribu yang lusuh. Dengan hati terpaksa gadis itu menerimanya. Uang kembalian itu dijejalkan begitu saja ke dalam anak tas-nya. Rupanya uang lusuh itu tidak memenuhi standar menghuni dompetnya yang beraroma wangi.
            “Besok-besok kalau nggak ada kerjaan, bantu sini aja, Gor.”
            “Beres, Bang.” Senyum Tigor melebar. Itu yang diam-diam diharapkannya. Belajar bengkel. Dia tidak tertarik belajar di sekolah. Seandainya Tulang memperbolehkan, Tigor ingin menekuni bengkel saja dan keluar dari sekolah.
***
             Ibu Tigor datang. Awalnya ibu itu tersenyum cerah melihat perawakan anaknya sekarang. Lebih bersih dan sehat dibanding waktu masih di kampung. Tigor sudah seperti anak kota.
            “Tapi sekolahnya tak berkembang.” Kata Papa. “Dia lebih sibuk di bengkel orang dari pada belajar. Saya kuatir Tigor nanti tidak lulus.”
            “Kenapa bisa begitu?” senyum ibu Tigor lenyap. “Uma menitipkan kau disini kan agar bisa sekolah tinggi. Tulang sudah bersedia menyekolahkan kau sampai sarjana. Kalau hanya untuk kerja di bengkel untuk apa kau jauh-jauh ke Medan ini. Di Tarutung saja.” Ibu Tigor sangat gusar.
            “Sadarlah nak. Kita ini orang miskin. Harusnya kau bersyukur diberi kesempatan bersekolah. Lihat adik-adikmu. Suatu saat kau harus bisa membantu mereka sekolah. Kalau kau menyia-nyiakan kesempatan ini, sama saja kau membunuh mamakmu ini. Apa itu maumu hah. Mengharapkan uma cepat-cepat menyusul bapakmu ke kuburan?” Air mata ibu Tigor merebak. Wajah kusamnya yang mulai digarisi keriput begitu nelangsa. Uban yang mulai menyisipi rambutnya menyembul satu-satu. Tigor meringkuk di bangku yang didudukinya. Tak kuasa menyahut. Dalam hatinya timbul penyesalan yang dalam.
            “Tulang juga kecewa, Gor.” Papa memijit-mijit keningnya. Agak lama dia terdiam mencari kata yang pas untuk menyampaikan maksud hatinya.
            “Begitu besar harapan Tulang padamu,” desah Papa menatap lekat wajah Tigor yang menunduk. “Tulang ingin suatu hari nanti melihatmu menjadi sarjana dan bekerja di tempat yang baik. Selain itu… Tulang juga berharap kau mengambil salah satu putri Tulang untuk menjadi istrimu..”
            Ester yang menguping pembicaraan itu sambil pura-pura baca majalah, bergidik. Tubuhnya terasa dingin. Hatinya berontak. Terlihat jelas Papa mengharapkan perjodohan dirinya dengan Tigor. Walau tadi Papa bilang ‘salah satu putri tulang’ tapi siapa lagi yang lebih tepat dalam pandangan Papa untuk menjadi pendamping Tigor? Tidak mungkin Ria yang masih kelas satu SMP itu.
            “Kau bisa merubah kelakuanmu?” terdengar ibu Tigor berucap serak tapi tegas.
            Tigor mengangguk. “Iya, Uma. Saya akan lebih rajin belajar..”
            “Itu untuk kau juga nanti, Bere. Tak apa-apa kalau kau ingin belajar perbengkelan. Itu ketrampilan yang penting juga. Dari pada kau ikut kawan-kawanmu keluyuran tidak jelas, Tulang lebih suka kau di bengkel itu. Tapi yang utama adalah sekolahmu. Kau harus lebih berprestasi di sekolah dibanding di bengkel. Kau mengerti?”
            “Iya, Tulang. Saya mengerti..”
            “Uma dan adik-adikmu sangat berharap sama kau, Nak.” Suara ibu Tigor melembut. “Setiap hari adik-adikmu selalu bercerita dengan bangga pada kawan-kawannya. Kata mereka, abangnya sekolah dikota agar jadi sarjana. Mereka membangun mimpi kalau suatu hari nanti kau akan mengajak mereka satu persatu ke kota untuk sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Jangan kecewakan adik-adikmu anakku.”
            Mata Tigor memanas. Terbayang wajah kelima adiknya. Dia merasa bersalah sekali. Dengan punggung jari telunjuk dia menghapus titik air mata di pipinya.
            “Ini titipan itomu Risma.” Ibu Tigor mengeluarkan sebuah ulos yang baru ditenun. Nama Tigor terajut di ulos itu. Risma semakin mahir saja bertenun. Padahal umurnya baru sebelas tahun.
            “Kata Risma ulos ini harus kau pake di foto wisudamu nanti.”
            Tigor tak kuasa menyahut. Dia mendekap ulos itu ke wajahnya untuk menghempang linangan air mata.  

bersambung ke bagian 6
'Hidup Di Bui"
           

0 Responses